[4]

521 18 4
                                    

Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.

Tidak pernah sekalipun aku menyerah
Berada dibelakangmu, itu hal yang pasti
Bisakah aku hidup di kehidupan indahmu itu?
_JP van Helden Verleden_

“Makanlah aku sudah kutaruh di atas meja samping ranjang. Aku tau kau tidak akan bisa melarikan diri dari kapal ini.” Secara tiba-tiba di mendekatkan kepalanya ketelingaku,”Jangan coba-coba menyiksa dan melukai diri sendiri, karena hanya aku yang berhak.” Bisiknya yang membuatku tidakberkata-kata sambil berlalu.

Diantara kebingunganku, tiba-tiba dia berhenti melangkah dan berteriak  “Matipun, kau tidak diperbolehkan!”

***

Selain saat mencegah ayah berengsek itu mencoba melakukan hal bejat lagi kepada perempuan pribumi yang kubawa. Tidak pernah sekalipun aku menemuinya lagi, karena setelah kejadian saat aku mengambil lukisan keluarga dari kamar tidur itu emosi ini tidak dapat terkontrol lagi.
Ku genggam erat luksian itu, satu-satunya memori wajah ibu.

Lukisan ini satu-satunya pengobat rindu, tapi juga satu-satunya benda yang membuatku lemah terhadap emosi. Aku dapat menangis, tertawa, dan marah pada benda ini. Lelaki itu memasang wajah datar seperti biasa sedangkan ibu tersenyum sangat bahagia dan aku dengan wajah marah yang masih melekat. Pada saat itu aku marah karena dipaksa pulang dari akademi tempat dimana pertama kali aku mendapatkan kebebasan, tanpa tau keadaan ibu yang sangat terpuruk.

“Kamu sangat kecil saat itu, tapi aku tidak bisa memaafkanmu sedikitpun. Kenapa kamu tidak tersenyum sedikit, hah?” celotehku datar memarahi anak kecil di foto itu. Hari ini mau tidak mau aku harus menemui perempuan itu. “Jangan sampai aku terbawa emosi.”

Saat keluar dari tempat kerja yang dijadikan tempat istirahat sekaligus, kulihat Bostton dengan perempuan itu. Sepertinya selama ku tugaskan Bostton untuk menjaganya mereka menjadi akrab. Kulihat wajah Bostton kembali lebih hidup seperti dulu.

“Yo! Jendral gila!” Teriak Bostton sama sekali tidak membuatku kaget karena itu karakternya. Tapi aku kaget saat perempuan itu mencubit pinggang Bostton yang seketika teriak kesakitan. “Aduh! Coba tebak dari siapa julukan itu?” tanyanya yang tak kupedulikan sambil berjalan melewati mereka menuju pintu kapal yang akan mendarat di dermaga Amsterdam. “Itu dari perempuan ini! Hahaha..Aduh! Ampun!” Apa dia tertarik pada perempuan pribumi itu? Setauku dia hanya bertingkah seperti itu saat menjerat mangsanya.

“Bostton kau ingat ucapanku?” tanyaku menggunakan bahasa Nederland saat dia berdiri di sampingku persis, sedangkan perempuan itu berdiri disampingnya.

“Tidak ada satupun orang yang boleh menyentuhnya selain aku. Termasuk kamu. Bukan kah kamu sudah mengerti?” Ucapku datar yang membuatnya terdiam dan seketika merubah raut wajahnya menjadi ceria.

“Hahaha.. Aku tau, tenang saja! Setiap hari kamu berwajah datar yang membuat semua orang berpikir kamu selalu marah. Padahal aku sangat mengenalmu. Kamu sangat jarang marah, seperti sekarang ini.”

“Semuanya bersiap! Selamat datang di Nederland!” Suara pintu kapal yang terbuka dan terbaring di pelabuhan memberikan jalan bagi koloni kami tiba. Sebagai pimpinan koloni tentu saja aku berada di depan dan  di sambut dengan kuda tempur hitam miliku. Sedangkan, coklelat milik Bostton serta ribuan kuda lainnya untuk prajurit yang telah berlayar berbulan-bulan ini, kecuali para tahanan dan budak.

“Biarkan dia menaiki kereta tim medis!” perintahku pada Bostton yang langsung paham. Kulihat perempuan itu di seret Bostton ke kereta tim medis. Sudah ku bilang jangan sentuh dia. Kemudian Bostton kembali ke sampingku menunggangi kuda.

NOW AND KNOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang