42

1K 186 32
                                    

Maura mematikan televisi yang menyiarkan berita gosip, berita tentang kecelakaan Ale lebih tepatnya. Kini tangannya kembali sibuk menyuapi Ale.

"Kenapa dimatiin?" Tanya Ale

"Gak mau dosa gue nonton berita gosip." Balas Maura yang sedikit agak kesal dengan wartawan gosip yang menyiarkan berita tentang Ale dengan bumbu-bumbu dilebihkan.

Ale mengangguk dan kembali memakan makanannya.

"Gue kira agensi lo gak bakal nutupin kondisi lo yang sekarang." Komentar Maura

"Yakali, guekan masih artis mereka."

Maura mendengus. "Kalo gue yang punya agensi sih ogah banget ngelindungin lo."

"Temen jahanam emang lo mah."

"Lagi sakit juga masih bisa aja ya berkata kasar."

"Yang sakit tangan, kaki sama kepala gue. Mulut gue masih baik-baik aja, masih bisa menghujat seperti biasa."

"Udah direncanain banget ya lo mau menghujat orang."

"Iyalah, terutama lo sama Dino."

"Anak setan emang lo." Maura mencebikkan bibirnya kesal dan kembali menyuapi Ale

"Selama Daffa kerja jadi dokter disini gue selalu berusaha sakit buat diobatin dia, ternyata gue gak sakit-sakit. Lo enak banget sehari 3 kali dirawat sama dia."

"Bego!" Geram Ale, "kalo gitu gantian aja lo posisinya sama gue biar bisa dirawat Daffa."

"Ya gak kayak lo juga! Maksudnya demam gitukan bisa diperiksa Daffa gitu."

"Sombong banget demam dikit ke dokter, biasanya lo pake obat warung juga sembuh."

"Kampret emang!"

Ale terkekeh kecil mendengar sahabatnya itu menggerutu.

"Le."

"Paan?"

"Dino ngajakin gue serius." Gumam Maura

"Terus? Lo nya gamau? Kan bagus dong berarti dia bener-bener mau serius sama lo."

"Bukan gitu."

"Terus?"

Maura terdiam tidak menjawab, Ale yang mengerti mengapa sahabatnya itu terdiam langsung tersenyum kecil.

"Ra denger, lo itu sahabat popok gue, gue tau baik buruknya lo luar dalem, gue udah anggap lo jadi keluarga gue dan Dino juga sahabat gue, gue tau dia beneran serius sama lo dan gue percaya sama dia. Lo gak usah merasa terbebani sama gue, gue emang gagal buat menuju masa depan gue, gue gapapa. Lo udah ada niat baik depan mata kenapa malah disia-siain?"

"Lo bisa ngerubahnya, Le. Lo bisa nyusun masa depan lo lagi dan bukannya makin terpuruk kayak gini."

"Lo gak ngerti diposisi gue, Ra." Lirih Ale

Maura terdiam sebentar kemudian menatap Ale dengan sedih. "Dimana ada usaha dan disitu ada jalan. Tuhan lagi negor lo sebentar kok Le, gue yakin semua ini cepet berlalu. Gue juga yakin keluarga lo gak bakal ngebiarin lama-lama lo dengan kondisi kayak gini."

Ale menghela nafasnya pelan. "Berat Ra berat gue jalanin hidup dengan kondisi gue yang sekarang, kalaupun gue dipaksain jadi nikahin Abel, semuanya bakal beda. Gue itu jadi kepala rumah tangga, gue yang cari nafkah buat istri dan anak gue, tapi gue belum bisa dengan kondisi gue yang sekarang gue harus nikahin Abel. Gue yakin Abel pasti dapet yang terbaik buat dia, yang bisa bahagiain dia."

"Dapet teori dari mana lo kalo Abel sama lo pisah dia bakal bahagia? Lo bisa bilang gitu sedangkan sumber kebahagiaan Abel itu lo, Le."

"Anak-anak kapan dateng?" Tanya Ale mengalihkan pembicaraan serius dengan Maura

Maura mendecak. "Gatau, nanti malem jam 7 katanya."

"Anterin gue ke taman rumah sakit Ra, gue sumpek dikamar terus."

"Iya, nanti gue minta tolong susternya buat gelindingin lo."

"Kan ada kursi roda, cantik." Ale tersenyum kesal pada Maura

"Kasian kursi rodanya di dudukin lo, ancur nanti."

"Wah, babi sekali anda."

"Makasih lho sahabatku tercintah." Maura tertawa dan diikuti oleh Ale yang juga tertawa, sesaat Maura tersenyum bisa melihat tawa dari sahabatnya lagi.


----



Ale mengeryitkan hidungnya saat mencium bau familiar disampingnya, tadi Maura izin ke toilet sebentar kenapa sekarang wangi nya jadi berubah? Ale menghela nafas pelan saat tau siapa yang mendekatinya.

"Ngapain kesini?"

Abel tersenyum kecil kemudian berjongkok didepan kursi roda yang dinaiki Ale.

"Jenguk kamu."

"Gue rasa gak perlu."

"Aku rasa perlu banget. Aku nanti jadi calon istri kurang ajar kalo gak jagain kamu."

Ale mendengus. "In your dream."

"Yeah, dream come true." Balas Abel seraya tersenyum lebar

Abel mengeluarkan coklat dari tasnya. "Mau coklat? Kata kak Tata coklat bisa naikin mood kita, lho."

"Gak makasih."

Abel hanya mengangguk sambil tersenyum.

"Maura mana?"

Abel menatap Ale lagi. "Dia ada janji sama Dino, katanya nanti dia kesini lagi sama Dino."

"Kenapa dia nitipin gue ke lo? Yang lain mana?"

Kini Abel tersenyum miris meskipun Ale tidak bisa melihatnya.

"Kamu tau apa yang paling menyakitkan didunia ini setelah ibu kandungku meninggal?" Tanya Abel

Ale tidak menjawab dan hanya terdiam.

"Diacuhin dan gak diinginin sama orang yang kita sayang. Kamu pikir setelah kayak gini aku bakal ninggalin kamu? Gak semudah itu, Le. Perjuangan aku dari SMA buat bisa sama kamu gak membuahkan hasil dan sekarang disaat aku move on dari kamu dan kamu dateng bikin aku luluh lagi sama kamu, terus hubungan kita tinggal selangkah lagi menuju hal yang aku mimpiin dan kamu nyuruh aku ninggalin kamu?"

Ale masih diam tapi hatinya berdesir hangat setelah pengakuan Abel tersebut.

"Setiap masalah pasti ada solusinya, aku yakin kamu bentar lagi bisa liat kayak sedia kala. Jadi, disaat terpuruk kamu biarin aku yang selalu ada disisi dan disamping kamu ya, Le?"

Abel tersenyum kemudian bangkit berdiri dan bersiap untuk mendorong kursi roda Ale.

"Udah sore, anginnya gak enak. Kita masuk kedalem ya?"

Sebelum Abel mendorong, tangan Abel dicegah oleh Ale.

"Kalo aku gabisa sembuh gimana?" Lirih Ale

Abel tersenyum mendengarnya. "Gak akan, kita terus aja berdoa dan usaha ya? Kalaupun disini gak ada yang mau donor mata, keluarga kamu dan aku bakal usahain bawa kamu keluar negeri."

Ale menghela nafasnya pelan lalu mengangguk.

Abel membungkukan badannya dan berbisik ditelinga Ale. "No matter happen with you, i will always love you, Le."

Dan menjelang senja itu Ale merasakan pipinya memanas dan senyum indah melengkung dibibir nya tanpa diketahui Abel.

---

Heart BeatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang