"Mama, aku lapar."
Kami meringkuk di belakang sebuah truk berukuran kecil. Kedua lengan mama merangkul bahuku erat. Sehelai selimut usang berwarna coklat pudar menutupi seluruh tubuh kami dari kepala hingga kaki. Selain berfungsi untuk menahan terpaan angin, selimut ini bisa menyembunyikan tubuh kami.
Keadaan di sekitar kami remang-remang, nyaris gelap. Untuk melihat wajah mama pun aku kesulitan.
Aku tak tahu apa lagi yang ada di atas bak truk ini selain kami berdua. Dari bau yang begitu menyengat di hidungku, aku menduga ini adalah truk yang mengangkut sayuran segar. Mereka terbungkus dalam karung-karung berwarna hitam, sama seperti selimut usang yang menyembunyikan tubuh kami berdua.
Selintas kami tidak ada bedanya dengan timbunan karung-karung hitam itu.
"Makanlah, Laura." Dalam kegelapan, mama meletakkan beberapa keping biskuit dalam genggaman tanganku. Aku langsung memasukkannya ke mulutku dengan cepat.
"Mama, kita di mana?"
"Mama tidak tahu, Laura. Mungkin sopir dan temannya ingin beristirahat sebentar, yang penting kita selamat. Kita pasti selamat." Aku mendengar suara mama bergetar, tetapi aku tidak yakin apakah mama menangis.
Aku menegakkan punggungku. Dari atas baknya, aku bisa melihat sekitarku. Di kejauhan mataku menemukan ada beberapa mobil mengantri untuk mengisi bahan bakar. Tidak jauh dari antrian bahan bakar, terdapat sebuah restoran cukup besar dan bercahaya sangat terang. Dari sana pula menguar aroma sangat lezat hingga mencapai tempatku duduk. Aromanya menggelitik hidungku, membuat perutku semakin melilit lapar.
"Laura!" Menyadari kepalaku menyembul keluar dari selimut, kontan mama meraihku dan menutupinya lagi dengan selimut. Ia menegurku dengan suara gugup. "Jangan lagi."
Aku meringkuk diam tak bergerak dalam rangkulan lengan mama. Aku patuh, walau tidak seorangpun yang memperhatikan kami. Tak ada yang menyadari bahwa kami ada di sini.
Kecuali seseorang.
Ia melintas di dekat truk kami, seperti satu-dua orang lainnya. Membuatnya berbeda adalah dia kembali setelah beberapa saat dan berdiri di samping truk untuk memperhatikan kami sekali lagi.
"Hei, aku Sylvia. Panggil saja Sy. Jangat takut. Aku tidak bermaksud jahat pada kalian. Aku hanya ingin tahu, mengapa kalian meringkuk dalam truk penuh sayur ini?" Orang asing ini menegur kami. Suaranya terdengar bersahabat. Selama ini, dari pengalamanku di rumah menegaskan kalau orang asing pasti menakutkan, tetapi tidak dengan orang ini.
Dalam minimnya cahaya, aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Ia mengenakan kemeja kotak-kotak dan membiarkan semua kancingnya terbuka, mentupi t-shirt putih yang ada di dalamnya. Sebuah tas ransel menggantung di bahu kanannya.
Dari potongan rambut dan penampilan sepertinya ia seorang laki-laki, tetapi menilik suara dan namanya Sylvia sepertinya dia perempuan.
Setidaknya Sylvia tidak bermaksud jahat, tidak seperti suami mamaku! Tetapi mama tidak begitu saja percaya padanya. Cengkeraman jari-jarinya mengetat di bahuku.
"Okay. Kalian mungkin takut padaku. Aku hanya ingin mengatakan, kalau aku hendak ke kota. Mungkin tujuan kita sama, kalian boleh menumpang mobilku. Setidaknya kondisinya akan lebih baik untuk dia." Dagu Sylvia menunjuk padaku.
Di matanya, aku pasti terlihat menyedihkan. Ironisnya, aku memang semenyedihkan itu. Gemetar karena menahan lapar yang teramat sangat.
"Kamu hendak ke kota? New York?" Akhirnya mamaku membuka mulutnya, meski ragu-ragu.
KAMU SEDANG MEMBACA
[ END ] Broken Shadow
General FictionKesakitan dan ketakutan. Laura, seorang wanita muda pendiam terus dihantui oleh trauma masa lalunya. Bekerja sebagai seorang petugas kebersihan juga yatim piatu, Laura lebih suka menyendiri dan tak terlihat dari orang-orang. Alexander, seorang psiki...