BAB 8

21.1K 2.5K 97
                                    

~ Happy reading ~

=============================


Keluar dari area foyer dengan desain elegan, aku disambut oleh ruang tengah yang begitu luas dengan dominasi putih dan kaca di mana-mana. Sinar matahari sore di bulan Mei membanjiri ruangan ini melalui kacanya sehingga membuatnya tampak bercahaya.

Oh my.

Aku berdiri canggung pada lantai kayunya, memeluk tubuhku sendiri dan merasa tak pantas berada di tempat ini. Hingga Alexander berdiri di sampingku.

"Boleh aku simpan jaketmu sekarang?" Tanya Alexander. Aku berpaling dan mendapati kedua manik matanya menatapku hangat, meski tak cukup mampu mengurai kecanggunganku.

Rasanya tidak sopan aku mempertahankan jaket hitam ini terus menggantung di tubuhku. Aku terpaksa mengangguk dan mulai menurunkan ritsletingnya lalu menyerahkan jaketku pada Alexander yang langsung membawanya ke area foyer.

"Ingin melihat pemandangannya?" Alexander tiba di sebelahku lagi dan menawarkan tangannya kepadaku. Aku berkedip ragu-ragu. Kupikir aku mungkin tidak akan pernah melihat surga ini dua kali dalam hiduku, pada akhirnya aku memberikan tanganku di atas telapak tangannya yang terbuka.

Alexander tersenyum, lantas membimbing tanganku ke salah satu sisi dinding kacanya dan melepaskan tanganku di sana. Aku berdiri terpana, menahan desah kagum keluar dari mulutku.

Mataku berhadapan langsung dengan langit kemerahan menjelang senja dan gedung-gedung pencakar langit. Beberapa bintik-bintik cahaya mulai menyala, tanda bersiap menyambut malam.

Ya Tuhan. Manhattan ada di kakiku!

"Sangat indah." Bisikku terpaku pada pemandangan di depanku.

"Benar. Sangat indah." Alexander balas berbisik. Aku berpaling. Menyelipkan kedua telapak tangan di kedua kantong celana denimnya, Alexander tengah menatapku dengan mata kelabunya yang bercahaya. Keduanya mengingatkanku pada keindahan kerlip-kerlip lampu di bawah sana.

Oh boy. Pemandangan di bawah memang indah, tetapi pemandangan di depanku sekarang jauh lebih sempurna.

Ditatap sedemikian rupa, aku mendapati wajahku memerah. Buru-buru aku melarikan kembali mataku pada pemandangan di luar dinding kaca.

"Sambil menunggu Doris menyiapkan makan malam, bagaimana kalau kita melihat buku-bukunya sekarang? Atau kamu ingin duduk sebentar di sana dan kita minum sesuatu?" Wajahnya menunjuk pada sofa yang tak jauh dari tempatku berdiri.

Aku berpaling lagi padanya dan melirik pada seperangkat sofa besar warna putih dengan tumpukan kecil bantal-bantal beige dan coklat terang. Beralaskan karpet tebal seperti bulu domba, aku memperkirakan sofa tersebut muat setidaknya untuk sepuluh orang.

Ada di belakang sofa, terdapat satu set window seat juga berwarna putih yang terlihat sangat nyaman. Benakku kontan membayangkan duduk di atasnya sedang membaca buku sambil menikmati bangunan Empire State yang berdiri megah melalui dinding kacanya. Atau, sembari mendengarkan jemari Alexander menari pada bilah-bilah grand piano yang berdiri anggun di dekat sofa.

Ck! Kepalaku menggeleng. Menarik kembali khayalanku yang sudah terlampau jauh membumbung tinggi, aku kembali memandang Alexander.

"Mm.. kalau begitu langsung melihat buku saja. Please?"

Kalau aku menerima tawaran Alexander untuk sedikit minum dan duduk di atas window seat itu, aku tidak yakin bisa keluar dari tempat ini pukul delapan malam.

[ END ] Broken ShadowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang