BAB 18

18.9K 2.1K 115
                                    

Happy reading..

====================

Aku terjaga dan membuka mata perlahan. Mengedipkan kelopak mataku beberapa saat untuk menjernihkan isi kepalaku yang mengalami sedikit disorientasi dan didera perasaan asing. Perhatianku langsung tersedot oleh pemandangan sinar matahari pagi yang berusaha menyelinap masuk ruangan ini. Mereka tertahan oleh tirai-tirai raksasa warna coklat chennywood yang menggantung di sepanjang dinding.

Di mana aku?

Ah, aku ingat. Aku berada di apartemen Alexander.

Kepalaku menoleh ke samping dan mendapati Alexander tengah mengamatiku. Tubuhnya berbaring menyamping dan menghadap padaku. Sikunya terlipat untuk menyangga kepala dengan telapak tangannya. Sedangkan di bawah rambut coklatnya yang acak-acakan, kedua bola mata kelabunya berbinar hangat seperti cahaya matahari di luar sana.

"Selamat pagi, Laura. Tidurmu nyaman?" Jari-jari Alexander menyingkirkan beberapa rambut yang menempel di wajahku. Aku mengangguk.

"Selamat pagi. Tidurku sangat nyaman. Terima kasih, Alexander. Sudah berapa lama kamu terjaga?" Benakku membayangkan Alexander sejak tadi mengamatiku tidur, mengundang kelopak mataku berkedip malu. Jemariku mencengkeram ujung selimut yang menutup hingga daguku. Walau sejujurnya, sangat menyenangkan memiliki seorang dream catcher di samping kita saat tidur. "Maaf, aku bangun terlambat."

Jari-jari Alexander bergerak mengusap pipiku ke atas dan ke bawah, berulang-ulang.

"Tidak apa-apa, Laura. Aku sudah bangun sejak tadi, dan senang melihatmu tidur nyenyak. Aku tak tega mau membangunkanmu, tidurmu seperti orang yang sudah tidak bertemu bantal berhari-hari."

Aku tersenyum malu, meskipun faktanya memang aku kesulitan tidur beberapa malam kemarin.

"Terima kasih, Alexander. Mm.. jam berapa sekarang?" Aku kesulitan memperkirakan karena tirai jendela yang mengelilingi ruang tidurku belum dibuka. Mataku menyapu ruangan untuk mencari benda yang bisa memberitahuku tentang waktu.

Alexander beringsut untuk meraih sesuatu dari atas nakas. Ia mengarahkannya ke jendela dan perlahan tirainya bergerak melayang ke samping. Sinar matahari pagi yang belum begitu terik pelan-pelan mulai mengguyur ruang tidurku. Aku berpaling ke arah Alexander.

"Pukul delapan pagi, mungkin lewat beberapa menit." Alexander bergumam.

Apa?! Aku terperanjat. Kontan punggungku menegak di atas ranjang.

"Astaga! Aku sudah terlambat masuk kerja!" Benakku sudah membayangkan Dante dengan senang hati akan memotong gajiku kalau aku berani bolos kerja. Dengan panik aku hendak menurunkan kakiku dari atas ranjang ketika Alexander tiba-tiba meraih lenganku.

"Tidak perlu, Laura." Sahutan Alexander mengundang kepalaku berpaling ke arahnya. "Aku tadi sudah menghubungi penyeliamu, Dante. Aku memintakanmu izin tidak masuk kerja dalam dua hari ini karena kamu membutuhkan pemulihan mental setelah kejadian kemarin."

Apa? Dua hari pemulihan mental? Dahiku berkerut mencoba mencerna kalimat Alexander.

"Lalu, apa kata Dante?" Tanyaku ingin tahu. Bagiku, Dante adalah atasan yang sulit, tidak mudah percaya begitu saja, terutama bila menyangkut aku.

"Dante juga mendengar tentang kabar penangkapanmu kemarin dari teman-temanmu." Alexander masih melanjutkan beritanya. Aku tercenung. Ya ampun, cepat sekali kabar buruk tersebar. "Penyeliamu bisa memahami kondisimu, dan dia memberimu izin."

Nah, ini baru sulit kupercaya!

"Dia memberiku izin begitu saja?" Aku mengernyit. Alexander beranjak dari tidurnya dan menempatkan tubuhnya di sebelahku.

[ END ] Broken ShadowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang