~ Met pagi.. ~
Lagi nunggu final liga champions ya? Hahaha..
Sourii.. aku lama gak up date.. 2 minggu ini lagi ribet ma dunia nyata..
Next nya moga-moga gak lama ya.. amin
Happy reading pokokna..
================
Suasana hatiku sedikit membaik, apalagi Alexander membiarkan aku mengenakan jaket hitamku. Awalnya dia melengkungan alis, tanda kurang setuju.
"Tolong. Aku tak bisa tanpa memakainya." Belaku saat ia menanyakannya. Aku menjawab sedikit gugup seraya mencengkeram erat-erat bagian leher jaketku. Alexander mengalah. Dia tidak bertanya apapun lagi sesudahnya.
Aku kira Alexander akan langsung mengarahkan range rover-nya ke I-495 menuju ujung timur Long Island, ternyata ia membawa kami membelah kemacetan 5th Avenue dan berhenti di depan sebuah outlet retail merek-merek terkenal dunia.
Aku menelan ludah, benakku sudah memperkirakan harga satu t-shirt di tempat ini bisa menghabiskan setengah bulan gajiku. Artinya untuk membeli dua t-shirt saja, aku pastikan tidak akan bisa makan selama satu bulan.
Mataku menatap muram ke outlet tersebut. Untuk apa Alexander mengajakku ke tempat ini, padahal jelas-jelas aku tidak akan mampu membelinya?
"Laura?" Suara Alexander mengeret kepalaku untuk berpaling ke arahnya. "Ayo turun."
Alexander membuka kaca mata hitamnya dan menunggu. Sementara aku bergeming di kursiku.
"Alexander, bisakah.. kita ke tempat lain? Kurasa.. aku rasa tempat ini tidak cocok untukku." Kelopak mataku berkedip gugup.
Alexander menutup kelopak matanya sejenak sembari mengambil napas sedikit kasar sebelum perlahan ia membuka kelopak matanya.
"Laura, ada masalah apa? Apa lagi yang kamu khawatirkan?" Desisnya tegas penuh tekanan, terdengar seperti menahan frustasi. Wajahnya mengeras, tatapan sepasang mata kelabunya bahkan lebih tajam dari suaranya.
Terkejut dengan reaksi spontannya, tanpa sadar tubuhku mengerut dan sedikit bergeser menjauhinya.
"Mm.. maaf.. sudah membuatmu marah. Aku hanya ingin.. berbelanja di tempat yang nyaman buatku." Suaraku bergetar.
Terdengar desah napas tertahan dari mulut Alexander. Telapak tangannya terulur ke arahku. Ia membungkus seluruh jari-jari tangan kananku dan meremasnya lembut.
"Ya Tuhan, Laura. Aku tidak marah padamu, apalagi membuatmu takut." Wajah kerasnya berubah penuh penyesalan.
Aku memandang gamang tanganku yang ada dalam genggaman Alexander. Bagaimana caraku mengatakan padanya kalau berada di dalam sana membuatku merasa canggung dan tampak di tempat yang salah? Ditambah lagi, aku belum siap menghadapi tudingan dari diriku sendiri bahwa saat ini aku hampir menyerupai apa yang dituduhkan Naomi padaku. Seorang gold digger.
Aku belum bisa membuang begitu saja perasaan negatif ini dari dalam diriku.
Mungkin apa yang dikatakan Dante benar-benar terjadi, terlalu banyak perbedaan di antara aku dan Alexander. Jarak kami teramat jauh.
"Okay. Kita akan membeli pakaian di tempat lain, setelah kita tiba di The Hamptons, mungkin. Tetapi kumohon, jangan menyimpan hal buruk di sini. Okay?" Jarinya mengelus dahiku sesaat. Aku masih bergeming. "Laura?"
Aku merasakan mentalku sudah merosot setengah, tetapi aku memaksa diriku untuk mengangguk.
"Ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
[ END ] Broken Shadow
General FictionKesakitan dan ketakutan. Laura, seorang wanita muda pendiam terus dihantui oleh trauma masa lalunya. Bekerja sebagai seorang petugas kebersihan juga yatim piatu, Laura lebih suka menyendiri dan tak terlihat dari orang-orang. Alexander, seorang psiki...