Prolog

78.7K 4.2K 56
                                    

Brooklyn, lima tahun yang lalu..


Sakit. Kepalaku rasanya sakit, seperti dihimpit. Secara naluri tanganku ingin mengusapnya, tetapi keduanya hanya menggantung lemah di sebelah tubuhku.

Samar, telingaku mendengar suara orang bercakap-cakap. Apa kesakitanku karena dengung suara-suara itu?

Apa yang sudah terjadi?

Aku mencoba membuka mataku yang terasa sangat berat dan mengumpulkan ingatanku yang berserak.

Aku di rumah sendirian. Seorang pria mendobrak pintu apartemen dengan tiba-tiba. Aku terkejut. Aku tidak mengenalnya. Pasti pria tersebut mengikutiku saat aku kembali dari membersihkan rumah Nyonya Olivia. Dan aku lupa mengunci pintu depan.

Alarm di kepalaku langsung berdering keras. Napasku seketika naik, nyaris mencekik kerongkonganku.

Rambutnya berantakan, sebagian menutupi wajahnya yang berminyak. Ia seperti monster berbau alkohol dan rokok basi. Mengingatkanku pada seseorang yang sangat aku benci. Aromanya menyengat ketika mulutnya berucap.

"Sini, Manis. Sini. Aku sudah lama mengamatimu."

Ia sedikit mabuk, tetapi terlihat tenaganya masih cukup kuat.

Dalam kepanikan, aku melompat menghindarinya. Namun, tangannya yang besar berhasil menangkap pergelangan tanganku dan mengoyak baju atasanku. Aku berteriak dan meronta, tetapi dia malah tertawa kegirangan seolah ketakutanku adalah kenikmatan baginya.

Aku berhasil lepas dari tangan besarnya, tetapi gagal mencapai pintu keluar. Napasku semakin tersengal. Sementara, monster besar itu menatapku melotot penuh napsu dan semakin dekat. Bibirnya menyeringai senang, merasa yakin tiket kemenangan ada di tangan kotornya.

"Hei, mau lari ke mana kamu?! Kita bisa bersenang-senang sebentar. Aku punya uang. Aku bisa membayarmu!"

Kata-katanya adalah tendangan telak bagiku. Dalam ketakutan dan murka, bola mataku nyalang mencari celah.

Aku harus lari! Lari! Lari!

Naluri membawa tubuhku ke kamar Sylvia, dan menguncinya. Sayang, gembok pintunya terlalu lemah, aku tak cukup yakin seberapa lama benda ini bisa menahan tubuh besar monster menjijikan di luar sana.

Di tengah kepanikan yang melandaku, aku mencium aroma itu. Bunga magnolia.

Sy! Dia datang!

Malaikat penjagaku datang untuk menolong.

Sy pasti sangat kesal padaku saat ini. Dia bisa menjadi begitu marah kalau aku menjadi wanita lemah dan penakut.

Sy pemberani dan kuat.

Sy selalu tahu apa yang harus dilakukan. Ia bergerak lincah seperti rusa, lantas berlutut di pojok kamar. Aku sudah tahu ke mana Sy akan menuju, karena ia sudah pernah memberitahuku sebelumnya. Tangan rampingnya gesit menarik salah satu ubin papan kayu, mengangkat benda berbentuk kotak dari sana dan membukanya.

Pistol!

Aku terengah menatap pistol yang tampak kejam di mataku, sementara bunyi pintu kamar berkeretak karena didorong kuat dari luar semakin memancing adrenalin yang sudah membanjiriku sejak tadi. Jantungku berpacu liar ketika memandang Sy menyeringai puas dengan pistol tergenggam di tangannya.

Kita bisa bersenang-senang dengan ini seperti yang ia minta, Laura.

Sy berdiri sembari menyambar tongkat baseball yang selalu tersimpan di kamarnya dan bersiap di samping pintu. Saat pria tadi berhasil mendorong masuk tubuh besarnya melalui pintu kamar yang sudah hancur berantakan, pada detik yang sama tongkat baseball itu berayun menghantam tengkuknya. Monster busuk itu tersungkur tepat di atas lututnya.

Tanpa ragu Sy menempelkan ujung pistol pada sisi wajah berminyaknya. Sy terkekeh penuh kepuasan menyaksikan pria itu nyaris menangis menyadari sebuah moncong senjata api siap meledakkan isi kepalanya.

Saat pelatuk pistol hendak ditarik, tiba-tiba sesuatu menabrakku hingga tubuhku terhempas.

Memoriku terhenti di situ.

Saat ingatan itu datang, tubuhku gemetar ketakutan. Mengabaikan himpitan di kepala, aku mengerahkan sisa tenaga untuk membuka mata lebar-lebar dan mencoba merangkak keluar kamar.

Rupanya suara berdengung berasal dari orang-orang di luar kamar ini. Pemandangan di sini sungguh membuatku bergidik. Dua orang polisi sedang berjongkok di dekat tubuh seorang pria yang tertelungkup di lantai dengan darah kental menggenangi seputar kepalanya. Melihat pakaiannya, ia adalah pria yang menyerangku tadi.

Namun, pemandangan yang paling mengerikan adalah aku mendapati mamaku duduk terkulai di lantai. Kedua bahunya merosot lemah. Pandangannya menerawang.

Saat wajah mama berpaling, penampilannya membuatku begitu terpukul. Kulit wajahnya sangat pucat dan tatapannya kosong. Ketika matanya menemukanku, tiba-tiba ia terbelalak. Dari mulutnya keluar teriakan memilukan, membuatku membeku. Sekujur bulu di tubuhku meremang.

"Aku pembunuhnya! Akulah pembunuhnya! Aku yang membunuhnya."

Kata-kata itu seperti mantra bagi mama. Ia terus menyerukannya hingga polisi membawa mama pergi bersama mereka dan meninggalkanku terpaku dalam ketidaktahuan.

Apa yang sesungguhnya sudah terjadi?



==========

"...." isi sendiri..

[ END ] Broken ShadowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang