Happy reading!
==================
"Alexander." Suaraku terhembus seperti orang tercekik. "Apa yang kamu lakukan.. di sini?"
"Aku kebetulan lewat dan melihatmu berdiri di sini," kata Alexander menjelaskan dengan tenang. Bibirnya melekuk senyum tanpa bisa kuduga maksudnya. Mata kelabunya menyala dalam kegembiraan, mungkin mentertawakan wajahku yang tampak tolol sekarang. "Mobilku menunggu tak jauh dari sini, mungkin kamu mau menerima tawaran dariku untuk mengantarmu pulang?"
Ia memiringkan kepalanya, membuat rambut coklat tak beraturannya berkilap di bawah lampu halte yang menyala di atasnya.
Tak sadar aku menyurutkan tubuhku, membuat ruang di antara kami semakin lebar. Namun, Alexander tak berusaha mengambil langkah untuk memangkas ruangnya.
"Terima kasih untuk tawaranmu, Alexander. Aku.. aku lebih menyukai naik bus saja." Aku berusaha menyampaikan penyesalan melalui senyumku yang mendadak menjadi kaku.
"Aku mengerti, Laura. Apa yang harus aku lakukan agar kamu tak takut lagi padaku?" Ia mendesah sembari menyugar rambut coklatnya dengan satu tangan. Wajahnya tampak frustasi. Ia mengambil satu langkah dariku, kali ini aku membiarkannya. "Aku akan menemanimu. Boleh?"
Aku berkedip, mencoba mencerna ucapan Alexander yang membingungkan. Belum juga terjawab, Alexander sudah memutar tumit dan meninggalkanku.
Pandanganku terlalu jauh untuk mengamati apa yang Alexander lakukan dengan seseorang berbadan besar di sana. Aku melihat ia memutar bahu dan menurunkan jas hitam dari tubuhnya.
Apa yang ia lakukan?
Aku tak sempat berpikir panjang karena busku hampir tiba dan aku harus bersiap untuk itu. Kakiku sudah hendak melangkah ketika tahu-tahu Alexander sudah berdiri di dekatku. Tidak ada lagi jas mahal melekat di tubuhnya, ia menyisakan kemeja putih licin dan halus yang tergulung hingga sikunya.
"Aku akan mengantarmu pulang," ucapnya lembut tetapi tegas, mengabaikan kebingunganku.
A.. apa maksudnya?
Tak ada penjelasan lagi, Alexander mengekor di belakangku, lantas memilih duduk di sebelah kursiku. Ia bahkan menyiapkan tiketnya sendiri.
Aku tak punya pengalaman kontak fisik dengan seseorang, apalagi laki-laki. Pengalamanku selama ini hanya Marcus, sebatas kami duduk bersama di atas pick up-nya yang selalu melaju kencang. Sisanya adalah pengalaman dari pukulan menyakitkan yang selalu menjadi hantu dalam setiap tidur malamku.
Beberapa kali bahu kami saling bergesekan. Ringan. Sangat ringan. Tetapi, memiliki efek aneh di dalam tubuhku. Terlebih lagi, hidungku bisa dengan leluasa mencium aroma yang menguar dari tubuhnya. Wangi woody yang kuat bercampur dengan kesegaran citrus, begitu menggoda diriku.
Mengundang otot-otot perutku menjadi kencang serta gelenyar kegembiraan menjalar pelan di sekujur tubuhku. Aku merasa aman, seperti kehadiran seseorang yang aku kenal menjagaku selama perjalanan ini.
Tidak. Tidak. Tidak.
Jangan menjadi bodoh, Laura!
Marcus, maupun Dante sudah mengatakannya padaku. Bahkan Dante terang-terangan memberiku peringatan.
Pria di sebelahku ini jauh _terlalu jauh_ dari kelasku. Sebaiknya aku lebih waspada menjaga perasaan dan pikiranku darinya.
"Alexander, sebenarnya apa yang kamu lakukan?" Aku meliriknya hati-hati lewat sudut mataku. Alexander menoleh dan memandangku. Tajam dan seolah sanggup menembus lorong-lorong jiwaku yang terdalam, nyaris menjamah trauma dan kesakitan yang aku sembunyikan dengan rapat.
KAMU SEDANG MEMBACA
[ END ] Broken Shadow
Ficción GeneralKesakitan dan ketakutan. Laura, seorang wanita muda pendiam terus dihantui oleh trauma masa lalunya. Bekerja sebagai seorang petugas kebersihan juga yatim piatu, Laura lebih suka menyendiri dan tak terlihat dari orang-orang. Alexander, seorang psiki...