2. Dia lagi

603 40 3
                                    

Habis Isya sekitar pukul setengah delapan, aku dan kedua teman Aya tengah berada di Bandara Soeta, tebak mau kemana aku dan mereka?

Pokoknya mau pergi ke tempat sesuatu. Entar juga para netijen yang budiman tahu.

"Kapan nih jadwal berangkatnya?" Kataku kepada Aya yang tengah sibuk memainkan ponselnya.

"Masih ditanyai sama koko" jawabnya pelan.

Aku mengangguk lantas membuka buku novel kembali yang baru aku baca beberapa belas lembar. Lumayan pengisi waktu gabutku sewaktu menunggu pesawat yang belum ada pemberitahuan kapan keberangkatan kami ke tempat tujuan.

Nunggu dari jam berapa, berangkatnya jam berapa. Itulah yang aku rasakan saat ini, hampir 4 jam aku dibuat kesal harus menunggu pesawat kami yang delay. Kok bisa pesawat komersial yang udah top delay gini, gak takut apa entar penumpangnya pada komplain karena dibuat nunggu lama pake banget? Ya ampun vi, sabar. Berpikir postitif aja, ya? Jangan emosi mulu entar cepet tua. 

Habisnya sih kesel.

"Sampe kapan lo manyun terus?" Tanya Ko Rio kepadaku.

Aku melirik sebentar koko Rio yang tengah seyum meledek ke arah aku. Sumpah ini orang nyebelin banget, tahu lagi kesel bukannya kasih es krim malah nambah kesel. Kalau bukan teman, udah aku kurbankan aja pas lebaran haji kemarin.

Eh, jangan deng.

Kasian entar Uni Isti gak jadi kawin kalo lakinya aku kurbankan.

"Tau deh" balasku ketus

"Pantesan jomblo, lo mah gampang emosian orangnya" ledeknya.

"Belum waktunya aja kali mas" balasku dengan cepat.

"Ngeles aja lo kerjaannya kayak bajai.  Pantesan jomblo mulu" ledeknya lagi sambil tertawa.

Aku menatap tajam ko Rio yang tengah tertawa  "Eh ampun, canda gue vi"

"Gue takut kena bedil om Purwa sama  bang Putra kalau tahu ledekin adenya terus" candanya lagi.

"Gue juga punya kok, mau gue tunjukin?" Tanyaku dingin.

"Jangan bedil, sedikit bogem aja lah, mau gak? Biar gak suka ledek-ledek lagi" tambahku langsung membuat ko Rio pucat pasi.

"Jangan gila lo, muka gue gak enak dong nanti diliatnya pas kawin sama Isti" cicitnya bikin ngakak tapi aku harus tahan harga biar terlihat nyeremin dihadapan ko Rio.

"Sekali lagi, ampun deh. Gak sekali-kali lagi deh gue" pintanya.

"Bwahaaaahaha" akhirnya tawamu lepas juga saat ko Rio ketakutan gitu, padahal aku cuma gertak doang tanpa ada niatan serius.

"Upss" aku langsung menutup mulut saat tawaku yang menggema ini jadi pusat perhatian sekitar.

"Sorry, kekencengan" cicitku sambil menunduk malu.

"Anggun dikit napa vi" ingat Uni Isti kepadaku dan aku mengangguk.

"Maaf, uni. Biasa denger apel" balasku sambil nyengir.

"Yaudah ayo" ajaknya mengajak aku jalan untuk nemuin orang yang sudah nunggu kedatangan kami sedari tadi di depan terminal bandara, ia bertugas sebagai tour gite kami selama kami berada di Bangka Belitung.

Yap, aku lagi di Bangka Belitung woy!!!

Ya ampun liburan pertama tanpa keluarga setelah hampir sembilan belas tahun berada dibawah pengawasan ayah dan abang juga para anggota intelejen ayah yang suka aku tidak sadari selalu buntuti aku kemanapun aku pergi.

AWAL (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang