25. Pengakuan

341 31 4
                                    

"Jangan langsung pulang, mas" suruhku kepada Abimanyu.

Dahi Abimanyu mengernyit "Lho, kenapa?"

"Aku tidak mau abang sama kak Putri curiga, lihat wajahku sembab gini"

"Karena yang mereka tahu, aku menghadiri acara pernikahan Agnes, dan gak mungkin pulang dari nikahan wajahku sembab gini, apalagi pulang jam segini, mereka bakal tambah curiga" tuturku kepada mas Abi begitu aku lihat jam di ponselku masih menunjukan pukul delapan malam lebih dua puluh menit.

"Baiklah"

"Lantas kita mau kemana?" tanya Abimanyu.

"Terserah mas"

Abimanyu mengangguk-nganggukan kepala, ia tidak banyak berbicara lagi selain menaikan kecepatan laju mobil dan membawaku menyusuri jalanan Jakarta.

"Lho, mas. kok berhenti disini?" tanyaku begitu Abimabyu menghentikan mobilnya di kawasan monas.

"Katanya gak mau pulang, yaudah, mas ajak dulu kamu kesini" tuturnya kepadaku.

"Yaudah deh, lagian aku belum pernah ngunjungin monas malem-malem gini" jawabku dengan cepat, aku baru tahu ternyata pemandangan monas dimalam hari indah juga apalagi saat memperhatikan lampu tugu monas yang berganti warna-warni.

"Yuk" ajaknya mas Abi tentunya langsung diangguki aku.

Aku dan mas Abi masuk ke pintu monas kemudian kami menyusuri lorong bawah menuju loket penjualan tiket, mas Abi berjalanan ke arah loket buat beli tiket untuk kami berdua sedangkan aku menunggunya.

"Udah?" tanyaku kepada mas Abu begitu ia hampiri aku.

Abimanyu mengangguk "Udah"

"Yuk jalan lagi" ajaknya kepadaku untuk menyusuri kembali lorong dan tangga.

"Mas, bentar deh" Aku menghentikan langkahku saat aku menyadari sedikit kesulitan buat berjalan normal seperti mas Abimanyu.

"Kenapa?" tanyanya menatap ke arahku.

"Novi sulit jalan nih" kataku sambil menunjukan dress yang aku kenakan juga stiletto yang membuat kakiku lumayan cenat-cenut.

Abimanyu menggelengkan kepala sambil tertawa pelan "Dasar wanita"

"Jangan meledek deh, mas" kataku dengan kesal.

Abimanyu mendekat ke arahku "Suudzon aja kamu, neng"

"Yaudah buka aja sepatunya, nyeker lebih baik kayaknya" saran Abimanyu membuat aku menatap dia dengan tatapan aneh.

Yang bener lho, mas! gituloh, maksudnya arti tatapanku kepadanya.

"Gak salah mas?" tanyaku.

"Daripada nyiksa diri, kan?"

Benar juga sih, tapi masalah muka aku ini lho, mau disimpan dimana muka aku kalau aku nyeker alias harus telanjang kaki, yang ada jadi pusat perhatian orang nanti.

Ya ampun, kenapa sih mas Abi kalau punya ide selalu gak tepat!

Mau tidak mau ditambah ada rasa malu, aku lepaskan stiletto yang aku kenakan, lantas aku tenteng ditangan kananku sedangkan tangan kiri aku gunakan buat naikin dressku ke atas agar lebih leluasa jalan.

"Tinggi amat neng, gak pegel itu kaki kamu pakainya?" Tanya Abimanyu sambil menatap ngeri sepatu yang berhak sepuluh senti meter itu.

Aku hanya nyegir, pegal sih, tapi demi penampilan agar terlihat menawan, gak papa lah cenat-cenut dikit, gak tiap hari juga, kan?

"Sini, sepatunya biar mas aja yang bawa" Abimanyu merebut stiletto yang sedang aku tenteng di tangan kananku lantas ia tenteng stilettoku oleh tangan kanannya sedangkan tangan kirinya meraih tanganku dan menggenggamnya.

AWAL (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang