DUA PULUH SATU

732 32 1
                                    

Tidak ada seorang anak yang ingin melihat kedua orang tuanya berpisah. Melihat mereka saja bertengkar, sudah membuat hatinya begitu sakit. Apalagi dengan berpisah.

Tapi nyatanya, itu yang mungkin akan Nita alami sekarang. Melihat surat pembagian harta gono-gini yang sudah ada ditangannya saat ini. Dadanya begitu sesak. Air matanya kini kembali mengalir dengan derasnya.

Dengan dada yang bergemuruh, gadis malang itu merobek kertas yang dia pegang menjadi kepingin kecil hingga tak tersisa.

"Jangan harap aku akan biarin kalian berpisah dengan mudah! Karena jika itu terjadi, mayatku yang akan jadi taruhannya!"

Setelah mengatakan itu dengan penuh penekanan, Nita lalu berlalu meninggalkan rumahnya.

Pagi ini tidak seperti biasanya. Semangat yang sudah dia kumpulkan berhari-hari, sudah menguap menjadi abu.

Semalam, saat ibunya kembali dari luar, Nita langsung mengeluarkan segala uneg-uneg yang dia pendam selama ini. Gadis itu mengatakan semuanya. Bahwa dia tidak setuju jika kedua orang tuanya hendak bercerai. Katakanlah dia egois. Tapi dia juga memikirkan masa depannya dan juga sang adik. Lantas, apa dia berdosa jika melarang kedua orang tuanya untuk tidak bercerai?

***

"Ngapa muka lo kusut bener hari ini?" tanya Wahdah heran saat melihat wajah temannya yang tidak seceria seperti biasanya.

Lima menit yang lalu Nita dan Wahdah baru saja sampai di rumah gadis berkacamata itu, Wahdah. Nita tidak pulang ke rumahnya. Melainkan dia yang ikut pulang bersama Wahdah. Dengan alasan, dia ingin menonton drama korea di rumah temannya itu. Padahal, nyatanya dia hanya ingin menghindari kedua orang tuanya yang sedang bermasalah.

"Gue lagi ada masalah." Nita menghembuskan nafasnya lalu beralih tengkurap di atas ranjang empuk milik Wahdah.

"Ranfa lagi?" tebak Wahdah.

Nita berdecak. "Ya bukan bambwank! Masalah keluarga gue ini!"

"Orang tua lo bertengkar?"

"Lebih dari itu."

Wahdah terlihat masih kebingungan. Memangnya apa lagi jika bukan bertengkar?

"Apa sih, Ta! Cerita aja kali. Kayak sama siapa aja sih lo!"

"Nggak ah. Lo gak bakalan ngerti ada di posisi gue."

Wahdah berdecak kesal. "Yaudah, tanggung aja sono masalah lo sendirian! Kesel gue lama-lama temenan sama lo!"

Nita terkekeh melihat tingkah Wahdah yang sedang kesal seperti ini.

Bukan. Bukannya dia tidak mau berbagi cerita dengan orang lain, tapi dia merasa kalau masalah dalam keluarganya itu seperti aibnya sendiri. Jadi yah biarkan saja seperti itu.

"Dah, lo beneran suka sama kak Alam?" tanya Nita mengubah topik pembicaraan.

Wahdah menoleh dan wajahnya masih terlihat kesal meski tak seperti tadi.

"Ya, masihlah."

"Lo di respon sama dia?"

"Respon nggak di respon sih."

"Masa sih? Tapi kayaknya kak Alam juga suka deh sama lo."

"Gak usah ngadi-ngadi! Nanti gue tambah berharap!"

"Serius gue, Dah."

"Emang lo cenayang yang tau perasaan orang lain?!"

"Ya bukan sih. Feeling aja."

"Tapi nyatanya feeling lo salah."

"Maksud lo?"

"Di naksir sama adek kelas."

CINTA SENDIRIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang