26 | Calon Menantu

1.9K 151 1
                                    

"Yasmin, ayo makan malam!" seru Mama.

Setelah pulang dari rumah sakit aku terus berkutat di depan laptop karena beberapa pekerjaanku yang tertunda siang tadi sedangkan malam ini harus dikirim lewat email.

"Belum selesai?" Pertanyaan muncul dari Papa saat aku mulai bergabung untuk makan malam. Hanya anggukkan yang menjadi jawabanku.

"Yasmin, kapan kamu mau menikah?" tanya Papa pelan, aku terdiam sejenak, kenapa mereka terus membahas pernikahan. "Kalo sudah waktunya nikah," singkatku.

"Kamu sudah janji akan membawa pria yang kamu sukai kesini, apa itu benar?" lanjut Mama.

"Iya benar tapi nanti Ma, udang bakarnya enak Ma, kapan-kapan bikin lagi, ya." Aku mencoba mengalihkan topik pembicaraan, karena terlalu tegang untuk membahas itu.

"Oh iya Ma, tadi siang ada pasien yang kasihan sekali. Dia terkena tifus dan orang tuanya tidak memiliki biaya. Namanya Abel usianya 10 tahun," lanjutku mengingat kejadian di rumah sakit.

Mama dan Papa terkejut mendengar ceritaku, mereka memintaku untuk merawat Abel dengan baik dan membiayai perawatannya. Mereka merasa kasihan pada Abel yang harus sakit diusia mudanya.

Setelah makan malam selesai aku langsung kembali ke kamar dan kembali melanjutkan pekerjaanku ditemani dengan segelas teh insomnia. Pekerjaan selesai tengah malam, barulah aku bisa tertidur nyenyak.

Esok harinya aku harus berangkat pagi sekali karena harus menemui Abel. "Ma, Yas sarapan di RS. Abel nggak mau makan," ujarku pelan sembari memakai jas dokter.

"Baiklah, nanti siang Mama ke RS kamu kita makan siang bersama, karena Mama ada urusan dengan dokter Rian biar sekalian." Aku mengangguk paham dengan ucapan Mamah.

Dengan cepat aku menaiki mobil dengan kecepatan yang cukup tinggi. Tak lama aku sampai di rumah sakit dan langsung menuju ruangan Abel. "Abel, kenapa nggak makan? Abel kan harus sehat. Kalau Abel nggak makan nanti Abel nggak bisa sekolah lagi dan nggak bisa bantuin Ibu," ujarku pelan padanya.

Dia masih memalingkan wajahnya dariku, entah kenapa dia bersikap demikian padaku. "Abel maunya Ibu!" tegasnya.

"Abel, Ibu sedang dalam perjalanan kesini. Jadi Abel makan dulu ya setelah itu Abel minum obat dan akan sehat lagi!" balasku pelan. Abel masih kokoh dengan pendiriannya dia tidak mau makan sama sekali. Ibunya memang dalam perjalanan ke rumah sakit. Tapi kemungkinan besar Ibu Abel sedang melakukan pekerjaannya terlebih dahulu dan mengurus dua anaknya yang lain.

"Abel, Ibu kan punya anak lagi selain kamu. Abel harus ngertiin Ibu. Ibu sedang berusaha datang kesini, Abel harus makan dulu. Kalo Abel nggak makan nanti Ibu sedih loh," bujukku pelan.

Perlahan Abel mulai memakan makanan yang disediakan, dia bahkan memintaku untuk menyuapinya. "Abel anak pintar! Sekarang Abel istirahat ya, Dokter harus kembali," ucapku pelan. Abel mengangguk.

Setelah membujuk Abel cukup lama aku kembali ke ruangan, aku melupakan satu hal. Aku belum sarapan pagi, sebelum memulai aktivitas aku menuju kantin untuk membeli roti dan segelas susu.

Aku memakannya sendiri tanpa seorang teman. "Dokter Yas! Tumben makan disini? Kenapa?" Sarah mendekat ke arahku.

"Abel, kamu sendiri kenapa belum makan?" tanyaku heran. "Aku nggak pulang. Papa memintaku untuk menjaga Vanya sementara," kata Sarah pelan. "Kamu nggak berantem sama dia, kan?"

"Tentu aja berantem. Dia yang mencari keributan, dia bilang aku bakal membuat anaknya keguguran dan membuat dirinya semakin menderita. Vanya berbicara seolah dia yang paling menderita," cerita Sarah.

Vanya memang tidak tahu diri, dia berani berprasangka buruk pada Sarah meskipun Sarah tidak melakukan hal itu.

"Kamu banyak-banyakin bersabar. Sering berbagi cerita ya biar nggak jadi beban buat kamu," nasihatku pelan. "Oke, By the way tadi Pak Rian nyariin kamu katanya besok kamu mau gantiin Pak Rian, ya?" tanya Sarah pelan.

My Handsome Captain | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang