25 | Perjanjian Kami

1.7K 142 0
                                    

"Aku? Nggak bisa yang lain Pak Rian?" tanyaku heran.

"Nggak bisa, semangat ya. Kamu andalan saya," singkat Pak Rian.

Sehari setelah pulang berlibur bersama Sarah tiba-tiba Pak Rian memberi kabar bahwa aku harus menghadiri acara pertemuan dokter tepatnya lusa. Aku berjalan letih menuju ruanganku, seharusnya Pak Rian yang menghadiri acara itu tetapi Pak Rian tidak bisa datang karena ada acara bersama Bu Maya.

Pak Rian seharusnya tahu bahwa aku tidak terbiasa dengan keramaian tapi mengapa dia mengirimku pergi kesana? Namaku juga sudah terdaftar sehingga tidak bisa menolak kecuali aku sakit tidak sadarkan diri.

Mataku melirik tajam saat seorang wanita berteriak histeris diatas brankar yang melewatiku. Sepertinya aku mengenal wanita itu, tepat sekali dia adalah Vanya. Mengapa dia bisa berteriak histeris seperti itu.

Aku tidak jadi kembali ke ruangan, aku justru mencari keberadaan Sarah untuk memberitahukan kabar itu. Sarah berada di ruangan bayi, dia terlihat sangat senang melihat banyak bayi disana. Perlahan aku mendekati Sarah. "Sarah, barusan aku liat Vanya dibawa dengan brankar. Ada papa kamu juga di sana," ujarku dengan pelan takut menyakiti perasaan Sarah.

"Sungguh? Kenapa lagi wanita itu?" pekik Sarah pelan. Sarah berjalan meninggalkan ruangan bayi di ikuti denganku, dia berjalan menuju tempat dimana Vanya dibawa. Sarah tidak berani memasuki ruangan dia hanya menunggu dokter didalam keluar.

"Dokter Rachel! Apa yang terjadi didalam?" tanya Sarah cepat. "Pasien mengalami pendarahan akibat terjatuh, beruntung segera diselamatkan sehingga janinnya masih bisa tertolong." Rachel menjelaskan dengan sangat baik membuat Sarah mengangguk.

"Alhamdulillah kalau begitu," ucapan Sarah membuatku takjub. Bukannya dia tidak menginginkan kehadiran anak itu? Mengapa sekarang dia bersikap demikian? Aku sangat yakin Sarah tidak bermain drama, dia benar-benar cemas saat pertama kali aku mengatakan hal itu.

Apakah Sarah masih mengingat adiknya? Sehingga dia tidak mau anak yang dikandung ibu tirinya itu meninggal? Bisa jadi, meskipun Sarah memaki habis wanita itu tetap saja Sarah masih memiliki rasa kasihan walaupun dia sangat membenci.

Pintu ruangan terbuka memperlihatkan sosok pria bertubuh tinggi dengan sedikit rambut putih di sekitar kepalanya. "Sarah? Sekarang kamu merasa puas melihat anak kami hampir meninggal?" Aku tertegun mendengar kalimat yang keluar dari mulut ayahnya. Sarah sedang menunjukkan simpatinya tapi apa? Ayahnya malah berburuk sangka.

Sarah tidak membalas ucapan ayahnya, dia memilih pergi di ikuti denganku. Pergi adalah pilihan terbaik sebelum pertengkaran diantara mereka terjadi lagi dan menimbulkan keributan di rumah sakit.

"Kenapa kamu peduli?" tanyaku pelan.

"Anak yang dikandung nggak berdosa. Anak itu sah secara agama maupun negara."

Jawaban Sarah membuatku terhenti sejenak, Sarah berpikir dengan sangat dewasa. Dia mengerti apa yang perlu dia lakukan terhadap suatu masalah. Awalnya aku mengira Sarah akan bahagia ketika Vanya masuk rumah sakit karena pendarahan yang kemungkinan besar bayi itu akan mengalami keguguran tapi ternyata sebaliknya, Sarah malah mencemaskan bayi itu.

"Dokter Yas, ada pasien darurat dilantai dua!" seru perawat yang menghampiriku. Aku segera berlari cepat dan menemui pasien tersebut sedangkan Sarah harus kembali mengecek pasiennya.

"Kenapa masih ada disini? Bawa masuk cepat pasiennya!" teriakku lantang.

"Tapi maaf Dokter, keluarga pasien tidak memiliki biaya untuk melakukan administrasi," balas perawat.

Seorang gadis cantik berusia sekitar sepuluh tahun yang terbaring lemah di brankar dengan sang ibu yang terus menangis disisinya.

"Maaf Dokter tapi saya tidak memiliki biaya untuk membayarnya. Saya akan menggadaikan sertifikat rumah saya, saya mohon selamatkan putri saya," mohonnya. Melihat seorang ibu meminta pertolongan aku merasa kasihan, dia terlihat menyayangi putrinya.

My Handsome Captain | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang