Prolog

8.4K 695 30
                                    

Mataku menatap kembali laki-laki yang kini menundukkan kepala di hadapanku. Lagu yang diputar melalui pengeras suara di kafe ini bahkan tak lagi bisa ku dengar.

Tanganku bergetar di atas meja, degup jantungku sudah berdetak tak beraturan saat menatap sebuah kertas berwarna hijau tosca dengan pita yang mengikatnya. Sialan, bahkan aku menyukai desain undangan. Sayangnya, bukan namaku yang terukir dengan tinta berwarna gold disana. Melainkan nama seorang gadis dengan sosok laki-laki yang ku sebut sebagai pacarku. Ah, mantan sekarang.

"Maafin aku Sas, tapi-"

Aku mengangkat satu tangan, meminta Evan agar berhenti berbicara. Karena aku menyadari, kalimat yang akan keluar setelah kata 'tapi' itu, akan membuat sakit hatiku semakin kentara.

"Aku tahu, apa yang mau kamu bicarakan. Well, selamat ya Van." ucapku sambil mengamati undangan yang kini sudah beralih ke tanganku.

Evan hanya bisa menatapku dengan perasaan bersalah. Mengecewakan memang, bagi seseorang yang telah menjalin hubungan selama bertahun-tahun sepertiku, bahkan rela menunggu dirinya kembali setelah dua tahun mengambil pendidikan master di Australia justru berakhir dengan kata putus. Dan menyebalkannya lagi, dia memutuskan hubungan ini bersamaan dengan undangan yang ia berikan padaku. Menyedihkan.

Dua tahun penantianku selama ini berakhir sia-sia. Berakhir dengan melihat nama Evan, bersanding dengan gadis lain. Bukan denganku, yang bahkan setia menunggu Evan kembali. Yang rela menghabiskan waktuku di malam hari untuk mengobrol dengannya melalui telepon karena perbedaan waktu kita yang berbanding terbalik.

Dua tahun penantianku, berakhir dengan menjadi tamu undangan. Miris.

Beberapa kali aku melihat kisah-kisah seperti ini melalui akun media sosial yang ku punya. Tapi kali ini, detik ini, aku justru menjadi salah satu orang yang kini merasakan sakitnya dikhianati. Sakitnya melihat kekasih yang ku cintai, akan menikah dengan orang lain.

Ku hirup nafas dalam-dalam, mencoba menetralkan suara yang hampir bergetar. Berkali-kali aku mengerjapkan bola mata, takut kalau-kalau pertahananku untuk tidak menangis justru pecah dan bulir air mata itu akan jatuh ke pipi. Tidak. Sashikirana, bukan gadis lemah yang mau menunjukkan kelemahannya di hadapan orang lain.

"Sebulan lagi ya?" Tanyaku sambil membaca isi undangan itu dan melihat tanggal yang tertera disana.

Evan yang tadinya menunduk, kini mengangkat wajahnya dan kembali menatapku. Bisa gak sih waktunya diputar ulang, biar aku gak ketemu manusia brengsek satu ini?!

"Aku gak memaksa kamu untuk datang Sas. Aku gak ingin menyakiti kamu. Maafin aku, Sas. Maaf." ujarnya dengan suara parau.

"Aku akan datang, Insyaallah."

Aku melihat jam yang melingkar di tangan, lalu kembali melihat ke arah Evan yang sejak tadi tak henti-hentinya menatapku dengan tatapan memelas "Jam istirahatku udah abis. Terimakasih undangannya dan-" aku berdiri, lalu menjulurkan tangan ke hadapannya "Selamat ya. Semoga langgeng sampai maut memisahkan,"

Ragu-ragu Evan membalas uluran tanganku. Menggenggamnya begitu kuat. Jemarinya terasa dingin, seolah menggambarkan perasaan rindu sekaligus rasa bersalah yang tercurah dalam satu waktu.

"Terimakasih,"

Aku memasukkan undangan itu ke dalam tas. Tanganku meraih handphone yang sedari tadi berada di atas meja, dekat dengan gelas berisi jus yang isinya masih utuh. Aku bangkit berdiri dari "kursi panas" itu, lalu meninggalkan Evan yang masih bergeming ditempatnya. Langkahku kemudian terhenti, ketika Evan memangil namaku sekali lagi.

"Sashi,"

Aku menoleh ke belakang, menatap Evan yang kini juga menatap balik ke arahku, tepat di manik mata. Dan aku, sama sekali tak bisa mengartikan maksud dari pandangannya itu.

"Kalau kamu bertanya-tanya apa aku masih sayang kamu bahkan setelah aku memutuskan hubungan ini, jawabannya ... Iya. Aku masih sayang kamu. Aku masih cinta kamu, Sashi."

Mengabaikan kata-kata yang keluar dari mulutnya, aku memilih untuk berjalan keluar dari kafe. Lalu membelokkan tubuhku ke arah tempat parkir. Tak jauh dari sana, ada toilet yang sepertinya sedang kosong. Belum sampai di tempat yang ku inginkan, tubuhku mendadak limbung. Aku berjongkok di samping mobil yang terparkir dekat dengan kamar mandi lalu aku bersembunyi. Dan menangis disana. Sendirian.

🌻🌻🌻

Maaf, publish ulang karena sudut pandang ceritanya ingin ku ubah 🙏🏻😅

Insyaallah, bakal rutin update kalau cerita satunya sudah selesai. Doakan ya😅

Thanks before ❤️

Publish : 20 Agustus 2020

Above The Time Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang