Tujuh Belas

3.3K 404 23
                                        

YUDHIS

"Mau mampir makan dulu gak?"

Sashi menatap gue bingung. Sementara gue, berusaha bersikap biasa meskipun sebenarnya gue udah dag-dig-dug banget ngasih tawaran kayak gini.

Bukan apa-apa. Masalahnya, tadi di acara nikahan si Leo sama Shinta gue bener-bener kelepasan ngeluarin sinyal-sinyal kalo gue emang lagi on the way deketin dia.

Iya, gue tertarik sama dia. Gue memandang dia bukan lagi sebagai sosok guru SMA yang kebetulan juga jadi wali kelas adik gue di sekolahnya. Tapi, gue melihat dia sebagai wanita bernama Sashi.

Dan menurut gue, sejak dia kembali, setelah terima telepon dari temannya, dia mendadak jadi lebih diam. Ya walaupun di setiap kita ketemu dia emang pendiam, tapi yang sekarang beda. Mana dari tadi dia cuma ngelihat ke arah jendela mulu, gak mau nengok ke gue. Untung saja ini masih mau di antar pulang.

Gara-gara si Firzi kampret nih!

Pertanyaannya mancing ego laki-laki gue buat nunjukin kalo gue interested sama Sashi. Mana Renata juga ikut-ikutan lagi, ah! Gue yakin mereka sengaja tanya kayak gitu karena mereka tahu kalau emang jarang datang ke acara nikahan. Sekali-kali nya datang malah bawa cewek yang mereka gak kenal sama sekali.

"Masih lapar? Kalau saya sih udah kenyang."

Ditolak secara halus bos! Oke, pakai cara lain.

"Iya gitu deh. Lambung ku emang agak-agak longgar space-nya,"

Sashi nampak menghela nafas panjang, sebelum akhirnya mengangguk. "Ya udah, oke."

Yes! Gue berseru dalam hati sambil mengepalkan tangan. Seketika itu juga Sashi melirik ke arah gue, membuat gue langsung menyembunyikan tangan dan kembali fokus menyetir.

Sesampainya di restoran, gue langsung memarkirkan mobil. Gue masuk ke dalam resto beriringan dengan Sashi. Begitu pintu terbuka, gue langsung ngelihat Deni yang berdiri di dekat pintu menyambut gue.

"Selamat malam, selamat datang mas. Mau makan atau mau langsung ke ruangan?"

"Malam. Mau ambil dokumen di atas, ntar makanannya antar kesana ya. Menu biasanya,"

"Baik mas,"

Deni mempersilakan gue untuk meneruskan langkah. Gue langsung menarik tangan Sashi menuju ke lantai tiga. Lantai dimana kantor gue berada. Lantai tiga ini awalnya cuma ruangan biasa yang di sekat menjadi 3 bagian, satu ruangan pribadi gue, ruangan manager alias tempatnya Deni, dan satu lagi buat ruang meeting.

Iya, restoran ini emang punya gue. Sekitar dua tahun yang lalu gue membangun dan mendirikan rumah makan ini. Gue membuka bisnis di bidang kuliner karena almarhumah Mama suka banget masak. Beliau yang kemudian membantu gue untuk menentukan fokus bisnis ini. Dan menu yang ada di restoran ini semuanya murni dari resep nyokap. Bahkan sampai saat ini.

"Kamu pemiliknya?"

"Resto ini?"

Sashi menganggukkan kepala.

"Iya haha. Kenapa? Aneh ya lihat cowok punya bisnis kuliner? Makanan-makanan tradisional lagi,"

"I'm just amazed."

"Gimana?"

"Enggak. Ini ruangan kamu?"

Sashi masuk ke dalam ruangan kerja gue sambil memperhatikan setiap sudut ruangan. Ruangan ini emang di desain minimalis. Di dominasi warna putih, dan dinding kaca yang langsung menghadap ke arah luar. Propertinya cuma ada sofa, meja dan kursi kerja serta rak yang berisi buku-buku yang biasanya gue baca kalau lagi gabut disini.

Above The Time Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang