Tujuh

2.8K 421 11
                                    

YUDHIS


Suara ketukan pintu yang terdengar nyaring di telinga, membuat gue seketika mengalihkan perhatian dari layar PC ke pintu ruangan gue. Saat pintu kebuka, mata gue langsung menangkap keberadaan Lia. Sekretaris yang udah bekerja sama gue selama dua tahun belakangan ini.

"Masuk, Li." kata gue. Lia mengangguk, kemudian masuk sambil menenteng satu sebuah iPad–yang biasa dia bawa–di tangannya.

"Permisi pak."

"Iya, silahkan duduk."

Lia langsung menarik satu kursi tepat di depan gue,"Maaf pak. Cuma mau mengingatkan kalau nanti jam 14.00 siang, bapak ada rapat anggaran untuk proyek yang dijadwalkan bakal mulai awal tahun depan. Lalu, jam 19.00, undangan makan malam bersama investor yang dari Malaysia itu pak."

Gue membelalakkan mata kaget. Rapat anggaran? Seingat gue, rapat anggaran bakal dilaksanakan minggu depan.

"Bukannya rapat anggarannya minggu depan ya? Kok jadi hari ini?" Tanya gue keheranan.

Giliran Lia yang mengerjapkan matanya dan menatap gue bingung. "Lho, kan memang diajukan hari ini, Pak. Saya udah mengirimkan e-mail schedule bapak untuk minggu-minggu ini kok. Dan kemarin, saya juga udah bilang ke bapak secara langsung saat kita di perjalanan untuk ketemu client di restoran."

Gue menepuk jidat gue sendiri. Bisa-bisanya gue lupa, padahal kemarin dengan kondisi sadar bilang 'oke' waktu Lia kasih tahu kalau ada perubahan schedule. Awalnya, jadwal gue hari ini full di dalam kantor. Gak ada visit ke lapangan ataupun janji temu dengan client. Hanya ada undangan makan malam dari investor yang udah kenal gue dengan baik sejak lama. Tapi, kata lupa lagi-lagi merusak memori otak. Di dalam mobil kemarin, Lia udah ngingetin gue secara langsung kalo hari ini bakal ada rapat anggaran. Dan gue juga udah menjawab 'iya'. Tapi serius, gue gak bohong kalau gue lupa.

"Aduh, maaf saya lupa. Jam dua siang, ya?" tanya gue mencoba memastikan.

"Iya pak, betul sekali." Jawabnya.

"Dokumen rencana anggarannya, kamu yang bawa kan?" tanya gue, yang langsung membuat dahi Lia berkerut heran. Sedetik kemudian, Lia justru menggelengkan kepalanya. Duh, apalagi ini?!

"Bukan kamu?" tanya gue memastikan.

"Bukan, Pak. Kan minggu lalu bapak sendiri yang minta dokumennya, mau bapak bawa pulang untuk di cek di rumah." Jawabnya membuat gue mengusap wajah frustasi.

"Berarti dokumennya masih di rumah. Ya sudah kalau gitu, saya ambil ke rumah aja." Gue berdiri dari kursi, mengambil kunci mobil yang ada di atas meja kerja dan meraih jas yang sedari tadi gue biarkan menggantung di kursi kerja.

Belum sempat gue melangkah meninggalkan meja, Lia menghentikan langkah kaki gue.

"Tapi pak, ini kan masih jam makan siang. Jalanan pasti macet, pakai jasa ojek online aja bagaimana? Biar saya order sekarang juga," Sarannya.

Kali ini, gue yang ganti menggelengkan kepala. Bukan apa-apa, cuma orang rumah gak akan ada yang tahu dimana gue menyimpan dokumen itu karena , fyi, semua dokumen-dokumen penting apalagi berkaitan sama perusahaan. Selalu gue simpan di salah satu lemari yang gue kunci. Dan kabar buruknya adalah, kunci lemari itu cuma satu dan selalu gue bawa kemana-mana.

"Enggak bisa, Lia. Ruangan saya, saya kunci. Dan yang pegang kuncinya cuma saya. Nanti kalau jam dua siang saya belum datang, tolong katakan permintaan maaf saya. Saya pergi dulu," pamit gue sambil memasukkan dompet ke dalam saku jas. Lia menganggukkan kepala. Dan gue langsung bergegas keluar dari ruangan.

Above The Time Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang