YUDHIS
Gue meregangkan otot-otot tubuh sesaat setelah masuk ke dalam kamar. Rasanya tulang gue remuk semuanya. Minggu-minggu ini kerjaan benar-benar lagi overload.
Setelah melepas jas dan melemparkan dasi ke dalam keranjang baju kotor. Gue melangkah menuju kamar mandi, untuk membersihkan diri. Tadinya, Leo mau ngajak gue makan malam bareng. Setelah gak sengaja ketemu di salah satu mini market, waktu gue mampir beli rokok. Dia lagi anterin calon istrinya belanja katanya. Tapi gue nolak. Selain karena gak enak—ada calon istrinya, takut ganggu—gue juga gak mau jadi obat nyamuk.
Ya kali, mau nontonin orang pacaran. Belum lagi, kalau mereka ternyata mereka mau bahas soal persiapan pernikahan. Makin gak enak gue. Gue tahu, mereka jarang ketemu karena sama-sama sibuk. Sampai akhirnya, gue berpisah sama keduanya di mini market itu. Sebelumnya, gue juga sempat ketemu calon istrinya itu. Gue ingat wajahnya, tapi lupa namanya. Udahlah, bodo amat. Gak penting.
Dengan handuk yang masih melilit di pinggang, gue membuka lemari. Mengambil satu celana pendek dan satu kaos oblong. Baju kebesaran gue kalau di rumah. Meskipun gue masih umur 28 tahun, gue gak mau kelihatan tua. Makanya, dari segi fashion gue selalu memilih baju-baju yang bisa bikin gue kelihatan forever young.
Anjir, kayak lagunya artis Korea kalau gue inget-inget.
Setelah berpakaian. Gue berjalan keluar kamar, menuju ke ruang kerja. Saat membuka knop pintu, gue melihat lampu ruangan yang menyala. Siapa yang masuk? Batin gue. Karena, biasanya lampu ruangan kerja gue mati. Mungkin, mbak Nur tadi pas beres-beres lupa matiin kali ya.
Gue menutup pintu, lalu berjalan menuju ke meja kerja. Di sana, udah ada beberapa tumpuk map yang tentu saja berkaitan dengan kerjaan gue. Gak di kantor, gak di rumah. Yang gue lihat, map lagi map lagi. Bosen juga lama-lama.
Saat tangan gue meraih satu map merah, gue melihat sebuah amplop coklat. Dengan logo sekolah dimana Yura menuntut. Gue raih amplop itu disana tertulis surat ditujukan ke orangtua atau wali. Yang mana artinya, itu surat buat Papa atau gue. Gue membuka amplop itu dan menemukan satu kertas putih.
Surat panggilan orangtua/wali murid.
Jantung gue mencelos membaca kalimat itu. Surat panggilan orangtua? Buat apa? Yura kenapa? Gue akhirnya membaca surat itu dengan seksama. Dan setelah semuanya terbaca, satu hal yang bisa tarik sebagai kesimpulan dari isi surat ini. Yura membuat masalah dan pihak sekolah ingin bertemu wali muridnya.
Gue menenteng surat itu keluar dari ruang kerja. Dan berjalan menuju kamar Yura. Gue mengetuk pintu kamarnya tiga kali, baru kemudian pintu jati berwarna coklat itu terbuka. Menampilkan wajah adik gue disana.
"Mas mau ngomong sama kamu," ucap gue to the point.
"Ya ngomong aja,"
Gue menyodorkan surat itu ke hadapannya,"Ini apa, dek?"
"Surat panggilan orangtua," jawabnya enteng. Membuat sisi emosional gue mulai terpancing.
"Ya mas tahu, ini surat panggilan orangtua. Tapi kenapa? Kenapa sampai kamu dapat surat ini?"
Sedetik, dua detik. Yura diam, tak membalas pertanyaan gue.
"Jawab!" Nada suara gue mulai meninggi.
"Aku nonjok murid lain. Sampai hidungnya retak dan mimisan,"
"Nonjok—what? Dek, are you serious?"
Gue mengusap wajah dengan kasar ketika Yura, adik gue, mengangguk. Yang mana artinya, apa yang dia katakan sama sekali gak bohong.
"Kenapa? Apa alasannya kamu nonjok dia sampai sebegitunya?!" Kali ini, gue benar-benar emosi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Above The Time
Aktuelle Literatur[ON GOING] Setelah menjalani LDR (Long Distance Relationship) selama dua tahun, Sashikirana, harus menelan pil pahit atas penantiannya selama ini. Kepulangan sang kekasih ke tanah air, bukanlah untuk kembali menemuinya dan mengajaknya untuk menaikka...