Satu

5.3K 552 19
                                    

SASHI

Langkah kaki membawaku kembali memasuki ruang guru, setelah kurang lebih 80 menit memberikan materi di kelas XII C selesai. Aku menyapa beberapa guru yang duduk di tempat mereka masing-masing. Usai meletakkan tas yang berisi laptop serta kotak pensil dan buku materi pembelajaran di meja, aku berjalan menuju ke arah pantry, yang terletak tepat di sebelah timur ruangan. Mengambil satu gelas, lalu menekan dispenser.

Mengajar selama dua jam mata pelajaran, atau 2x40 menit membuat tenggorokanku terasa sangat kering. Meskipun aku menyukai profesiku sebagai guru, namun berbicara selama itu tentu saja cukup melelahkan.

Oh ya namaku Rahayu Sashi Kirana, usiaku baru 25 tahun dan seperti yang kalian baca di awal aku berprofesi sebagai guru tetap di SMA Pelita Harapan. Aku sudah menjalankan profesi ini selama kurang lebih empat tahun dan di tahun ketiga alhamdulillah aku di angkat menjadi pegawai negeri setelah menjalani ujian CPNS. Dulunya, aku pernah menjadi salah satu guru honorer di sekolah menengah tingkat pertama yang lokasinya dekat dengan daerah rumahku, lalu setelah resmi diangkat sebagai PNS, namun SK-nya mengharuskan aku untuk mengabdikan diri menjadi guru di SMA Pelita Harapan.

Menjadi guru adalah cita-citaku sejak masuk ke sekolah dasar. Ada satu pengalaman yang akhirnya membuatku merasa nyaman dan menyakinkan diri bahwa di masa depan aku harus menjadi seorang guru dan membagikan ilmu yang banyak kepada semua orang.

Dulu aku pernah menjadi salah satu siswa berprestasi di sekolah saat masih SD. Kerap kali mendapat pujian dari teman-teman bahkan guru ku di sekolah. Namun pada satu hari, aku menyadari bahwa ada satu teman kelasku yang saat itu mengalami kesulitan dalam membaca. Berkali-kali mendapatkan teguran dari guru karena ia masih belum lancar membaca bahkan saat sudah duduk di kelas dua. Aku mengamati semua kejadian itu lalu ku ceritakan hal itu kepada ibu, dan ia memberikan kalimat yang hingga kini masih tertanam kuat di kepala ku.

"Kalau kita punya ilmu, akan lebih baik jika kita membagikannya dengan orang lain. Karena sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Dan sebaik-baik ilmu, adalah yang di sampaikan bukan di simpan sendirian. Sashi mengerti?" Itu kata ibuku dulu.

Tersadar akan lamunan di masa lampau. Aku kemudian berinisiatif untuk membuka laptop, mengecek tugas anak-anak didikku yang kemarin ku minta untuk membuat analisis mengenai unsur-unsur yang terdapat dalam puisi.

Mataku mengamati satu persatu nama-nama file berbentuk Microsoft Word Documents yang ada di layar berukuran 14 inchi itu. Lalu menghitung jumlah dokumen yang ada. Harusnya, dalam satu kelas terdapat 40 file. Namun, dikelas XII A, hanya ada 39. Kurang satu dari jumlah seharusnya. Aku kemudian membuka map yang berisi daftar hadir, mengecek lagi nama-nama yang sudah mengirimkan tugas. Lalu tatapanku berhenti pada satu nama yang belum mengumpulkan tugas yang aku berikan.

"Serius amat bu," suara Dewi membuat fokus ku buyar saat tengah serius mengamati daftar hadir siswa di tangan.

"Apaan sih Wi. Jam ngajar udah selesai emang?" tanyaku basa-basi sambil kembali menaruh perhatian pada apa yang ku kerjakan.

Dewi mengangguk. Tangannya lalu menarik satu kursi dari bangku sebelah, kemudian mengambil posisi untuk duduk tepat di sampingku.

"Hari ini jadwal gue marathon, gak tanggung-tanggung. Jam tujuh pagi sampai jam dua belas siang non-stop. Lo liat gak nih, make-up gue? Udah luntur. Untung aja, kelasnya di lantai dua semua. Bisa copot kaki gue kalo kelasnya mencar-mencar beda lantai," Dewi menceritakan kegiatannya hari ini yang gak ada habisnya.

Above The Time Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang