Dua Puluh

1.9K 231 9
                                        

SASHI

Hari minggu pagi aku sudah bersiap untuk melakukan olahraga bersama dengan Dewi. Kami sudah janjian sejak beberapa hari yang lalu. Dewi bilang, dia ingin kembali rutin berolahraga, terutama jogging. Badannya sudah mulai berat juga katanya.

Dengan memakai pakaian olahraga, lengkap dengan sepatu serta topi, aku berangkat ke taman kota dengan mengendarai mobil. Sebelumnya, aku harus menjemput Dewi di rumahnya lebih dulu karena kebetulan, jalan menuju ke lokasi taman itu searah dengan rumah Dewi.

Perjalanan dari rumah Dewi menuju ke taman memakan waktu sekitar 10 menit saja. Sampai di lokasi, dan setelah memarkir mobil. Aku dan Dewi bergegas mencari lokasi yang cukup luas. Kami melakukan pemanasan lebih dulu agar tidak mengalami cidera.

Usai memasang earphone ke telinga, dan membuka aplikasi Spotify aku langsung berlari lebih dulu. Sementara Dewi menyusul beberapa langkah kemudian.

Selesai mengelilingi taman sebanyak dua putaran kami beristirahat sejenak di sebuah ayunan yang kosong sambil meluruskan kaki sejenak.

"Tumbenan sepi ya tamannya? Padahal ini hari libur loh," celetuk Dewi.

"Iya ya? Biasanya kita kesini hampir gak pernah dapat parkir. Tapi, hari ini gak harus pusing-pusing nyari juga longgar parkirannya."

Dewi menganggukkan kepala setuju. Taman ini memang jarang terlihat sepi. Di hari-hari kerja pun kadang masih banyak orang yang mengunjungi. Apalagi di hari weekend seperti ini, lebih ramai lagi dari hari biasanya. Tapi jujur, kali ini memang beda. Tempat ini terlihat begitu sepi, padahal taman ini dekat dengan perumahan orang-orang kalangan atas.

Kami bahkan beberapa kali tanpa sengaja, bertemu selebriti ternama di sini. Mereka juga sama-sama sedang berolahraga dengan keluarga mereka tentu saja.

"Gimana sama Yudhis, Sas? Lancar?"

Aku menoleh ke arah Dewi. "Lancar? Dalam hal apa tuh?"

"Nggak usah pura-pura polos deh lo." Balas Dewi. "Lo tahu yang gue maksud apaan kan?"

Aku tertawa kecil menanggapinya. Membuat Dewi terlihat semakin memberengut kesal. Pasti dia udah kepalang kepo, tapi berusaha dia tahan.

"Apa sih, Wi? Kenapa gue sama Yudhis?" Jawabku setelahnya.

"Nggak deh," sahut Dewi. "Kalau lo emang belum mau cerita, nggak apa-apa kok. Gue nggak mau maksa. Tapi..."

"Tapi?"

"Kalau lo mau cerita apapun—meski bukan tentang dia yah, gue bakalan tetap dengerin kok." Ucap Dewi tulus. "Sorry, kalau gue sama Sinta kelihatan kepo banget dan banyak nanya."

"Apa sih, Wi? Kok jadi serius begini?"

"Gue tahu, gue sama Sinta udah kelewatan. Padahal di waktu yang sama kita juga tahu, kalau lo masih dalam proses 'sembuh' dari sakit hati lo."

Aku menghela nafas panjang. "Gue nggak marah sama lo berdua kok. Justru gue berterimakasih banget sama lo, sama Sinta, karena udah mau jadi pendengar yang baik buat gue, bahkan dengerin curhatan gue. Dan soal Yudhis, gue sama dia emang dalam proses saling mengenal masing-masing aja. We haven't decided to have a serious relationship yet. Yah, setidaknya untuk sekarang ini sih.."

Dewi mengangguk paham, kemudian menoleh ke arahku. "Kalau gue boleh tahu, emangnya kenapa, Sas?"

"Eh tapi kalau lo gak mau cerita sekarang, gak apa-apa. Sorry, mulut gue remnya emang agak blong. You know lah, ya.." Ralat Dewi cepat-cepat, membuatku terkekeh melihat tingkahnya yang merasa serba salah.

Sebuah pertanyaan yang cukup sulit untuk ku jawab. Seharusnya, pertanyaan ini sangat mudah bagiku. Tapi, kenapa aku malah berpikir ulang dulu?

Harusnya, mulutku bisa dengan gampang mengatakan hal-hal yang membuatku tidak bisa menerima Yudhis sedemikian mudah. Tapi, kenapa...

"Sas?"

Aku tersentak kaget ketika Dewi menepuk punggung tanganku pelan. Dia menyadarkan ku dari lamunan.

"Lo ngelamun?" tanya Dewi lagi, yang segera ku balas dengan gelengan kepala.

"Hmmm, kenapa ya? Gue juga bingung sih, apa yang bikin gue sulit buat terima dia gitu aja." Jawabku akhirnya. Untung aku masih mengingat percakapan terakhir ku dengan Dewi sebelum jatuh ke dalam lamunan tadi.

"Dia hampir gak ada minus apapun sih dalam hal kriteria mantu idaman," sahut Dewi.

"That's true." Balasku setuju. "Dari segi apapun, dia bahkan termasuk ke dalam kategori ‘menantu idaman’. But on the other side, ada hal yang bikin gue memilih untuk berpikir lebih lama buat terima dia." Jelasku kepada Dewi.

"What's that?"

"First, gue sama dia baru kenal beberapa bulan. Kedua, dia orangtua wali dari murid gue sendiri, gimana respon Yura nanti kalau dia tahu, kakaknya pacaran sama wali kelasnya, Wi? Gue gak mau bayangin."

"Ya jangan dibayangin dong. Tapi, di realisasiin." Ujar Dewi dengan santainya.

"Wi.."

Dewi tersenyum meringis."Hehe, sorry. Terus, kenapa lagi?"

Aku mengembuskan nafas sebelum kembali bersuara. Ini adalah inti dari segala intinya. "Ketiga, deep down, kalau gue boleh jujur, gue masih ada perasaan takut buat menjalin hubungan yang baru. Gue masih berusaha untuk kembali percaya sama orang lain, terutama cowok. Lo tahu kan Wi, berapa lama gue sama Evan jalin hubungan? 2 tahun bukanlah waktu yang sebentar kalau dijalani. Kita—gue sama dia, bahkan udah punya banyak impian masa depan yang udah kita bahas bersama. Tapi, gue sama dia nggak bisa berakhir dengan sama-sama.."

"Itulah kenapa gue selalu bilang ke diri sendiri bahwa bermimpi mungkin emang gak ada batasannya. Tapi gue tahu, kalau mimpi itu ketinggian, terus jatuh, sakitnya bukan main." Ujar Dewi sambil menatap lurus ke depan. Mungkin, dia nggak sadar ketika mengatakan hal itu tapi aku benar-benar merasa tertampar dengan kalimatnya barusan.

"Tapi gue juga tahu banget, kalau nggak berkhayal, nggak bermimpi, dan nggak punya angan-angan, hidup kita juga nggak akan jalan. We will only see, what God gave us to see. Hidup kita jadinya bakalan flat aja gak sih?" Dewi lalu menoleh ke arahku, seolah meminta persetujuan.

"Kita jadinya cuma bakal berjalan ya karena kita tahu fungsi kaki cuma buat jalan. Bukan karena kita tahu siapa yang membuat kita bisa jalan, apa tujuan kita di depan sana yang mendorong diri kita untuk berjalan." Lanjut Dewi lagi.

"Wi..."

"Kenapa, Sas? Gue salah ngomong ya?"

Aku menggeleng lagi. "Kok lo jadi filosofis gini? Belajar dari mana sih lo?"

"Dari hidup!"

Aku tergelak. "Tapi, makasih ya, Wi. Gue nggak tahu deh, gue harus cerita ke siapa masalah beginian,"

"Ya elah, kek sama siapa aja lo. Sama-sama, sistah."

Dewi kemudian berdiri, mengajakku mencari sarapan di sekitar taman. Dia bilang kalau perutnya sudah lapar, tenggorokannya haus juga karena kebanyakan ngomong katanya. Aku mengiyakan dan menyusulnya berjalan.

Dan dalam setiap langkah itu juga, setelah obrolan panjangku dengan Dewi beberapa menit lalu, isi kepalaku menjadi lebih berisik.

Apa ini sudah saatnya untuk aku kembali membuka hati? Buat Yudhis?

***

Happy reading ❤️

Cerita ini mungkin akan berjalan lambat, tapi jujur aku lebih menikmatinya. Aku pun pengennya nulia cerita ini ya ngalir aja, gak mau target apapun.

Biarlah cerita ini menjadi cerita tersantuy yang ku tulis. Tanpa tekanan, tanpa beban “update harus hari X”.

Buat yang sudah mau menunggu, TERIMA KASIH BANYAK UDAH SABAR❤️

See you di chapter selanjutnya 👋🏻

Publish : 22 Juli 2021

Above The Time Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang