YUDHIS
Gue baru aja keluar dari ruang meeting. Seharian ini gue bakalan ada di kantor kayaknya. Gak ada jadwal meeting di luar juga. Gue melirik jam di tangan kanan, masih pukul 10.00 pagi. Masih terlalu pagi buat gerimis turun. Akhir-akhir ini cuaca bener-bener gak menentu.
Gue baru akan menyalakan PC untuk melanjutkan kerjaan yang masih lumayan banyak, ketika handphone yang gue letakkan di atas meja berbunyi nyaring. Tanda ada sebuah panggilan masuk.
"Halo?"
"Lo di kantor gak?" Leo langsung bertanya, tanpa basa-basi.
"Hem, kenapa Yo?"
"Ini gue tuh abis meeting di dekat daerah kantor lo. Mau mampir, sekalian juga mau kasih undangan."
"Oh, ya udah kesini aja. Gue di kantor kok,"
"Oke oke, 10 menit lagi gue nyampe."
Dan tepat seperti yang Leo bilang di telepon, dia nyampe sepuluh menit kemudian. Sambil membawa paper bag dari salah satu coffe shop yang cukup terkenal. Gue yakin sih isinya nggak lain dan nggak bukan pasti kopi, bukan jamu beras kencur.
Gue ngajak Leo buat duduk di sofa. Ya kali, teman sendiri duduknya hadap-hadapan macam bos dan karyawan. Awalnya, gue hampir mau minta sekretaris gue buat beliin makanan atau something lainnya buat cemilan sambil minum kopi. Tapi Leo menolak dengan alasan habis ini, bakal makan siang bareng calon istrinya.
Gue jadi pengen punya calon istri juga.
"Buat dua orang tuh, terserah lo mau ngajakin siapa. Jangan lupa dibawa undangannya," gue meraih undangan yang Leo berikan. Ada inisial L dan S, Leo dan Shinta.
"Sendirian aja gue. Mau ngajak Yura, tapi dia gak demen kondangan,"
Gue membaca isi undangannya. Melihat nama Shinta di bagian atas halaman pertama, dan di bagian bawahnya ada nama kedua orangtuanya juga. Begitupun dengan Leo. Gue jadi ngebayangin kalo nanti gue nikah nama nama nyokap pasti ada imbuhan kata 'almarhumah'. Bikin dada gue tiba-tiba jadi sesak.
"Jadi, gimana Sashi?"
Gue mengerutkan dahi,"Gimana? Gimana apanya?"
"Gak usah sok jaim-jaim tai kucing lo. Lo suka kan sama dia?"
"Sotoy! Belum sejauh itu juga kali,"
Leo menyesap kopinya,"Ya kalo enggak, kenapa lo sama Sashi tiba-tiba ngilang dan balik duluan waktu itu?" tanya Leo.
"Yang waktu di Mall itu?"
"Iyeee,"
"Ya ada lah. Gue gak bisa cerita karena bukan hak gue buat jelasin itu. Tapi intinya, ada satu kejadian yang bikin Sashi gak nyaman ada di sana lama-lama dan ya udah, gue ajak pulang aja sekalian."
Memang benar kan bukan kapasitas dan hak gue buat ceritain soal kejadian waktu itu? Kejadian dimana gue mencurigai seseorang yang ternyata mantan pacar Sashi dan ngikutin sampai ke depan toilet.
Mukanya ganteng sih—agak geli ya gue bilang gini—tapi yah gitu. Ganteng-ganteng psikopat kalau gue bilang. Ngikutin orang sampai ke toilet itu udah tindakan yang creepy menurut gue. Pasti bukan cuma mengganggu kenyamanan Sashi , tapi dia juga mengganggu pengunjung lain yang memakai fasilitas Mall.
Buset, bahasa gue. Tapi ya gitu lah pokoknya. Lagipula, Leo juga cuma ngangguk-ngangguk aja waktu gue jawab gitu. Gue yakin dia ngerti maksud gue.
"Tapi kalo lo emang suka dan mau deketin dia, gue dukung! Dia cewek baik-baik dan dari keluarga baik-baik, gue jamin." ucap Leo tiba-tiba.
"Lo emang kenal deket sama dia?" tanya gue penasaran.
"Nggak deket-deket banget sih. Tapi kan dia sohib calon bini gue, jadi ya sedikit banyak gue tahu," balas Leo. "Abis patah hati doi,"
Gue gak tahu. Yang gue tahu dia punya mantan pacar psiko yang ngikutin dia ke toilet Mall tempo hari lalu. Gue pemgen tanyakan ini ke Leo pun, belum tentu dia mau ngomongin ini. Tapi lain hal kalo dia tiba-tiba cerita dengan sendirinya.
“Dia di tinggal nikah sama mantannya,”
“Ditinggal...nikah??”
Leo mengangguk,“Mereka udah pacaran berapa tahun gitu gue lupa, trus cowoknya lanjut S2. Balik-balik kasih undangan nikah,”
Jadi selain psiko, cowok itu brengsek juga? Tahu gitu gue ajak gelut aja kemarin-kemarin!
Kalo dilihat dari reaksi dan interaksi mereka beberapa hari lalu gue tebak sih kejadiannya pasti belum lama. Tapi, nanti aja deh. Gue belum mau tahu—bahkan gak mau tahu juga sih—masa lalu Sashi kayak apa. Dia yang sekarang adalah yang bikin gue tertarik. Dan itu jauh lebih penting daripada mikirin masa lalunya.
Ngomong-ngomong, dia lagi ngapain ya sekarang?
“Woi!”
Gue mengerjapkan mata berkali-kali waktu Leo melambai-lambaikan tangannya di depan muka gue.
“Ngelamun jorok lo ya?” tuduhnya yang sontak membuat gue dengan refleks melemparkan tisu ke mukanya.
"Ndiasmu! Kagaklah gila,”
“So, lo mau nyoba?”
Gue menaikkan sebelah alis. “Nyoba apaan?”
“Kenal lebih jauh sama dia. Baru sekali ini loh gue ngelihat lo yang tertarik duluan sama cewek. Biasanya juga lo yang dikejar-kejar cewek-cewek modelan barbie,”
“Ya karena Sashi bukan termasuk dari cewek-cewek barbie wanna be kayak mereka,” jawab gue sambil membentuk tanda kutip dengan kedua tanganku saat menyebut kata barbie.
Gue berkata jujur, kalo Sashi memang bukan kayak tipe cewek-cewek lainnya. Dia beda. Seperti yang pernah gue bilang, dia satu-satunya cewek yang pas pertama kali ketemu gue, justru bersikap biasa aja bahkan cenderung dingin. Dia nggak kelihatan gak menghargai gue tapi dia juga gak bersikap se-ramah itu sama gue. Dan hal itu justru membuat gue merasa cukup nyaman di dekat dia.
Akhirnya, akhirnya ada satu cewek yang bersikap ‘normal’ saat berada di dekat gue.
Dan mungkin juga karena perbedaan sikapnya dengan perempuan-perempuan lain itulah yang bikin gue malah semakin penasaran sama dia.
***
Happy reading~~ ❤️
Publish : 4 Desember 2020

KAMU SEDANG MEMBACA
Above The Time
General Fiction[ON GOING] Setelah menjalani LDR (Long Distance Relationship) selama dua tahun, Sashikirana, harus menelan pil pahit atas penantiannya selama ini. Kepulangan sang kekasih ke tanah air, bukanlah untuk kembali menemuinya dan mengajaknya untuk menaikka...