Dua

4K 474 16
                                    

YUDHIS

"Pak Yudhis, tunggu pak!"

Suara panggilan seseorang dari arah belakang, membuat gue berhenti melangkahkan kaki. Ini adalah hari pertama gue, setelah dua minggu penuh melalang buana ke Eropa. Enggak, gue enggak lagi habis liburan, tapi ada kerjaan yang harus gue handle secara langsung di sana. Liburan dalam kamus hidup gue itu ibaratnya cuma mitos. Dari dua puluh hari jatah cuti dalam setahun, paling yang gue pakai cuma tiga sampai empat hari. Selebihnya, tetap gue pakai buat bekerja. Biaya hidup, makin lama makin mahal cuy.

Dan lagi, gue paham bokap makin hari juga makin tua. Semenjak nyokap meninggal beberapa tahun lalu, Papa kelihatan gak semangat hidup. Yah, kalau ketemu client di kantor sih kelihatan biasa aja. But, you have to see him at home. Beliau jadi lebih pendiam. Dan menghabiskan waktunya hanya di taman belakang, tempat dimana dulu dia sama nyokap ngobrol santai disana.

Gue kadang sampai malas balik ke rumah karena nyaris gak ada yang bisa gue ajak ngobrol. Adik gue satu-satunya pun, juga sepertinya terpukul pasca Mama meninggal, dan pilih buat menjauh dari semua orang. Termasuk gue. Gue bahkan ngerasa, nyaris gak punya alasan kuat untuk pulang ke rumah. Rumah bagi gue hanyalah tempat numpang tidur, mandi, sama berak. Urusan makan, gue biasa beli di luar.

"Kenapa, Ris? Ada dokumen yang kelewat ya? Maaf, tadi saya buru-buru. Kamu bisa taruh aja di meja. Saya lagi ada janji sekarang, dan--" gue melirik jam tangan yang melingkar di tangan kanan "saya udah telat kayaknya."

"Bukan, Pak. Ini tadi ada undangan. Di titip di resepsionis karena mbak Lia, sekretaris bapak lagi ambil cuti."

Gue mengerutkan kening. Jujur aja, ada udah beberapa undangan dengan tema serupa--resepsi pernikahan--yang bertumpuk di ruang kerja gue. Dan hari ini nambah satu lagi. Undangan berwarna tosca yang sekarang masih ada di tangan Haris itu, adalah undangan kesekian yang gue dapat bulan ini. Gue gak tahu lagi itu undangan yang ke berapa. Maybe six or seven? Gue lupa.

"Ya sudah, kamu bawa aja ke ruangan saya ya. Saya benar-benar harus pergi sekarang." Gue menepuk pundak Haris sekali, sebelum pergi meninggalkan gedung dengan dua puluh lima lantai ini.

Di lobby, sopir pribadi gue, Pak Eko, sudah siap di balik kemudi. Tanpa ba-bi-bu lagi, gue langsung masuk ke mobil bagian belakang. Dan meminta pak Eko buat menjalankan mobil, menuju tempat yang gue sebutkan.

***

Gue memasuki rumah yang sekarang hampir semua lampunya udah dimatiin. Mata gue melihat ke arah jam yang ada sudut ruang tamu dan ternyata udah jam sembilan malam.

Oh ya, nama gue Yudhis. Yudhistira Wiratmadja. Umur masih 28 tahun, single, dan ganteng. Gue bekerja di perusahaan milik keluarga gue sendiri sejak lulus dari Queensland sekitar 4 tahun yang lalu. Gue punya darah keturunan Jawa, Sunda dan Jepang. Karena, dari cerita yang pernah gue dengar langsung dari nyokap, kakek buyut gue berasal dari Jepang dan juga dari keluarga yang cukup terpandang di sana. Hanya saja, setelah beliau wafat, keluarga gue disini gak ada yang tahu dengan pasti, apakah masih ada keluarga dari pihak kakek buyut yang masih hidup atau enggak di Jepang sana. Jadi ya gitu, kita berhenti usaha untuk mencari tahu karena almarhum kakek buyut pun, gak meninggalkan jejak dokumen atau foto atau apapun bukti konkret soal catatan keluarga disana. Udah puluhan tahun yang lalu cuy!

Well, biasanya gue sampai di rumah di jam-jam tengah malam. Bisa jam dua belas atau jam satu pagi. Tergantung seberapa banyak kerjaan yang harus gue cek dan tangani sendiri. Jam pulang di perusahaan gue standarnya sih jam lima sore. Cuma kadang-kadang, beberapa karyawan yang lembur bisa ada di kantor paling enggak sampai jam sepuluh malam. Itupun hanya berlaku buat karyawan-karyawan cowok, sedangkan karyawan perempuan gue kasih jam maksimal pukul tujuh malam. Walau bagaimanapun, gue masih punya hati nurani untuk gak bikin karyawan gue kerja romusha. Gue bukan Jepang di tahun 1940-an yang membuat kebijakan gak masuk akal dengan bikin aturan kerja paksa.

Above The Time Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang