Delapan

2.7K 423 15
                                    

SASHI

Aku membuka pintu ruang BK—untuk yang kesekian kalinya. Begitu pintu terbuka, mataku langsung bertatapan langsung dengan seorang ibu-ibu dengan wajah merah padam. Menahan emosi. Sementara di sebelahnya, ada bu Inggrid yang juga guru BK tengah menenangkan ibu-ibu itu dengan mengusap bahunya.

Lalu pandanganku jatuh pada sosok siswi yang lagi-lagi membuat kepalaku pening beberapa bulan terakhir. Yura duduk dengan tatapan datarnya. Aku mengambil posisi duduk di samping Yura. Berhadapan langsung dengan ibu-ibu itu dan bu Inggrid. Sementara pak Gatot, berada di tengah-tengah diantara kami berempat.

"Saya gak mau tahu! Anak ini harus bertanggungjawab atas perbuatannya. Kalau dia tidak mau meminta maaf, secara tertulis dan bermaterai, bahwa dia gak akan mengulangi kesalahannya. Saya bakal laporin kasus ke polisi dan dinas pendidikan!" Ancam ibu-ibu itu sambil menunjuk-nunjuk ke arah Yura.

"Sabar bu Ema, sabar." tegur bu Inggrid.

"Sabar sabar gimana bu?! Anak saya di tonjok sampai mimisan sama anak ini," kembali, jarinya menunjuk ke arah Yura."Tulang hidungnya hampir patah! Dan ibu suruh saya sabar? Yang benar saja,"

Aku menarik nafas dalam-dalam. Ikut emosi juga mendengar bu Ema berbicara dengan nada emosional. Menurutku, emosi tidak akan menyelesaikan apapun. Hanya buang-buang energi saja. Tapi, karena aku pun belum pernah menjadi orangtua. Maka aku mencoba memakluminya.

"Maaf bu Ema. Saya Sashi, wali kelasnya Yura. Dan tanpa mengurangi rasa hormat, saya mewakili Yura memohon maaf yang sedalam-dalamnya atas perbuatannya." Ucapku membuat bu Ema setidaknya menjadi lebih tenang.

"Pokoknya saya gak mau tahu ya, bu. Anak ini harus minta maaf."

Yura tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Ia hanya diam saja, tidak menanggapi sama sekali. Bahkan terkesan acuh serta tidak peduli bu Ema berbicara apapun. Apa telinga anak ini benar-benar sudah tertutup? Aku saja, pengang mendengar bu Ema berbicara panjang dari tadi dan tanpa henti seperti kereta.

Usai suasananya cukup meredam. Bu Ema pamit undur diri, di temani oleh bu Inggrid yang menemani beliau sampai ke parkiran sekolah. Sementara Yura, masih duduk bersamaku dan pak Gatot. Dan kini, mata pak Gatot menatap Yura tajam.

"Yura, bukankah bapak sudah bilang berkali-kali. Tolong, jaga emosi kamu." Ujarnya sambil menghadap ke arah Yura.

"Tulang hidung Raka hampir patah, karena pukulan kamu. Sekarang bapak tanya, ada masalah apa kamu dengan Raka? Apa dia melakukan sesuatu sampai membuat kamu marah? Atau ada masalah lain? Cerita sama kami nak, siapa tahu bapak ibu guru bisa bantu."

Yura yang tadinya menunduk, kini mulai mengangkat kepalanya."Bapak gak akan bisa bantu masalah saya,"

Pak Gatot tampak menarik nafasnya dalam-dalam sebelum akhirnya berbicara,"Kita belum tahu Yura. Makanya, kamu cerita sama kami. Atau, kalau kamu tidak nyaman cerita dengan bapak atau guru BK yang lain. Kamu bisa cerita ke bu Sashi. Beliau wali kelasmu." Tutur pak Gatot.

Aku belum mau berbicara apapun. Biarlah pak Gatot yang memberikan nasihat-nasihat kepada anak ini. Pak Gatot lalu berdiri dari duduknya. Berjalan ke arah meja, mengambil sebuah amplop coklat berlogo resmi milik sekolah. Lalu meletakkannya di hadapan Yura.

"Maaf Yura. Karena tindakan kamu sudah diluar batas, maka bapak ingin bertemu dengan orangtua kamu. Pihak sekolah harus menyampaikan ini pada orangtua atau wali kamu."

Yura meraih amplop itu. Menatapnya sekian detik, lalu menganggukkan kepala. Pak Gatot mempersilahkan aku dan Yura untuk keluar dari ruangan. Dan sebelum Yura membalik badan untuk kembali ke kelasnya. Aku menahan pergelangan tangannya.

Above The Time Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang