Tiga Belas

2.6K 415 19
                                    

YUDHIS

"Lo dimana kambing! Pamit ke toilet, gak balik-balik. Nyasar lo?" Leo mengomel melalui telepon. Membuat gue seketika melepas sebelah airpod yang gue pakai.

"Gue sama Sashi udah di jalan, mau pulang. Mending lo-lo semua balik aja. Ngapain sih di sana lama-lama?"

Gue mendengar Leo mengumpat kesal, kemudian disusul dengan suara mengaduh yang keluar dari mulutnya. Kayaknya, kalau boleh gue tebak nih. Ini pasti Sinta baru aja mukul atau nyubitin lengannya Leo, gara-gara ngomong kasar.

"Duh, iya sayang maaf." Gumamnya yang terdengar hingga ke sambungan telepon gue sama dia. Gue tergelak, sementara Sashi menatap ke arah gue penasaran.

Iya, gue emang nawarin-agak maksa dikit sih-buat nganterin dia pulang. Sashi bilang, dia datang ke sini barengan sama Sinta dan Dewi naik taksi online. Dan rencananya mereka bakal pulang dianterin sama si kampret Leo. Tapi, berhubung ada kejadian tadi. Gue langsung ngajak dia pulang aja. Meninggalkan ketiga manusia yang sekarang pasti lagi lumutan di restoran, sambil misuh-misuh karena gue dan Sashi gak nongol-nongol.

"Heh, kutu landak! Kita di sini bertiga nungguin lo berdua tapi kalian malah pulang gak bilang-bilang," balas Leo kesal. "Ya udah ya udah, kita balik. Hati-hati lo, anak orang itu yang lo bawa."

"Iya bawel," jawabku lalu mematikan sambungan telepon.

Melepaskan dua airpod yang terpasang di kiri dan kanan kuping gue. Lalu kembali fokus menatap ke arah jalan di depan. Gila gila, Jakarta dan hari minggu di jam sore-sore gini emang bukan pilihan yang tepat. Macetnya, gak ada ampun. Mana udah mulai gerimis lagi. Keliatan dari kaca mobil gue soalnya.

Gue melirik ke arah kursi samping. Melihat Sashi yang sekarang lagi menatap keluar jendela. Wajahnya udah gak ketakutan kayak tadi waktu ketemu itu cowok. Tapi, sekarang dia kelihatan...murung?

"Laper ya? Di dashbor situ ada roti atau snack kayaknya. Lo makan aja, gratis kok." Ucap gue.

Gue emang biasa selalu naruh makanan, entah snack ataupun roti di mobil sih. Karena, gue nyadar kalau gue orangnya gampang lapar. Apalagi dengan jam kerja gue yang gila-gilaan dan bisa pivot dari satu tempat ke tempat yang lain. Dan belum tentu, jaraknya selalu dekat. Kadang dalam sehari gue bisa bolak balik Jakarta-Bandung, kadang ke daerah Bogor ya gitu-gitu. Yang paling malesin kalo lapar pas jam-jam macet.

Ini pengalaman dan pengakuan pribadi gue sih, tapi gue emang jadi gampang emosional kalo lagi lapar. Jadi ya, daripada gue membuang sisa-sisa tenaga gue dengan marah-marah kan lebih baik gue sedia makanan. Yang kalo lapar, tinggal ngambil.

Balik lagi ke prinsip gue kan: lebih baik mencegah, daripada mengobati. lebih baik sedia makan, daripada mati di jalan.

"Enggak kok, makasih Yudhis." jawabnya sambil noleh ke arah gue sekilas.

Gue diam. Bingung juga mau ngomong apaan. Masa gue ajak ngomongin sejarah perseteruan antara Arsenal sama Chelsea? Gue gak yakin dia paham masalah beginian.

"Sas," panggil gue, Sashi langsung menoleh.

"Ya?"

"Hmm, lo tahu...Chelsea gak?"

"Chelsea Islan? Tahu. Kenapa?"

Oke, Yudhistira Wiratmaja, dugaan lo benar dan gak meleset sama sekali. Poor you.

"Bukan. Gak jadi deh, skip skip." Gue nyengir kuda, sementara Sashi cuma mengedikkan bahunya.

Lama banget jeda antara obrolan gue sama Sashi yang bahas Chelsea Islan—duh! Kenapa jadi ikut ngomong Chelsea Islan?!Pokoknya, ada jangka waktu agak panjang sebelum akhirnya, gue nemu satu topik pembahasan yang mungkin nyambung sama dia.

Above The Time Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang