08

480 85 21
                                    

“Huaaaa!” Yangzi membanting tas ketika tungkainya berpijak di ubin ruang santai. Sontak suara nyaring itu yang menggema di seluruh ruangan menarik anggota keluarga yang lain datang menghampiri.

Terlihat pelayan wanita setengah baya tergopoh-gopoh menghampiri Yangzi, langkahnya yang ringkih karena usia otot yang menua tidak bisa bergerak gesit. “Ya ampun, Zi. Ada apa, sih?” nada khawatir Xiera dari arah tangga juga terdengar, beliau berlari kecil diikuti Wei Ron di belakangnya.

“Baba ngebolehin semuanya, terutama murid golden ticket ikut daftar lomba.” rengek Yangzi seraya mencak-mencak. Flatshoes harga selangitnya pun lepas dan terlempar ke sembarangan arah, menyisakan kaos kaki peach bergambar kristal.

“Astaga, Zi. Kamu kayak gini cuma gara-gara lomba?” Xiera berkacak pinggang menatap penuh peringatan kepada Yangzi.

“Nai, Zizi itu nggak mau ada saingan.” Yangzi mencebikkan bibirnya seraya berbalik melangkah ke arah sofa, ia duduk sedikit membanting tubuhnya.

Ini keberuntungan bagi Chenle, kebetulan Chenle mendapat undangan khusus sebagai nominasi CEO muda tersukses di ajang world's great enterpreneurs awards tepatnya di New York, Amerika. Jadi, Chenle tidak kena amukan Yangzi, mungkin tunggu sekembalinya Chenle dari Amerika.

“Zi, kamu nggak boleh gitu dong. Coba kamu pikir lagi, apa tujuan di bangunnya Zhong Dai highschool? Untuk menciptakan bibit unggul seperti keluarga Zhong, karir yang cemerlang, otak yang cerdas, cekatan dan bertanggung jawab.” Xiera menghampiri gadis manja kesayangan keluarga Zhong itu, duduk di sisi sofa sembari mengelus surainya lembut.

“Ya kan Zizi tetep nggak mau ada saingan.” Yangzi kekeuh dalam keinginannya, dia ingin jadi yang pertama.

“Kamu gimana sih, namanya lomba kan bersaing meraih kemenangan. Ya pasti ada saingannya lah.” Wei Ron ikut mengomentari, sesekali terkekeh geli. Sementara Yangzi melotot menanggapinya.

“Zi, asal kamu tahu, dulu Mama kamu sama seperti mereka.” tutur Xiera. Raut wajah sebal Yangzi berubah penasaran, ia menatap lekat Nainainya itu.

“Mereka?” Yangzi membeo.

“Para murid golden ticket. Mama Kia dulu salah satu dari mereka, Mama kamu sangat cerdas. Bahkan dia beberapa kali mengharumkan nama Zhong Dai dimana-mana.” Xiera merasa menang ketika melihat Yangzi yang sedikit demi sedikit luluh. Memang jika menyangkut ibunya, dia sangat sensitif dan sekarang pasti dia merasa bersalah pada ibunya.

“Yahh, I am sorry, Mama.” gumam Yangzi setelahnya.

Xiera beralih merengkuh bahu Yangzi, mengelusnya lembut. “Maka dari itu, kalau ingin jadi seperti Mama dan ingin jadi yang pertama, Yangzi harus belajar dan berusaha meraih kemenangan di lomba itu.” tutur Xiera. Yangzi sendiri terdiam, mencerna segala nasihat dari Xiera. Kemudian netranya menyorot foto ibunya yang di bungkus pigura emas dengan ukiran khas keluarga Zhong. Foto itu berukuran besar tertempel di dinding ruang santai mansion. /ukirannya sama seperti amlpop surat khusu keluarga Zhong. Kalau lupa, baca lagi part 14 di book Presiden Chenle./

Mansion keluarga Zhong sangatlah besar dengan tiga ruang santai di setiap lantai, dan yang ditempati Yangzi saat ini adalah ruang santai lantai satu. Ruang tersebut dilengkapi dengan satu set sofa dengan meja bundar, juga terdapat lemari pendingin di pojok ruangan. Sementara sekeliling temboknya terdapat foto-foto mendiang keluarga Zhong berukuran besar. Dari buyut-buyut keluarga Zhong sampai dengan orangtua Chenle dan mendiang Kiara.

Salah satu sisi terdapat kaca besar yang berhubungan langsung dengan taman samping dan kolam renang.

“dan kamu harus bisa mengalahkan Gu Fan lan.” sahut Wei Ron. Mendengar nama Fan lan emosi Yangzi tersulut, ia menegakkan duduknya serta bersedekap dada.

Zhong Chenle: His Daughter ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang