Bab 7 Tak Disangka

80 15 5
                                    

"Bagaimana kalau mas dan mbaknya mampir minum dulu di rumah saya. Nanti saya tanyakan anak saya juga tentang alamat ini, " pinta bapak-bapak itu.

"Kami merasa merepotkan nantinya, " kata Sarah mencoba menolak.

"Aduh gak apa-apa. Silahkan masuk, " ajak bapak-bapak itu sambil membukakan pintu gerbangnya.

"Panggil saya, Pak Tejo saja. Silahkan duduk di dalam, " kata Pak Tejo.

Pak Tejo berjalan dahulu menuju rumahnya. Ia buka pintu rumah sederhana itu. Lalu ia langsung berjalan ke arah pintu yang terbuka lebar.

Sementara Juan dan Sarah memilih duduk. Mereka melihat-lihat rumah itu dengan saksama. Banyak sekali koleksi piringan hitam yang tak jauh dari mereka.

"Mas mbaknya mau minum apa? " tanya seorang perempuan muda.

"Air putih aja mbak, " kata Sarah singkat.
Lalu, perempuan itu pergi dan menghilang dari belokan yang ada.

"Sar, kita mau disini sampai kapan? " tanya Juan.

"Sebentar aja. Nggak enak kalau kelamaan, "

Tak lama kemudian, perempuan muda tadi dan Pak Tejo datang kembali. "Istirahat dulu mas mbak. Pastinya capek selama kesini, " kata Pak Tejo ramah. Juan dan Sarah langsung mengangguk - angguk saja.

"Diminum dulu mas mbak, " ucap Pak Tejo yang langsung diiyakan oleh Juan. Lalu, Sarah dan Juan meminum air putih .

"Kalian mau cari alamat siapa ya? " tanya perempuan muda itu di sela - sela memperhatikan Juan dan Sarah.

"Saya disuruh ibu saya kasih barang ini ke Ibu Inneke katanya, " kata Juan sambil mengeluarkan sebuah kotak.

"Maksud kamu Inneke Dwi Susilawati? " tanya Pak Tejo.

"Bener Pak. Dia memang tinggal di daerah sini kan? " tanya Juan lagi.

"Itu nama istri saya. Kebetulan dia sudah meninggal 2 tahun yang lalu. Sebentar saya ambilkan foto dia bersama  teman-temannya, " kata Pak Tejo sambil bangkit dari duduknya.

"Kamu anak Tante Retno? " tanya perempuan muda itu.

"Iya. Nama mbak siapa? " tanya Juan.

"Saya, chelsea. Kalian berdua sudah berapa lama menikah? " tanya Chelsea dengan ramah.

"Maksud-" perkataan Sarah terpotong oleh kedatangan Pak Tejo sambil menyodorkan sebuah foto.

"Disana ada istri saya sama ibu kamu. Pantas saja tadi saya familiar dengan muka kamu. Kamu Juan kan? "

Juan mengangguk sambil melihat foto ibunya saat muda. Terlihat sangat cantik dan kecantikan itu tak pernah pudar hingga kini.

"Istri saya berhenti jadi model ketika melahirkan putri kedua kami, Livia. Katanya, dia gak mau kehilangan momen anak-anak kami lagi. Dia meninggal tepat sebulan setelah Chelsea menikah dan sehari setelah Livia bertunangan, " cerita Pak Tejo sambil menghapus air mata yang sudah menetes.

Chelsea pun menepuk pundak sang Ayah dengan sayang. Perlakuan itu tak luput dari pemandangan Juan dan Sarah. "Ini barangnya ya pak Tejo. Kayaknya kita nggak bisa lama-lama lagi disini, " pamit Juan.

"Ah, ya. Gak apa -apa. Saya titip salam sama ibu kamu. Saya doakan supaya kalian berdua langgeng sampai punya cucu yang lucu - lucu, "

Juan dan Sarah langsung saling bertatapan bingung tapi mereka memilih mengangguk dan bersalaman pada keduanya. Lalu, mereka berdua keluar dari rumah itu menuju mobil Juan.

"Memangnya kita kayak pasutri ya? " tanya Juan sambil melihat Sarah yang terlihat sedikit melamun saat di mobil.

"Maaf, apa? " tanya Sarah ketika sadar dari lamunannya.

"Ah, tidak kok. Sekarang, kita putar arah dan kembali ke rumah kita, " kata Juan.

Kita??! , batin Juan panik tapi saat ia melirik Sarah, Sarah kembali pada pemikirannya sendiri. Untung saja dia tidak sadar. Tapi kau sedang memikirkan apa Sarah?

.

.

.

.

.

.

Juan kini sedang memainkan game di handphone miliknya di meja makan. Makan malam kali ini baru dibuat oleh Sarah. Kebetulan saja, semua pelayan disini sudah pulang dan Ibunya Juan menginap di tempat temannya.

Mereka baru sampai di rumah ketika malam karena mereka sempat terjebak di kemacetan selama beberapa jam yang sungguh menyita waktu dan membuat mereka kelaparan setengah mati di jalan tadi.

Juan mendesah bosan saat permainan telah selesai dan para teman segengnya malah undur diri dan mengatakan kalau mereka sibuk. Ia kemudian menuju dapur dan memperhatikan Sarah yang sedang memasak. Kali ini, Sarah memasak orak arik telur bersama buncis. Tak lupa, Sarah juga menggoreng sosis kesukaan dirinya sendiri.

"Sar, masih lama? " tanya Juan sambil mendudukkan dirinya di kursi yang ada disana.

"Bentar lagi. Kamu ambil nasi dulu aja sana. Aku mau kasih garam dulu, "

Juan hanya mengangguk. Ia berdiri dan menuju magic jar yang tak jauh dari mereka berdua. Ia mengambilkan nasi untuknya dan juga Sarah.

"Kenapa kamu ambil nasi 2 piring? " tanya Sarah saat akan mengambil nasi untuknya. Bukannya menjawab, Juan langsung memberikan 1 piring ke Sarah. "Makasih, " kata Sarah sambil mengambil piring yang disodorkan Juan.

"Ayo makan, " ajak Juan sambil berlalu pergi. Sarah yang diperhatikan seperti itu hanya bisa langsung tersenyum senang. Akhirnya kita bisa menjadi teman dekat seperti dulu lagi,

"Aku mau bicara sama kamu, bolehkan? " tanya Juan di sela-sela kunyahannya.

"Kamu kan sudah bicara, " kata Sarah.

"Aku mau minta maaf kalau sikapku selama ini seperti membencimu padahal kami tidak salah apa-apa. Aku merasa menjadi teman yang sangat buruk padamu karena aku lebih termakan ego daripada ketulusanmu, "

Sarah menghentikan acara menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. Ia menaruh sendoknya dan berkata, "Tak apa. Lupakan saja karena aku sudah melupakan itu semua. Aku juga minta maaf kalau kamu merasa tertekan karena aku, "

"Nggak, ini semua murni kesalahanku. Aku yang selalu melihat segala situasi dari satu sisi, bukan dari segala sisi. Jadi, apakah aku boleh memelukmu? "

Juan langsung berdiri dan menaruh piringnya di kursi. Ia mendekat pada Sarah dan memeluknya dari belakang. Mereka tak menyadari bahwa kegiatan mereka sekarang tengah direkam oleh seseorang.

TBC

Ego Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang