8

5.1K 172 30
                                    

Azizi terlihat duduk di lantai sambil bersandar pada tempat tidurnya. Matanya lurus menatap ke arah kamar Brielle yang tertutup rapat. Semenjak kejadian hari itu, Brielle tak pernah lagi membuka gorden kamarnya. Padahal dulu keduanya suka menghabiskan waktu di beranda kamar masing-masing sambil mengerjakan tugas bersama atau sekadar mengobrol tentang banyak hal.

Tanpa disadari, Azizi meneteskan air matanya. Ia usap kasar kedua matanya yang masih tak berhenti menangis. Isak tangisnya itupun membangunkan Chika dari tidurnya. Chika langsung menoleh dan dengan cepat bangkit lalu duduk di samping Azizi. Selimut menutupi tubuh polosnya yang tidak tertutup sehelai benangpun.

"Azizi, kamu kenapa?" Tanya Chika sambil menyentuh lembut bahu Azizi agar menoleh padanya.

Azizi masih mengusap kedua matanya. "Aku kangen Brielle, Kak."

Chika mengerutkan keningnya bingung. "Loh, kalian kan selalu bareng. Apa kalian jadi jarang ngobrol karena kamu sibuk sama Kak Lala?"

"Sekalipun aku sibuk sama Kak Lala dari kemarin juga hubungan aku sama Biyel gak berubah." Azizi menarik kedua kakinya, lalu memeluknya erat. Ia tenggelamkan wajahnya di sana. "Ini semua karena aku lecehin dia."

"Lecehin?" Chika menatap Azizi kaget. "Apa maksud kamu?" Azizi malah hanya menggeleng. "Azizi liat aku. Jelasin sama aku." Chika menarik tubuh Azizi, memaksanya untuk menoleh ke arahnya.

"Minggu lalu Bang Vino dateng ke sini. Ke rumah Biyel tepatnya."

"Lalu?"

"Aku ngegap Bang Vino main sama Tante Gre."

"Main? Maksud kamu main..." Chika menghentikan kalimatnya. Ia tutup mulutnya saat mengerti maksud dari Azizi. "Zee kamu serius?"

"Aku serius." Azizi menenggelamkan kembali wajahnya. "Kenapa harus sama Tante Gre? Aku tau kita lahir dari Papa bahkan Mama yang gak pernah ngedidik kita tapi kenapa harus jadi sama bejatnya, Kak? Kenapa? Semua barang dari dia aku hancurin tapi aku gak bisa tenang. Biyel denger semuanya. Dia khawatir sama aku. Tapi, aku malah..."

"Lampiasin emosi kamu ke Brielle?"

Azizi mengangguk. "Aku cium dia dan hampir ngelakuin hal lebih. Aku gak akan berhenti kalau Biyel gak teriak ngingetin status kita yang sepupuan." Isak tangis Azizi kembali terdengar dan pecah. "Akhirnya aku sadar, kalau aku ternyata sama bejatnya dengan kedua laki-laki itu."

Chika jelas tidak bisa menjawabnya. Ia jadi merasa bersalah. Memikirkan bagaimana jika Azizi tahu bahwa selama ini diam-diam Chika adalah selingkuhan Papanya? Apakah Azizi juga akan semarah itu padanya?

"Aku harus gimana, Kak?"

Chika menghela nafasnya sebelum berbicara. Menenangkan dirinya sendiri terlebih dahulu agar ia tidak salah berbicara pada Azizi yang masih kalut tersebut.

"Aku tau Kak Vino melakukan kesalahan yang sangat besar. Aku juga gak akan minta kamu maafin dia. Tapi, mendiamkannya itu juga bukan jalan keluar. Seenggaknya kamu harus kasih kesempatan Kak Vino menjelaskan supaya dia lega. Perihal kamu maafin atau gak itu urusan belakangan."

"Terus soal Biyel? Dia juga diemin aku, Kak."

"Coba kamu ngomong pelan-pelan sama Biyel. Kalau dia masih belum mau mendenggarkannya kasih dia waktu. Kamu harus sabar. Pemaksaan juga gak akan nyelesein masalah. Nurut sama aku ya, Zee?" Azizi lalu menangguk. "Nanti aku juga coba ngobrol sama Brielle. 

"Iya, Kak Chika."

"Sini peluk aku. Anak laki kok nangis."

Azizi jadi cemberut lalu memeluk tubuh Chika. Ia hirup kembali aroma tubuh Chika yang begitu menggoda. Selagi Chika tengah berpikir bahwa ia memiliki 2 pekerjaan berat tentang Azizi. Pertama adalah tentunya berbicara dengan Brielle, yang kedua adalah menemui Lala.

Another SideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang