23

3.5K 172 47
                                    

Berhari-hari telah berlalu, Azizi masih terus bergelut dengan pikirannya sendiri. Sebenarnya siapa yang dia inginkan? Siapa yang dia cintai? Bukan hanya sekedar ia butuhkan, tapi hatinya juga inginkan. 

Benar kata Brielle, dia harus memilih, sebelum semuanya benar-benar hilang dari jangkauannya. 

Azizi tengah membereskan beberapa perlengkapan latihan dance-nya, waktu sudah menunjukkan pukul 17.30, dengan tekat yang sempurna, setelah ini ia akan mulai memperbaiki semuanya.

Setelah berpamitan pada rekan-rekannya, Azizi langsung menjalankan mobilnya menuju kawasan apartemen milik Lala, ia yakin gadis yang sudah lebih dari sebulan ini tak ditemuinya tersebut sedang berada di sana. 

Perasaan berdebar-debar, gengsi, dan tidak nyaman kini tengah menderanya, namun sekuat tenaga ia lawan, hingga kini dirinya sudah berada di depan pintu apartemen milik Lala. Dihembuskannya nafas beberapa kali, untuk meredakan debaran jantungnya, sebelum kemudian tangannya mulai naik ke arah pintu dan mengetuknya dengan perlahan. 

Tok. Tok. Tok.

Tak menunggu lama, beberapa detik kemudian, gagang pintu di depannya mulai berputar, diiringi dengan munculnya seseorang yang sedari tadi sudah membuat perasaannya berkecamuk tak menentu dari balik pintu. 

Wajah kaget Lala adalah hal pertama yang Azizi lihat. Pasalnya, sebelumnya beberapa minggu ke belakang, dirinyalah yang selalu menghindar dan menutup akses diri dari Lala. Setiap Lala ke rumah, selalu dirinya menolak dan tak mau ditemui, begitupun pesan dan panggilan telepon, tak pernah ia gubris sekalipun, hingga pada akhirnya Lala yang mulai lelahpun menyerah. 

Untuk sejenak Lala terdiam, sosok yang setengah mati ia rindukan, dengan segala tumpukan rasa bersalah yang masih melekat dalam hatinya terhadap gadis di depannya kini, tanpa diberi kesempatan lebih untuk menjelaskan. 

Raut wajah Lala yang terkejut, perlahan mulai berangsur berubah tergantikan dengan tatapan sendu dan rindu yang begitu terlihat jelas dari kedua mata indahnya.

Tanpa mengucapkan apapun, langsung ia langkahkan kakinya untuk lebih maju ke depan. Sebuah tubrukan keras langsung mendarat pada tubuh tegap Azizi, diiringi dengan isakan tangis Lala yang langsung pecah di dalam pelukannya. Azizi memejamkan matanya, menikmati dekapan hangat dan aroma tubuh yang sudah lama tak ia rasakan. 

"Maafin akuh." Lala terisak hebat, ucapan maaf meluncur dari mulutnya, hatinya perih ketika pelukannya tak mendapat balasan layak biasanya. 

Pelukan yang semakin erat, isakan yang semakin menjadi, membuat hati Azizi terenyuh. Tak mampu bertahan lebih lama lagi, langsung ia angkat tangannya, kemudian ia dekap erat tubuh Lala yang lebih pendek dari padanya tersebut, ia tenggelamkan kepalanya di caruk leher Lala, sambil menyesap dalam-dalam aroma tubuh miliknya yang begitu Azizi rindukan. 

"Azizi," lirih Lala masih terisak. 

Rasa kehilangan begitu menyiksanya selama ini, dirinya bahkan terluka hanya dengan memikirkan Azizi saja. Tak jarang Lala menangis setiap malamnya, menyesali perbuatannya yang membuat Azizi hilang dari jangkauan tangannya. 

"Maafin akuuh."

Azizi mengeratkan pelukannya, ketika tubuh Lala semakin bergetar dengan ujaran kata maaf yang terus terlontar dalam isakannya. 

"Sstttt, udah. It's okay." Azizi mengusap-usap lembut kepala belakang milik Lala, mencoba menenangkan gadis tersebut. 

Beberapa saat saling berpelukan, saling melepaskan rindu yang sudah lama terpenjara, Lala melepaskan pelukannya. Gadis dengan rambut pendek tersebut menundukan kepalanya, tak berani menatap wajah Azizi di depannya, rasa bersalah dan malu akan apa yang telah ia lakukan masih menghantui. 

Another SideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang