Aku masih belum mengerti dengan yang terjadi. Seumur hidup, melihat yang tak kasat mata baru kali ini kurasakan. Setelah melihat seperti itu, aku selalu menyendiri, merasa sesak, takut dan merasa aku ini aneh. Aneh dari orang kebanyakan. Mana ada yang percaya jika aku cerita. Paling mereka bakal bilang kalau aku hanya berimajinasi terlalu jauh. Jadi lebih baik jika semua kupendam sendiri. Berharap semua itu akan menghilang jika kuberanikan diri untuk menghadapi.
Hari itu, sekolah sudah mulai masuk. Lega ujian sudah terlaksana, kami di sekolah menghabiskan waktu untuk membahas acara perpisahan. Sementara yang lain asyik dengan obrolan masing-masing, aku memilih ke perpustakaan. Di sana sepi, tak ada orang. Murid kelas sepuluh dan sebelas juga sedang melaksanakan ujian semester akhir. Kutarik kursi dan mulai membaca buku yang sudah kupilih dari rak di samping kursi.
Awalnya biasa saja. Aku membaca dengan santai, dari halaman pertama sampai halaman pertengahan. Buku sejarah adalah favoritku saat itu. Aku lebih suka pelajaran itu dibanding matematika yang selalu membuat pusing kepala. Lama-kelamaan, tengkuk terasa berat. Seperti ditindih batu. Telinga terasa panas, tapi telapak kaki dan tangan terasa dingin. Kepala pusing seperti ketusuk benda tajam, rasanya aneh. Sudah bersandar ke punggung kursi, nyatanya justru makin menjadi. Ingatanku kembali pada kejadian-kejadian aneh sebelumnya. Semakin teringat, kepala semakin pusing seperti diremas tak karuan.
"Kenapa denganku ini, Ya Allah?" keluhku sambil memegangi kepala dan tersungkur di atas meja.
Suasana yang sepi dan tak ada orang lewat membuatku bingung mau minta tolong pada siapa. Perut juga tiba-tiba mual, rasanya seperti mau muntah tapi gak bisa. Aku coba berdiri dan berjalan keluar, tapi seperti ada bayangan yang bergerak secepat kilat menghantam tubuhku sampai terpental ke tembok. Semua gelap dan aku tak sadar lagi.
Terdengar banyak suara ribut dan menyebut namaku berulang kali. Kudengar juga samar-samar bacaan doa, takbir dan istighfar yang ramai dilafalkan. Namun, mataku terasa berat untuk kubuka. Hingga terasa dingin dan basah pada wajahku yang tiba-tiba membuat mataku mulai mengerjap.
"Alhamdulillah!"
"Akhirnya, Nit. Kamu sadar juga."
"Allahu Akbar!"
Sementara mataku masih mengerjap pelan, mengitari pemandangan sekitar, mereka justru mengucap syukur tak henti. Membuatku semakin bingung. Sebenarnya apa yang terjadi padaku?
"Nita, kamu sudah baikan?" tanya Pak Amri sambil komat-kamit pelan dengan tasbihnya yang terus diputar.
"S-saya baik-baik saja, Pak. Sedikit pusing, sih." Aku masih heran dengan pandangan khawatir mereka. Bahkan semua guru berada di sekelilingku dengan tatapan seolah ada hal besar yang telah terjadi.
"Baik-baik gimana, Nit? Kamu tuh habis kesurupan, Nit!" seru Najwa menyela pembicaraanku dan Pak Amri.
Mereka semua mengiyakan dengan anggukan. Pak Amri juga menghela napas setelah Najwa bilang tentangku yang habis kesurupan. Aku sendiri tidak sadar dan masih bingung. Entah harus kujawab apa. Badan masih terasa lemas dan bibirku perih.
"Auh," pekikku saat kucoba meraba bibir. Nyatanya seperti ada luka goresan dan terasa perih sekali saat disentuh.
"Pelan-pelan! Biar diobati, Bu Nunik." Pak Amri memersilakan Bu Nunik untuk duduk di sampingku dengan kotak P3K di tangannya.
"Tapi saya kenapa, ya, Pak?" tanyaku masih sedikit mengaduh.
"Kamu tadi tiba-tiba teriak. Suaramu jadi aneh, seperti suara pria. Kamu mencak-mencak, berantakin semua buku di sini. Suaramu sampai terdengar ke kantor guru. Setelah saya coba menenangkanmu, kamu justru minta nanas. Ardi langsung cari nanas dan kamu makan sekulit-kulitnya. Memang gak sampai habis. Karena saya coba menolongmu dengan doa sebisanya. Sampai akhirnya kamu bisa sadar seperti ini, Nita."
KAMU SEDANG MEMBACA
PATI GENI
HorrorSebuah kisah yang dihiasi pemandangan menakutkan telah terjadi hanya karena sebuah ritual yang tak disadari. Sebuah tirakat yang harusnya bertujuan untuk kelulusan justru menjadi awal mula kisah hidup seorang Arnita Dinata seperti di neraka. Bak kut...