Tak terasa, kejadian-kejadian buruk yang selama ini kualami sudah bertahun-tahun membuatku terbiasa. Pak Hamid bilang, semua usaha sia-sia. Jika ingin menutup penglihatan terkutuk ini, harusnya kembali kepada yang mengajarkan. Apesnya, ini bukanlah ajaran. Hanya tirakat sederhana demi meraih ridho Tuhan dalam sebuah ikhtiar. Ikhtiar dari siswa kelas dua belas SMA yang mengharap lulus seratus persen delapan tahun silam.
"Ya sudah. Terima saja kelebihanmu itu. Banyak-banyak berdoa dan jangan bolong lima waktu. Jika bisa, perbanyak sholat sunnah dan sedekah. Itu akan membantu jiwamu lebih tenang meski pemandangan ghaib masih mengusik," tutur Pak Hamid memberi wejangan sebelum dia pergi.
"Terima kasih, Pak." Kukatupkan kedua tangan dan menganggukkan kepala.
Sekarang aku harus menjalankan pesan Pak Hamid. Meski dia hanya orang biasa, aku percaya bahwa Tuhan bisa menyampaikan bantuan perantara siapa saja yang dikehendaki-Nya.
Tiga tahun berlalu. Meski dengan keadaan yang masih sama, setidaknya aku sudah tidak tinggal di rumah keluarga Rey. Kami sudah misah di kontrakan milik orang tua Rey. Saat itu juga aku dinyatakan hamil kedua. Bahagia, tapi ada sedikit keraguan melintas. Takut jika kejadian yang dulu terulang. Kabarnya, Pak Hamid sudah tutup usia setahun lalu.
"Aku takut, Rey." Aku berkeluh kesah di pangkuan suami yang paling sabar dengan takdirku ini.
"Takut apa?" Matanya mengerling, menatap mataku dengan senyum khasnya. "Takutlah pada Allah, Sayang. Tak perlu risaukan urusan dunia," sambungnya.
"Aku hanya takut yang dulu terulang lagi," jawabku.
Rey memelukku. Dia orang yang paling tahu semua riwayat kelainan ini. Meski dulu sempat tidak percaya, tapi sekarang dia justru menjadi orang yang paling mempercayaiku.
Kamila sudah tiga tahun. Dia lebih akrab dengan mertuaku ketimbang orang tuaku. Sering dia tidur di rumah mertua setiap malam minggu. Sehingga menyisakan waktu berdua untuk kami ayah bundanya.
Meki mencoba untuk tidak percaya. Semua kejadian ini nyata. Melihat 'mereka', berinteraksi, atau bahkan membaur dalam tubuh dan membuat ragaku meronta. Kehadiran mereka tidak bisa diragukan. Mereka ada. Bahkan kita sebagai seorang muslim wajib percaya, bahwa yang ghaib itu nyata adanya. Malaikat pun ghaib, tapi mereka nyata.
Setiap hal yang terjadi sudah tentu ada sebabnya. Kisah ini mengajarkanku, bahwa mempelajari sesuatu tanpa sumber yang valid itu bisa membahayakan diri.
Tirakat, adalah menahan hawa nafsu seperti perpuasa atau berpantang. Tujuan dalam pandangan supranatural adalah untuk mengasah. Jika diibaratkan doa, mantra atau amalan adalah sebuah pisau. Jika pisau ini diasah setiap hari, maka lama kelamaan akan menjadi tajam saat digunakan.
Untuk seorang murid, tentu butuh guru untuk melakukannya. Sedangkan aku dan teman-teman, hanya menuruti perintah dari Pak Sholeh kala itu. Tidak ada pengertian, tujuan, efek atau segala hal yang terjadi setelah kami melakukannya. Pak Sholeh hanya bertitah, bahwa tirakat dilakukan untuk merayu Tuhan. Perantara doa-doa dan ikhtiar langit yang dipanjatkan, barangkali akan menjadi jembatan terkabulnya semua harapan. Daripada kita harus menyontek dan tidak jujur.
Mungkin guruku itu tidak ada maksud lain selain ikhtiar, tapi tubuhku yang memang rentan. Atau para penghuni dunia ghaib yang memang suka dengan auraku. Kata Pak Hamid dulu, auraku itu menggoda. Harum tubuhku berbeda bagi mereka yang tak terlihat.
Jangan tanya bagaimana penyelesaian masalah yang berakar dari tirakat ini. Sampai sekarang hidupku sudah membaik. Selepas melahirkan anak kedua, aku lebih terbuka. Memang sudah tak pernah lagi kerasukan, tapi sekedar melihat keberadaan mereka masih sering kurasakan. Seperti beberapa bulan lalu. Saat Kakek keponakan suamiku meninggal. Belum genap empat puluh hari, aku melihatnya termangu di ruang tamu.
Saat itu lebaran Idul Fitri. Hari yang wajar untuk saling berkunjung. Aku, Rey, Liana dan kedua putriku pun berkunjung ke rumah almarhum. Masih ada istrinya yang juga sudah mulai pikun.
Hanya sebentar kami di sana. Toh bingung mau bicara apa jika berlama-lama. Kami keluar dari bagian belakang rumah yang lumayan besar itu. Karena beliau memang tinggal di bagian belakang. Sedangkan bagian depan dihuni oleh anak bungsu dan keluarganya. Kebetulan mereka tidak ada saat kami berkunjung.
Saat sampai di halaman depan, tak sengaja kutengok ruang tamu yang dulunya sering kami datangi saat sang kakek masih hidup. Betapa terkejutnya aku melihat pemandangan itu. Almarhum duduk termangu di kursi ruang tamu. Pandangannya kosong. Menatap teras seperti sedang menunggu seseorang.
Aku diam. Tak berani cerita sebelum kami sampai di rumah. Begitulah kebiasaanku. Karena jika langsung seketika cerita, mereka terasa tak dihargai. Biasanya mereka akan menghilang dan tak mau nampak lagi. Berbeda dengan makhluk dengan wujud yang rusak atau tidak baik auranya. Mereka seperti arwah atau Qarin manusia yang sudah meninggal.
Kelahiran setiap manusia ke dunia ini selalu disertai kehadiran jin pendamping yang disebut Qarin. Qarin sendiri termasuk jin dari golongan jin lemah yang tidak memiliki kecenderungan kepada nafsu syahwat sehingga Qarin tidak mempunyai keturunan. Qarin ini bisa diajak baik juga buruk, dapat dipengaruhi maupun mempengaruhi manusia. Semakin baik seseorang, Qarin pun cenderung untuk menjadi lebih baik, demikian pula sebaliknya.
Qarin selalu mengikuti manusia. Bisa dibilang, sebagai saudara kembar kecuali saat manusia sedang berhubungan suami istri. Umur Qarin lebih lama dari umur manusia itu sendiri. Maka saat manusia telah meninggal, Qarinnya masih ada di dunia.
Sesampainya di rumah, baru aku berani cerita tentang yang kulihat tadi. Rey sudah tak heran. Dia menepuk pundak dan menyuruhku sabar. Semua ini terjadi sudah pasti ada hikmahnya. Begitu katanya.
Meskipun tak mudah menjalani hidup dengan mata terkutuk. Kurasa kisah hidupku lebih beruntung dari mereka yang menyandang status indigo. Dari cerita mereka yang indigo, kudengar lebih menyeramkan. Meskipun pada akhirnya mereka juga harus menerima dan berdamai dengan kenyataan.
Sekarang kami hidup damai seperti manusia lainnya. Meski seluruh warga komplek sudah mengetahui tentang kemampuanku, aku tak pernah peduli. Bagiku, itu bukanlah kemampuan. Hanya anugerah yang tak sengaja kudapatkan. Tak sedikit saran dari tetangga untuk menekuni hal ini supaya bisa jadi paranormal. Di tempat tinggalku, paranormal bisa hidup mewah meski tak susah bekerja. Orang-orang datang meminta tolong dan memberi imbalan besar. Memang menggiurkan, tapi yang kutahu itu musyrik. Hidup bahagia tanpa gangguan Genderuwo saja sudah bahagia bagiku.
Kejadian ini hanya menimpaku. Nyatanya, saat kami sempatkan pulang ke kampung dan bertemu teman lama, mereka baik-baik saja. Winarti, Najwa, Pandu, Ardi dan lainnya tak pernah sekalipun merasakan hal yang sama denganku. Merasa iri? Sempat, tapi kutepis. Kuingat lagi bahwa ini terjadi sudah pasti atas kehendak Tuhan.
Aku tidak pernah menyalahkan tirakat, puasa pati geni, atau hal sejenisnya. Hanya berbagi pengalaman yang seharusnya bisa dijadikan pelajaran. Bahwa segala bentuk tirakat itu harus dikerjakan dengan bimbingan seorang guru. Harus jelas tujuan dan maksudnya. Tentu jangan lupa, untuk menyertakan Tuhan dalam setiap hal yang kita lakukan.
Tamat.

KAMU SEDANG MEMBACA
PATI GENI
TerrorSebuah kisah yang dihiasi pemandangan menakutkan telah terjadi hanya karena sebuah ritual yang tak disadari. Sebuah tirakat yang harusnya bertujuan untuk kelulusan justru menjadi awal mula kisah hidup seorang Arnita Dinata seperti di neraka. Bak kut...