Sejak kemunculan si merah saat persalinanku, aku merasa tak aman. Perasaanku gelisah. Ternyata pengaruh kepada bayiku. Putri mungil yang kuberi nama Kamila selalu menangis selepas maghrib. Tidak mau menyusu, tidak tenang saat digendong dan tetap menangis menatap kosong langit-langit rumah. Ibu Rey kewalahan menenangkan cucu pertamanya itu. Lagi-lagi dia menyalahkanku.
"Susui anakmu! Jangan salahkan suamimu, dia sudah capek seharian bekerja. Ini tanggung jawabmu sebagai ibu, Nit," omelnya saat aku dan Rey beradu mulut tentang Kamila.
Bagaimana tidak beradu mulut, dia sebagai suami tidak berusaha mencari tahu apa yang terjadi. Karena perasaanku benar-benar tidak enak. Seperti ada hal yang mengganjal. Meski aku tidak yakin ini ulah si merah. Pada dasarnya, dia tidak pernah menggangguku. Begitu juga sebaliknya. Aku tak pernah mengganggu atau mencoba mengusiknya.
"Iya, Bu. Maaf," jawabku. Kuraih Kamila dari tangan Ibu Rey dan mencoba menyusuinya lagi.
Jarum jam terus berjalan. Waktu sudah menunjukkan pukul dua pagi. Tangisan Kamila mulai mereda. Entah dia lelah, atau memang sudah pergi yang mencoba mengganggunya. Kuletakkan dia di kasur. Tak lupa membentangkan selimut tebal di atas tubuhnya yang dibedong supaya lebih hangat.
Rey sudah tidur. Ibunya juga sudah kembali ke kamar. Kulirik jam dinding, harusnya aku juga ikut tidur. Kalau tidak tidur besoknya pasti aku loyo dan tak bertenaga, tapi mata ini enggan terpejam sampai pukul tiga pagi. Selama satu jam aku hanya melamun sendiri. Sampai rasa kantuk mulai datang dan membuat mataku terpejam.
Entah sudah berapa lama aku tertidur. Tubuh ini tiba-tiba kaku. Sangat berat terasa. Mataku juga berat untuk terbuka. Sepertinya aku pernah merasakan peristiwa ini. Mungkin dejavu. Aku pernah mengalami badan kaku tak bisa digerakkan, tapi kapan? Aku lupa.
Beberapa detik menggeliatkan badan tetap tak bisa. Tulang-tulangku seperti disegel tak bisa bergerak. Tiba-tiba ingatanku kembali ke masa itu. Saat ada yang menjelma sebagai nenek di ambang pintu kamar. Ya, rasanya sama seperti ini. Ini bukan dejavu, tapi nyata pernah terjadi padaku. Segera kulafalkan doa sebisanya. Hingga perlahan tubuhku yang kaku berangsur mengendur. Mataku yang sedari tadi rapat tertutup, perlahan bisa terbuka.
"Alhamdulillah," ucapku.
Jam di dinding masih menunjukkan pukul empat pagi. Tandanya aku baru tidur sejam. Penat sekali rasanya. Tengkukku berat, kepalaku pusing dan rasa mual pun menyergap. Sepertinya aku masuk angin.
Suara azan subuh sudah berkumandang. Semua penghuni rumah mulai bangun satu per satu. Kamila masih tidur nyenyak. Mungkin dia lelah menangis hampir semalaman suntuk.
"Kamu tidak tidur, Sayang?" tanya Rey. Dia mengucek matanya dan duduk di pinggir ranjang.
"Tidur, kok," jawabku. "Subuhan dulu, sana!" Kudorong pelan tubuhnya.
Rey bangkit menuju ke belakang. Disusul ibu dan bapaknya yang keluar bersama dari kamar. Ibu Rey mengetuk pintu kamar Rangga dan menyuruhnya bangun untuk segera sholat subuh. Kebiasaan keluarga ini membuatku lebih dalam lagi memahami agamaku sendiri. Dibanding keluargaku yang tidak terlalu paham. Atau bisa dibilang islam KTP saja.
Subuh sudah lewat. Langit masih gelap. Angin pagi yang dingin membuat mataku mengantuk lagi. Ingin sekali rasanya merebahkan badan dan memejamkan mata barang sejenak, tapi pasti akan diomeli Ibu Rey. Dia bilang, tidak baik tidur pagi-pagi. Sebagai menantu aku hanya bisa menurut tanpa bertanya, kenapa.
Tepat pukul lima lewat tiga puluh menit, Kamila terbangun. Dia menangis dengan kedua kaki terangkat. Ternyata dia buang air besar.
"Hem ... bangunlah, anak cantik. Hari sudah pagi," kataku sambil membuka popoknya dan membersihkan tubuhnya dengan air hangat.
Meskipun Ibu Rey selalu terlihat judes, tapi untuk cucunya dia sangat perhatian. Dia selalu menyiapkan apa yang dibutuhkan sebelum kuminta. Seperti air hangat ini. Melihat Kamila buang air, dia langsung mengambilkannya dari termos.
"Ajak dia berjemur di teras!" seru Ibu Rey.
"Masih jam segini, Bu. Belum ada sinar matahari," jawabku.
"Biarkan anakmu menghirup udara pagi. Siapa tahu dia menangis semalam karena sesak atau kurang oksigen," tukasnya dan berlalu.
Benar juga apa yang dibilang mertuaku. Meski terdengar ambigu, tapi menghirup udara pagi sebelum tercemar polusi itu bagus, bukan. Kupakaikan kaus kaki bermotif lucu dengan bahan wol. Tak lupa juga kupluk bayi berwarna pink kupakaikan di kepala Kamila.
Baru sampai ambang pintu depan. Lagi-lagi pemandangan buruk tampak membuat risau. Langit belum begitu terang, tapi aku jelas melihat sosok si merah berdiri di bawah pohon depan rumah.
"Ah, mau apa lagi dia sebenarnya?" gumamku dalam hati.
Kamila masih tenang. Tidak ada tanda-tanda menangis. Bayi mungil yang belum genap empat puluh hari itu sibuk mengecap-ngecap ibu jarinya. Sedangkan aku masih bergeming di ambang pintu menatap tajam si merah.
"Kok malah berdiri di sini? Ayo kita duduk di bawah pohon! Sebelum Ibu melihatmu, loh." Rey merangkul pinggangku dan mengajak duduk di bawah pohon. Tepat di mana si merah berdiri.
Di bawah pohon belimbing wuluh. Ada bangku lebar yang terbuat dari papan. Biasa untuk duduk-duduk santai saat pagi atau sore hari. Si merah berdiri di sisi kiri bangku dan menatapku dengan tatapan yang tak bisa kumengerti. Jika memang dia ingin menyakiti, kenapa harus berpikir lama? Itu yang kupikirkan saat kutatap balik matanya yang hanya berwarna putih.
Mahareksa cahaya dunia sudah menampakkan diri. Sinarnya membuat hangat sekujur badan. Kamila menggerakkan kaki dan tangannya seolah menikmati hangat yang menyoroti tubuhnya. Sedangkan si merah sudah mulai samar. Mungkin dia masih ada, hanya kalah oleh sorotan matahari yang 'katanya' ditakuti para makhluk ghaib.
Keseharianku sama saja setiap hari. Menyusui, memandikan anak dan membantu mertua sebisanya. Begitu terus setiap hari. Sama halnya dengan Kamila. Kebiasaannya menangis selepas maghrib sampai tengah malam sudah seminggu terjadi. Seisi rumah dibuat pusing oleh sebab yang tak kunjung bisa dimengerti.
Pada malam ke delapan Kamila menangis, Rey memutuskan untuk minta tolong bapak. Dia ke rumahku dan kembali pulang bersama bapak dan Pak Hamid.
Pak Hamid mulai menjalankan tugasnya. Dia duduk bersila. Tangannya memutar tasbih dan mulutnya komat-kamit entah melafalkan bacaan apa.
"Bisa antarkan saya ke halaman belakang?" tanyanya tiba-tiba.
"Mari, Pak. Silakan," jawab Bapak Rey.
Mereka semua ikut ke halaman belakang kecuali aku, Kamila dan Liana. Entah apa yang terjadi, aku hanya bisa diam dan terus memeluk Kamila yang masih menangis.
"Ada makhluk besar yang sedang mencoba menidurimu, Nita. Dia mencium bau harum tubuhmu. Wanita yang habis melahirkan memang baunya wangi bagi makhluk ghaib sepertinya." Pak Hamid menjelaskan sambil sesekali mengisap rokoknya.
"Niatnya menggaulimu belum terwujud. Karena putrimu ini melihatnya. Jadi, dia menangis karena melihat sosoknya yang menyeramkan dan berniat mengganggu ibunya. Seolah anakmu mengerti dan ingin menyelamatkanmu. Ada sosok lain juga yang membantu anakmu. Dia selalu datang, mencoba melindungi kalian, tapi kalah dengan sosok Genderuwo yang mengganggumu itu," jelas Pak Hamid panjang lebar.
Baru kusadari. Kehadiran si merah kah yang mencoba untuk melindungi kami? Kenapa semua jadi rumit. Kukira semua sudah selesai dan takkan terjadi lagi. Nyatanya masih harus kurasakan memiliki mata terkutuk ini.
"Makhluk itu ada di bawah pohon sawo di halaman belakang. Kalau diijinkan, besok saya ingin menebang dan membujuk makhluk itu untuk pergi," ujar Pak Hamid.
"Boleh, Pak. Silakan saja," jawab Bapak Rey antusias.
Malam itu pun hening. Kamila tidak lagi menangis, tapi aku harus terjaga sampai pagi dan mengenakan baju milik Rey. Itu pesan Pak Hamid sebelum pamit pulang tadi.

KAMU SEDANG MEMBACA
PATI GENI
TerrorSebuah kisah yang dihiasi pemandangan menakutkan telah terjadi hanya karena sebuah ritual yang tak disadari. Sebuah tirakat yang harusnya bertujuan untuk kelulusan justru menjadi awal mula kisah hidup seorang Arnita Dinata seperti di neraka. Bak kut...