PERANTARA PAK HAMID

1.3K 122 3
                                    

Setiap manusia pasti memiliki impian dan cita-citanya masing-masing. Seperti diriku, yang mendambakan kehidupan bahagia. Memiliki pacar yang serius dan mengajakku menikah. Sebenarnya, Huda sudah masuk kriteria pria idaman orang tuaku, tapi hatiku tidak bisa merasakan senyaman saat bersama Rey.

Menginap semalam di rumah sakit, esoknya aku diperbolehkan pulang. Diagnosa sementara sih, cuma kelelahan dan hipotensi, atau biasa dikenal dengan tekanan darah rendah. Om Aryo dan bapak mengurus semuanya sampai ke rumah.

"Udahlah, Nit. Kamu gak usah kerja," seloroh ibu.

Aku baru saja masuk rumah, tapi ibu sudah memberiku somasi. Padahal niatku kerja juga demi mereka. Setidaknya untuk mengurangi beban karena bisa membeli segala kebutuhan dengan uangku sendiri.

"Kalo Nita gak kerja, gimana buat beli pulsa, Bu?" kataku sambil menggendong Alia, adik mbontotku yang masih berusia empat minggu.

"Ya kan nanti bapak bisa kasih, walaupun gak banyak. Gak usah pake Hp dulu kalo gak bisa beli pulsa."

Benar juga sih, kata ibu. Hp gak terlalu penting saat ini. Hal yang paling penting adalah bagaimana cara supaya mata terkutuk ini bisa hilang. Aku lelah, sakit berulang kali, kerasukan dan melihat penampakan yang mengerikan.

Siang yang tadinya terik, berubah gelap. Awan hitam berarak perlahan menutupi sinar mentari. Cahaya kilat yang seperti flash kamera itu sudah muncul berulang kali. Zig-zag di langit tampak ngeri, ditambah suara dentuman yang menggelegar. Seolah batu-batu besar menggelinding dari ujung gunung.

"Angkat jemuran, Nit! Ibu lagi masak ini," seru ibu.

Aku yang sedang menimang Alia, jadi bingung. Kalo aku pergi angkat jemuran, Alia sama siapa? Rumah sepi. Bapak mengantar Om Aryo pulang. Udin juga sudah ikut nenek dan kakek pulang ke kampung.

Dengan sangat terpaksa, akhirnya kugendong Alia sambil angkat jemuran. Tiba-tiba kilat menyambar dan meninggalkan dentuman yang mengejutkan. Terang saja Alia langsung nangis histeris. Mungkin kaget. Seketika jemuran jatuh berhamburan. Gerimis pun mulai membasahi bumi.

"Gimana to, Nit! Basah semua jemurane itu," omel ibu, melihat pakaian yang sudah bersih dan wangi itu berhamburan di tanah.

"Maaf, Bu. Abisnya gak ada yang jagain Alia, terpaksa aku ajak angkatin jemuran. Eh, malah ada gledek. Kan kaget," jawabku membantah.

Ibu yang kesal, pergi begitu saja setelah menyerobot Alia dari gendonganku. Lalu kupunguti semua pakaian yang bertebaran di tanah dan mengibaskannya satu per satu.

"Belum basah," gumamku.

Sibuk mengibaskan pakaian, tiba-tiba nampak sepasang kaki. Pandanganku yang sedari tadi fokus ke bawah memungut pakian, langsung terkejut.

"Kaki siapa?" ujarku, heran.

Kakinya tampak telanjang. Tidak memakai sandal atau alas kaki lainnya. Kulitnya putih, mulus, semu kebiruan. Mungkin seukuran kakiku. Tidak terlalu kecil, tapi tidak besar juga. Sibuk mengamati kaki, sampai lupa kalau gerimis semakin deras. Namun, anehnya di tempat aku berdiri tidak kehujanan. Padahal jelas sekali, aku masih berdiri di halaman samping. Tidak ada atap ataupun pohon di sana.

Pandanganku perlahan mengarah ke atas. Sedikit demi sedikit berpindah. Setelah betis, pahanya tertutup kain. Seperti kain jarik yang dililit. Semain ke atas, bulu kudukku semakin meremang. Langsung saja kudongakkan kepala seketika itu juga.

"Astaga!"

Penampakan sosok yang memakai kebaya dan kain jarik sepanjang lutut di depanku ini tidak memiliki wajah. Tidak ada mata, hidung ataupun mulut di wajahnya. Benar-benar polos. Antara bergidik, ingin lari, tapi tak bisa bergerak.

PATI GENITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang