Dari kecil hingga sekarang, aku memang tak pernah lepas dari obat. Karena penyakit turunan yang kuderita. Asma sudah akrab dengan tubuhku, begitu juga obatnya. Namun, masuk rumah sakit dengan diagnosa serangan jantung untuk usia semuda diriku saat itu, kok rasanya aneh.
Setelah Ardi dan Pandu mengambilkan baju ganti kemudian Laras dan Astri membantuku sibin. Saudara-saudara nenek datang menjenguk. Sedangkan nenek dan kakek mungkin belum pulang dari sawah. Karena Ardi bilang, tidak ada orang di rumah. Hanya ada tetangga depan yang membantu mereka masuk ke rumah. Kunci rumah memang biasa dititipkan padanya.
"Kata dokter sakit apa, Nit?" tanya Pakde Naryo. Di tangannya masih ada parcel buah yang kemudian dia letakkan di atas nakas samping bed-ku.
"Jantung, Pakde. Kata dokter sih gitu," jawabku seadanya.
"Wong masih muda mosok ya kena sakit jantung. Jangan-jangan salah periksa dokternya, tuh. Kamu kan punya sakit asma to, Nit?" sela Bude Warni.
Malas sebenarnya menanggapi omongan mereka. Karena biasanya mereka sering menghina keluargaku secara halus. Gak tau kenapa, waktu itu respon mereka cepat sekali untuk menjengukku.
"Yawes, lekas sehat, ya. Pakde cuma bawa ini, buat segeran kamu." Pakde menunjuk ke arah parcel buah yang tadi diletakkannya di atas nakas.
"Iya, Nit. Lekas sembuh, kasihan simbahmu kalo suruh tidur di sini." Lagi-lagi Bude Warni nyeletuk agak menyindir. Memang, siapa juga yang mau tidur di rumah sakit. Aku juga ogah.
Hanya senyuman untuk membalas perkataan mereka. Setelah puas mencecarku dengan beberapa pertanyaan mereka pun pulang. Tak lama setelah itu pun nenek dan kakek datang. Pandu, Ardi, Laras dan Astri masih setia duduk di lantai dengan alas tikar yang dibawa dari rumahku.
"Kamu kenapa to, Nok? Tadi kalo belum sehat mbok ya jangan sekolah dulu," ucap nenek yang baru datang langsung memelukku.
"Telat makan pasti kamu, to? ucap kakek menerka.
"Ndak yo, Kung. Aku tadi yo sarapan, kok. Tanya aja nenek," jawabku membantah. Karena memang pagi sebelum berangkat sekolah, aku sudah sarapan dengan nasih lauk tempe bacem bikinan nenek.
Ardi dan lainnya pamit pulang karena hari sudah mulai gelap. Tinggal aku dan nenek saja sekarang. Kakek juga pulang. Ada lima bed di kamar rawat-ku ini. Bed sebelahku kosong, tapi sebelahnya lagi ada pasien. Sebrang depan juga ada dua bed dengan masing-masing satu pasien. Semua yang ada di ruangan ini adalah pasien penyakit dalam. Antara bed satu dan lainnya terdapat tirai hijau yang membatasi.
Kejadian di cermin wastafel sebelumnya teringat kembali. Efek suasana yang semakin malam semakin hening. Hanya ada suara jangkrik yang mendominasi karena ada sawah yang luas di belakang bangunan rumah sakit ini.
Bolak-balik kutatap wastafel yang kerannya sedikit dol. Sehingga ada air yang menetes terus dan menghasilkan bunyi menyeramkan saat malam begini. Kulihat sekitar sepertinya semua sudah tidur. Nenek juga sudah memejamkan mata beralaskan tikar dan selimut di lantai.
Ada suara sesuatu yang didorong. Khas seperti suara troli obat yang didorong perawat biasanya. Aku langsung duduk di bed dan melongok ke arah jendela, tapi sepi. Tidak ada siapapun yang lewat di sana. Ruang perawat jaga juga sepertinya jauh. Tidak ada suara orang sama sekali. Benar-benar seperti adegan di film horor.
"Duarr!"
Aku melonjak kaget. Pintu kamar mandi menutup sendiri lalu berderit terbuka kembali. Pantas saja aku dikira sakit jantung, mungkin saat diperiksa keadaan jantungku masih deg-degan seperti ini. Kaget yang tak bisa dipungkiri karena ulah makhluk halus. Siapa lagi? Tidak ada orang yang berjalan ke arah kamar mandi, tidak ada angin lewat, bahkan gerah sekali. Ruangan kelas tiga ini juga hanya ada kipas angin di ujung. Anginnya tak mungkin sampai ke arah kamar mandi.
KAMU SEDANG MEMBACA
PATI GENI
KorkuSebuah kisah yang dihiasi pemandangan menakutkan telah terjadi hanya karena sebuah ritual yang tak disadari. Sebuah tirakat yang harusnya bertujuan untuk kelulusan justru menjadi awal mula kisah hidup seorang Arnita Dinata seperti di neraka. Bak kut...