Kejanggalan malam itu bukan hanya sekali terjadi. Semakin menjadi saat pagi buta, di ruang tengah sudah ramai dengan tangisan.
"Udah, Bu ... udah. Nanti kita cari tau," ucap bapak.
Aku yang baru bangun karena kesiangan, semakin bingung. Ibu duduk di kursi, air matanya tumpah ruah sampai napasnya tersengal. Om Aryo dan Bulik Yanti diam tanpa kata. Nenek dan kakek juga terlihat sedih, tapi harus tetap ceria di depan adik-adikku.
"Ini ada apa to, Pak?" tanyaku asal.
"Sini!" Bapak melambaikan tangan. Aku segera mendekat dan duduk di sebelah ibu.
"Uang sumbangan dari para tamu yang semalam dihitung, hilang, Nit." Mataku terbelalak setelah bapak berbisik di telinga.
Bagaimana mungkin, uang segitu banyaknya, hilang. Bukan apa-apa, tapi seluruh dekor pesta kemarin belum dibayar lunas. Rencananya, akan dibayar setelah resepsi selesai, dengan uang sumbangan itu.
Aku bergeming. Sudah tak bisa berkata-kata lagi. Pasrah, itu jalan satu-satunya. Namun, tidak bisa dinalar logika. Uang sebanyak itu hilang begitu saja. Tanpa jejak atau ciri-ciri ada pencuri.
"Coba, Yo. Kamu tanya ke Pak Hamid! Barangkali dia bisa bantu kita," ucap bapak pada Om Aryo.
"Iya, Mas." Om Aryo bangkit dari duduknya. "Ayo, Yan!" serunya mengajak sang istri, Bulik Yanti.
Rey ternyata mendengar semua percakapan kami dari kamar. Baru saja menikah, sudah ada ujian lagi. Sejujurnya aku tidak percaya jika ada hantu yang bisa mengambil uang. Karena saat kupikir berkali-kali, itu tidak masuk akal, tapi kali ini aku harus pikir-pikir lagi. Antara harus percaya, atau berprasangka.
"Ah, tapi siapa? Cuma ada Bapak, Ibu, Om Aryo dan Bulik Yanti di rumah ini. Nenek dan Kakek juga tidak ikut menghitung uang semalam." Kutekan ujung kepala dengan jari telunjuk. Berasa sakit memikirkan hal yang diluar akal seperti ini.
"Kamu percaya, Nit?" tanya Rey.
"Percaya apa?" jawabku.
"Ya, itu. Ada setan yang bisa ngambil duit." Rey menyunggingkan separuh bibirnya.
"Ya ... gak tau juga, Rey. Di lubuk hati paling dalam, aku gak percaya, tapi aku juga gak bisa su'uzon. Apalagi sama keluarga sendiri," jawabku pasrah.
Kami berusaha melupakan hal ini sementara. Jadwal kegiatan hari ini masih panjang. Ada acara boyongan. Tradisi di sini, jika pengantin wanita akan diboyong ke rumah keluarga pengantin pria. Hari yang tegang dan membuat jantungku berdebar.
Acaranya sederhana saja. Perwakilan dari keluarga Rey datang menjemput. Lalu aku dan Rey, diantar keluargaku menuju rumah Rey. Ada bantal, sapu kasur, tikar, kain jarik dan beberapa baju ganti yang dibawa sebagai syarat. Semua sudah siap, tinggal nunggu Om Aryo dan Bulik Yanti yang belum kembali. Sambil menunggu, kami pun berbincang.
"Gimana, Pak Sudi, Bu Giarti? Untung apa buntung?" tanya Bulik Trisna, istri dari Omnya Rey.
Ibu dan bapak saling pandang. Mereka tau, pertanyaan itu hanya candaan semata, tapi raut wajah sedih ibu dan bapak tidak bisa disembunyikan. Semoga saja mereka tidak menyadarinya dan bertanya yang aneh-aneh.
"Alhamdulillah, Mbak." Ibu terlihat tegar menjawabnya.
Suasana hening lagi. Rey juga sudah kuajak kerjasama. Supaya tidak bicara macam-macam di depan mereka.
Suara motor berhenti di halaman. Om Aryo dan Bulik Yanti kembali dengan membawa bungkusan kantong plastik warna hitam.
"Assalamualaikum!" seru Om Aryo diiringi jawaban semua orang yang ada di ruang tamu.

KAMU SEDANG MEMBACA
PATI GENI
HorreurSebuah kisah yang dihiasi pemandangan menakutkan telah terjadi hanya karena sebuah ritual yang tak disadari. Sebuah tirakat yang harusnya bertujuan untuk kelulusan justru menjadi awal mula kisah hidup seorang Arnita Dinata seperti di neraka. Bak kut...