Melihat makhluk astral yang sejatinya tak semua orang bisa melihatnya ternyata mengerikan. Lebih mengerikan daripada diputus mantan pacar. Ada rasa takut, gelisah, was-was, tapi masih yakin bahwa aku adalah manusia. Diciptakan lebih sempurna dari 'mereka'.
Setelah kejadian di sungai itu, aku lebih sering menyendiri. Laras dan Astri, kedua teman baikku itupun heran dan menjauh sendiri saat aku hanya diam ketika mereka ajak bicara. Aku masih syok, sangat trauma. Bagaimana tidak, sepulang dari sungai aku melihat Winarti masih asyik membaca wirid bersama teman yang lain. Lantas aku ke sungai sama siapa?
Hari itu mendung. Senin pagi jadwal Ujian Nasional pertama Bahasa Indonesia. Satu kelas hanya diisi dua puluh murid. Semua dibagi menjadi dua kelas. Maklum, murid di SMA kami yang terpencil memang tak begitu banyak saat itu. Penjaga ujian yang terlihat garang dengan kumis tebal seperti Pak Raden sudah duduk manis di kursi pengawas.
"Ya Tuhan, semoga tidak ada kejadian aneh hari ini," ucapku berdoa sebelum mulai membuka soal yang baru saja dibagikan.
Wajah setan perempuan yang menjelma sebagai Winarti saat itu masih terngiang di ingatanku. Berkali-kali kucoba enyahkan, tapi masih saja terus mengganggu. Bahkan efeknya, aku bergidik saat bertemu Winarti. Padahal dia tidak salah apa-apa.
Empat hari berturut-turut menjalani Ujian Nasional yang katanya menegangkan itu, aku bersyukur tidak mengalami hal aneh. Bahkan ketegangan yang muncul bukan karena mengerjakan ujian, justru karena takut melihat setan. Entah apa yang ada di pikiran teman-teman atas perubahanku yang lebih sering berdiam diri.
Kubayangkan lagi kejadian demi kejadian yang janggal, seolah 'dia' ingin menyampaikan pesan. Dari awal sekelebat bayangan lewat menuju Mushola, bayangan kepala di atap kelas dan setan di sungai itu. "Ah, kepalaku pening memikirkannya!" gerutuku kesal. Ya, sangat kesal dengan penglihatan aneh dan pemikiran yang terlampau jauh.
"Anak-anak, alhamdulillah semua kegiatan kita berjalan dengan lancar dan menyenangkan. Momen yang kita ikhtiarkan dengan tirakat sudah kita lalui dengan baik. Semoga hasilnya memuaskan, ya. Sore ini kalian bisa pulang. Sebelum pulang kita kerja bakti, membersihkan kelas, Mushola dan kamar mandi. Semua paham, ya?" Pak Sholeh memberi instruksi dengan gaya khasnya. Suara lantang tapi tetap santun. Kami semua mengiyakan serempak.
"Nit, kamu sehat? Kok diem terus sih? Udah dari kemaren-kemaren diajak ngomong kayak orang bisu," tanya Winarti saat aku sedang sibuk mengelap meja di kelas.
"Gapapa kok, Win. Cuman udah kangen rumah aja" jawabku seadanya yang masih mengelap meja. Padahal meja sudah bersih dan mungkin saja Winarti semakin heran dengan tingkahku. Dia pergi begitu saja tanpa pamit.
Semua kegiatan selesai. Kami pulang dijemput orang tua masing-masing, tapi tidak denganku. Aku tinggal bersama nenek dan kakek. Mereka sudah sepuh dan tak tau kalau hari ini jadwalku pulang. Sebenarnya bisa saja kakek menjemputku, tapi karena ponsel pada jaman itu masih langka, jadi aku tak bisa mengabari kakek.
"Ayok, Nit. Aku antar pulang."
Suara yang sangat khas. Membuat detak jantungku tiba-tiba berdetak lebih kencang dari normalnya. "Pandu," lirihku bergegas membalikkan badan untuk memastikan itu benar dia. Pria yang kusuka sejak kelas sepuluh. Tiga tahun memendam rasa, tiba-tiba dia menawarkan pulang bareng.
Itu benar-benar Pandu. Dengan motor Satria FU warna hitam, seragam putih abu-abu masih melekat di tubuhnya dan senyumannya yang membuatku selalu betah di kelas, nyata berhenti di sampingku berdiri.
"Nit," panggilnya lagi memastikan, apa aku mendengarnya.
"Ya, Pan. Boleh," jawabku mengiyakan tawarannya.
Semua yang melihatku pasti bertanya-tanya. Bagaimana bisa, Pandu yang selalu cuek padaku sekarang mengantarkanku pulang. Padahal Laras adalah orang yang sering dia antar, sekarang kenapa aku? Banyak pertanyaan di otakku sampai aku lupa menikmati momen bersejarah itu.
"Makasih ya, Pan. Gak mampir dulu?" tawarku padanya setelah kami sampai di halaman rumah.
"Sama-sama, Nit. Enggaklah, lain kali saja. Aku pulang, ya." Kuanggukkan kepala dan dia pun pergi.
Bayang menyeramkan seketika sirna oleh kejadian itu. Aku mulai ceria lagi sampai lupa mau curhat sama nenek dan kakek. Semua berjalan normal kembali seperti biasa. Setelah ujian, sekolah libur sampai hari minggu. Jadi aku bisa istirahat dan menghabiskan waktu bersama nenek kakek di rumah. Ikut belanja di pasar, memasak dan ke sungai untuk mencuci. Saat itulah, ingatan buruk itu kembali muncul. Meski tak separanoid waktu itu karena kali ini hari siang benderang saat aku ke sungai.
"Ujiannya lancar, Nok?" tanya nenek dengan panggilan khasnya padaku, sambil mengucek pakaian di atas batu.
"Alhamdulillah, Nek. Lancar semuanya," jawabku sambil menyelupkan pakaian yang sudah selesai dicuci ke dalam air untuk dibilas. Meski sungai ini berbeda, tapi alirannya menyambung sampai ke sungai di kampung sekolahku. Pikiranku melayang entah kemana, membayangkan hal yang tidak-tidak sampai lupa bahwa aku sedang membilas. Hanyut sudah satu baju kesayangan kakekku.
"Lah kamu ki piye to, Nok. Itu baju kesayangane Kakungmu, loh. Malah mbok hanyutke." Dengan wajah ditekuk nenek mengomel. Bibirnya masih komat-kamit dengan suara nyaris tak bisa kudengar.
"Maaf, Nek. Gak sengaja," sahutku mulai fokus membilas.
Semua masih lancar. Tidak ada penampakan atau imajinasi berlebih yang menakutkan. Sampai malamnya, badanku pegal-pegal. Masih pukul delapan malam, tapi mata sudah ingin terpejam. Aku masuk kamar dan mulai menata bantal. Tak lupa kumatikan lampu dan memakai selimut.
"Nita ...."
Lagi-lagi suara itu. Suara yang merintih, menyebut namaku dan samar-samar, tapi lantang terdengar. Kubuka mata perlahan, tapi berat. Badanku kaku, susah digerakkan. Seperti ditindih batu besar, mungkin seperti itu ibaratnya. Pelan-pelan kucoba mengedipkan mata agar segera terbuka. Pemandangan pertama setelah mataku berhasil terbuka adalah sosok nenek yang berdiri di ambang pintu kamarku.
Aku mau bicara, tapi bibirku terkunci. Hanya dalam hati aku bertanya sendiri. "Ngapain nenek di situ, ya? Kok nenek diem aja, sih." Banyak pertanyaan terbesit tanpa bisa kuungkapkan. Bibirku benar-benar tertutup rapat, badan kaku, menggerakkan tangan pun susah.
"Bis-mil-lah ...." Terbata-bata aku berusaha mengucap Bismillah, nyatanya masih berat. Nenek masih berdiri diam di ambang pintu. Seratus persen kuyakin, dia bukan nenek. Seperti Winarti waktu itu. Tepat di atas nenek berdiri ada jam dinding terpasang yang menunjukkan pukul setengah satu dini hari.
"Ya Allah, apa lagi ini?" seruku dalam hati. Mata kupejamkan lebih lama lagi, berharap saat membuka mata sosok itu sudah hilang.
Benar saja. Saat kubuka mata kembali, nenek sudah tidak ada di ambang pintu. Namun, ternyata lebih dekat lagi denganku. Sekarang nenek justru tidur di sampingku, memelukku dari belakang dengan aroma wangi pandan yang menyeruak. Aku benar-benar merasakan tangan nenek begitu dingin saat mendekapku.
Wirid dan zikir terus kulafalkan dalam hati. Aku juga berdoa, memohon jika ini benar-benar nenekku maka kubiarkan dia memelukku selama dia mau, tapi jika dia ternyata hanya jelmaan setan, aku benar-benar memohon agar diselamatkan. Kupejamkan mata lama sekali. Mulutku masih komat-kamit meski tak bisa bersuara. Rasanya berat dan kaku. Hingga keajaiban Tuhan akhirnya datang. Lima belas menit menahan kekakuan itu, benar-benar tak masuk akal logika. Bibirku yang sedari tadi kaku tiba-tiba bisa mengucapkan Bismillah dengan lantang. Seketika itu tangan, kaki dan badan yang sebelumnya kaku bisa lepas. Seperti baru saja diikat dan dikurung di sebuah gudang rasanya.
"Alhamdulillah," ucapku bersyukur setelah bisa bergerak dan duduk di atas kasur.
Pandanganku mengitari semua sudut kamar, tapi nenek? Dia tidak ada di kamarku. Sama sekali tidak ada tanda-tanda ada nenek di sini. "Terus, tadi siapa?" tanyaku sendiri dan kembali merebahkan tubuh ke kasur.
Jelas sudah. Lagi-lagi hal yang sama kualami. Dia bukan nenek, tapi setan yang lagi-lagi menjelma menjadi orang yang kukenal dan kukasihi. Meskipun aku tertekan, tapi masih kucoba simpan cerita ini sendirian. Aku tak mau dibilang halusinasi, padahal semua jelas terlihat di depan mataku.

KAMU SEDANG MEMBACA
PATI GENI
HorreurSebuah kisah yang dihiasi pemandangan menakutkan telah terjadi hanya karena sebuah ritual yang tak disadari. Sebuah tirakat yang harusnya bertujuan untuk kelulusan justru menjadi awal mula kisah hidup seorang Arnita Dinata seperti di neraka. Bak kut...