Kepalaku masih pening setelah menyaksikan penampakan wanita itu. Jelas sekali dia terdengar meminta tolong. Sayangnya, dia keburu pergi. Aku masih melamun duduk di pinggir kasur. Derap langkah kaki terdengar mendekat dari arah luar. Pintu kamar masih kubiarkan terbuka sejak Rey keluar tadi.
"Sayang, kok ditunggu dari tadi gak keluar-keluar? Sarapan dulu, yuk!" ajak Rey merangkulku.
Kubalas ajakannya dengan senyuman dan nurut saja mau dibawa ke mana. Dia menggandengku sampai ke ruang tengah. Ada meja di pojok dekat pintu dapur. Kebetulan memang tak jauh dari kamar kami. Sup bakso, ayam goreng dan sambal kecap sudah tersaji di meja. Ibu Rey yang memasaknya. Sedikit risih, sih. Harusnya kan menantu yang menyiapkan sarapan, ini malah mertua yang menyiapkan sarapan untuk menantunya.
Aku dan Rey duduk berdampingan. Menyendok nasi untuk dua piring. Kami pun makan lahap bersama. Bapak, ibu dan kedua adik Rey sudah sibuk dengan kegiatan masing-masing.
"Hari ini aku mau ikut Bapakmu, Nit. Kamu di rumah baik-baik, ya." Rey bicara sambil mengelap mulutnya.
"Kenapa aku gak diajak, sih?" tanyaku sewot.
"Kamu masih lemah, Sayang. Aku dan Bapak juga gak mau ada kejadian yang tak diinginkan terulang lagi," jawabnya.
Aku tau, mereka khawatir kalau sewaktu-waktu nanti aku kerasukan lagi. Akhirnya kuiyakan saja dia pergi bersama bapak dan Om Aryo. Entah ke mana lagi mereka pergi. Hari ini targetku adalah pendekatan dengan mertua dan ipar.
***
Hari demi hari kami jalani dengan biasa saja. Sudah sebulan peristiwa yang aneh-aneh sedikit surut. Sudah tak seperti biasanya. Penampakan-penampakan khas yang biasa kulihat, jadi jarang terlihat. Semoga saja ini bertahan selamanya. Mungkin bapak, Om Aryo dan Rey benar-benar bisa menemukan solusi terbaik untukku tanpa harus kutau.
"Hoek! Hoek!" Isi perutku keluar semua.
Aku masih mengelus tengkukku di kamar mandi. Rasa mual yang berkelanjutan membuatku lemas, muntah berkali-kali. Kepala pusing, nyeri ulu hati dan perut mual tak kunjung membaik. Sudah dua minggu merasakan seperti ini.
"Kamu masuk angin, Mbak?" Liana mendekat. Lalu menyodorkan segelas air putih hangat.
"Mungkin. Aku juga gak tau nih," jawabku.
Aku duduk bersandar di ruang tengah. Mengelus perut bagian bawah dada. Rasanya seperti ada yang mengganjal dan ingin dimuntahkan. Sejenak berpikir, apakah aku hamil? Karena aku juga belum tau, bagaimana tanda-tanda wanita hamil.
"Aku udah telepon Mas Rey, Mbak," ujar Liana.
Aku tersenyum menanggapi. Benar-benar sudah malas untuk bicara. Rasanya ingin tiduran saja. Kebetulan Ibu dan Bapak Rey sedang pergi ke luar kota. Hanya ada aku, Liana dan Rangga di rumah. Rey sudah berangkat kerja pagi-pagi sekali, tapi mendengar kabar dari Liana dia langsung pulang selisih beberapa menit saja. Dia pulang membawa buah anggur dan testpack. Lalu memberikannya padaku.
"Ah, aku bingung cara pakainya, Rey." Aku tau, tapi aku malu. Memancing bagaimana respon suami siaga yang kudambakan itu.
"Itu ada petunjuk pemakaiannya, Nit. Atau mau aku bantu?" jawabnya dengan senyuman nakal. Aku pun bergegas ke kamar mandi.
Seperti yang kuduga. Dua garis merah muncul di benda pipih seukuran jari itu. Kutunjukkan padanya dan kami pun berpelukan. Menikmati kebahagiaan, menyambut karunia indah dari Tuhan dan kami pun tiada henti untuk mengucap syukur.
Aku sempat merasa heran. Sejak merasa hamil memang sudah tak lagi melihat hal-hal aneh, tapi justru aku merindukannya. Biasanya banyak sosok ghaib ada di mana-mana, sekarang sama sekali tak tampak di mataku. Entah apa yang membuatku rindu. Sosok Buto Ijo dan wanita yang meminta tolong itupun sudah tak tau bagaimana kabarnya sekarang.
Kehamilanku membawa kebahagiaan untuk keluarga besar kami. Sama-sama cucu pertama untuk orang tuaku dan orang tua Rey. Semua saling mensupport dan memanjakanku. Hari ke minggu, minggu jadi bulan. Kini usia kandunganku sudah sembilan bulan. Terasa cepat dan tak sabar untuk segera menimang.
"Aduh, Bu. Sakit ...," rintihku. Ibu Rey dengan sabar mengelus punggungku.
"Sabar, Nit. Lha tadi periksa di bidan, gimana hasilnya?" tanyanya.
"Masih bukaan dua, Bu. Disuruh pulang dulu," jawabku.
Sudah dua kali ke bidan, masih pembukaan dua terus. Sedangkan perutku semakin sakit. Rasanya seperti ingin buang air besar, tapi sakit di sekujur badan. Begitu terus yang kurasakan sampai dua minggu. Keluarga Rey mulai khawatir dan langsung membawaku ke Klinik Bersalin.
"Masih pembukaan dua ya, Pak." Suster memberi tau Rey setelah mengecek pembukaan di kamar tindakan.
"Masa sudah hampir tiga minggu belum nambah pembukaannya, Sus?" tanya Rey.
"Kami akan lakukan induksi, jika satu kali dua puluh empat jam masih belum pembukaan lengkap." Bidan yang sudah seumuran ibu itupun menimpali.
Dengan rasa yang campur aduk aku mengerang kesakitan karena efek induksi. Seketika dibuat terkejut pula saat tiba-tiba sosok si merah yang pernah kulihat di rumah sakit ada di depanku. Dia memandangi kakiku yang mengangkang. Kepalanya menggeleng pelan. Ada tetesan darah dari ujung mulutnya.
"Ka-ka-mu mau apa!" seruku tergagap.
Dia menyeringai tanpa menjawab. Entah pergi ke mana semua orang. Aku sudah gak tahan sakitnya, ditambah dengan munculnya si merah ini. Aku ingat pernah ada orang bilang, "Kalau kuntilanak merah itu, suka memakan janin. Apalagi bayi baru lahir, itu kesukaan dia."
Kupegang erat perutku. Aku berganti posisi miring dengan kaki merapat. Takut jiwa bayiku kenapa-kenapa, aku berdoa sebisanya. Saat itu juga, perutku semakin sakit tak karuan. Seperti ada lelehan dari jalan lahir. Dasterku basah, seprai pada tempat yang kutiduri juga terasa basah. Tak lama dua suster dan seorang bidan paruh baya itu pun masuk ruangan. Membawa peralatan bersalin yang sudah disterilkan.
"Terlentang dulu coba, Mbak! Saya cek pembukaan." Aku pun menurut.
"Lho, ini sudah pembukaan lengkap, Sus! Ayo nyalakan lampu! Sarung tangan mana? Siapkan gunting, semuanya bawa ke sini!" Bidan mulai panik setelah tau jalan lahir sudah pembukaan lengkap.
Si merah masih meringis dengan gigi-giginya yang tajam. Dia berdiri di dekat pintu. Antara harus mengejan dan merasa ingin mengusir makhluk itu, aku jadi tidak fokus. Berkali-kali gagal mengejan. Bidan mulai geram dengan tingkahku.
"Angkat pantatnya, Mbak!" serunya. Aku pun menurut.
"Kress!" Kurasakan jalan lahirku digunting. Sakit, perih, tapi kalah dengan kontraksi yang semakin mendorongku untuk mengejan.
"Mengejannya yang benar ya, Mbak. Jangan teriak-teriak! Kasihan dedeknya, sudah kelihatan loh itu." Bidan mulai memberiku aba-aba untuk kembali mengejan.
Kuturuti apa katanya. Kedua tangan memegang lutut yang keduanya mengangkang. Kepala kutarik ke arah perut dan, "Oek ... oek!" Lahirlah putri pertama kami.
Kedua suster sibuk mengurus bayi dan salah satunya keluar untuk memanggil Rey. Sedangkan Bidan sibuk mengurus rahimku untuk dibersihkan dan tahap penutupan luka dengan menjahit alat vitalku. Aku tak peduli dengan sakitnya lagi. Bahkan saat disuntik obat bius pun tak kurasakan sama sekali. Pandanganku fokus pada si merah yang mulai mendekati putri kami.
Tak lama Rey pun masuk. Dia segera menggendong putri kami dan mengumandangkan azan di telinga kanan bayi mungil berbobot 2900 gram itu. Seketika, kulihat dengan nyata. si merah terlihat samar. Wajahnya murung dan menatapku tajam. Setelah azan selesai dikumandangkan, iqomah pun segera dilafalkan pada telinga kiri. Barulah sosok si merah itu benar-benar lenyap tak terlihat lagi.
Aku menangis seketika. Kupeluk Rey dan bayi kami di ruang persalinan yang tidak terlalu luas. Betapa bersyukurnya aku, bayi kami masih selamat dari gangguan makhluk jahat itu. Padahal selama sembilan bulan kehamilan, tak pernah sekalipun melihat si merah. Terakhir kali lihat dia juga sudah sangat lama sekali. Lalu, kenapa dia muncul lagi?
KAMU SEDANG MEMBACA
PATI GENI
HorrorSebuah kisah yang dihiasi pemandangan menakutkan telah terjadi hanya karena sebuah ritual yang tak disadari. Sebuah tirakat yang harusnya bertujuan untuk kelulusan justru menjadi awal mula kisah hidup seorang Arnita Dinata seperti di neraka. Bak kut...