"Pak, tadi Om Aryo ke sini sama temennya." Sambil gugup aku coba ceritakan pesan Pak Hamid pada bapak.
"Iya, Bapak udah tau. Tadi Om kamu sudah nelpon Bapak kok," jawab bapak. Matanya memandang langit, seolah ada beban yang berat dalam pikirannya.
"Terus gimana, Pak?" tanyaku.
"Denger ya, Nit. Menikah bukan suatu hal yang mudah. Calon suamimu harus yang baik dan bisa jadi imammu dunia-akhirat." Bapak mulai menatapku tajam. Tatapannya tersirat makna yang dalam.
Aku mulai menunduk. Orang tua Rey sepertinya tidak setuju. Sekarang, bapak juga tidak setuju. Lantas mau dinikahkan dengan siapa, aku. Padahal ini demi kesembuhan dan masa depanku. Muak sudah merasakan segala penderitaan yang tak berujung ini.
Bapak mengusap punggungku perlahan. "Bapak setuju saja kamu sama Rey. Asalkan dia bisa membuktikan, bahwa dia layak jadi suamimu. Apa dia sudah kerja?"
Mendengar ucapan bapak, seperti ada pisau yang manancap di dadaku. Benar juga, selama ini aku bahkan belum tau, Rey sudah kerja atau belum. Kenapa bisa selalai ini. Dia datang beberapa waktu lalu, ingin melamarku dengan memberi cincin. Itu hasil kerja kerasnya atau dibeli dengan uang jajan dari orang tuanya? Banyak pertanyaan yang tiba-tiba menggeruduk otakku.
"Kok diem, Nit?" tanya bapak, mengagetkanku.
Kepalaku mendongak, menatap bapak dengan ragu. Entah aku harus menjawab apa. Sedangkan tentang Rey saja aku tak begitu paham.
"A-aaku ... nanti aku tanya sama Rey, ya, Pak. Soalnya kan memang kita gak terlalu dekat selama ini. Jadi Nita gak tau, Rey kerjanya apa dan di mana." Akhirnya bisa meluncurkan jawaban yang tepat. Meski awalnya harus tergagap.
"Ya sudah. Itu ibumu lagi masak opor, bantuin! Nanti antar setengahnya ke rumah Rey. Supaya kamu bisa mengenal keluarga mereka juga. Hidupmu selanjutnya akan bersama mereka kalau kamu memang menikah sama dia." Bapak bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkanku merenung sendiri.
Benar semua yang dikatakan bapak. Pemikirannya sungguh bijak. Bahwa nantinya seumur hidupku akan bersama Rey dan keluarganya. Aku harus mengenal, mendekati dan mengerti tentang mereka satu per satu.
Opor ayam yang baru matang, lontong yang dibeli di pasar dan kerupuk udang yang sudah selesai digoreng sudah siap disajikan. Kumasukkan semua masakan untuk keluarga Rey di rantang susun.
"Ini aja, Bu?" tanyaku, memastikan.
"Iya, udah itu aja adanya. Antar sekarang sana! Pas sama waktunya makan siang." Aku pun bergegas pergi.
Cukup jalan kaki beberapa langkah saja untuk bisa ke rumah Rey. Ada lagu yang cocok untuk kisah kami. Yaitu, pacar lima langkah.
"Assalamualaikum!" seruku, mengucap salam.
Pintu rumahnya terbuka. Kuketuk sampai lama belum ada yang keluar. Ucapan salamku pun tak ada yang menjawab. Warung di samping juga terbuka jendelanya. Kuulangi lagi salam sampai yang ketiga dan akhirnya ada yang keluar.
"Waalaikumsalam!" jawabnya singkat. Gadis yang kira-kira masih SMP dengan tubuh sedikit gempal itu menjawab salamku.
"Rey-nya, ada?" tanyaku.
"Kak, Rey! Ada yang nyari nih," teriaknya lantang. Sampai kaget aku dibuatnya.
Selain berbadan gembal, suaranya juga keras. Mengingatkanku pada ibunya, ucapannya saat di rumah sakit pun masih terngiang.
"Siapa sih, Dek?" Rey keluar dengan tangan penuh noda hitam yang terlihat seperti oli. "Loh, Nita. Sini masuk," perintahnya, setelah melihat yang datang adalah aku.
KAMU SEDANG MEMBACA
PATI GENI
HororSebuah kisah yang dihiasi pemandangan menakutkan telah terjadi hanya karena sebuah ritual yang tak disadari. Sebuah tirakat yang harusnya bertujuan untuk kelulusan justru menjadi awal mula kisah hidup seorang Arnita Dinata seperti di neraka. Bak kut...