SI MERAH

1.5K 147 4
                                    

Entah berapa lama mataku terpejam. Kepala berdenyut, mata berat dan sulit untuk dibuka. Samar terdengar bunyi monitor dan beberapa orang bercakap. Namun, aku tetap berusaha untuk mengerjap pelan dan akhirnya mataku bisa terbuka.

"Ibu, Bapak ...," lirihku.

Hanya ada orang-orang berseragam putih di sekitarku. Ada alat berkabel yang menempel di kepalaku. Terasa sekali saat rambutku disibak dan ditempeli sesuatu.

"Pasien sudah sadar, Dok!"

"Cek tensi, suhu dan penglihatannya!"

Ada apa lagi denganku, ke mana orang tuaku, kenapa aku sendiri di sini? Segala pertanyaan itu berputar di pikiranku. Masih merasakan sakit di kepala kucoba untuk beranjak duduk, tapi mereka melarang.

"Jangan dulu ya, Mbak. Sekarang lagi di-EEG. Nanti kalo sudah selesai baru boleh duduk," jelas salah satu orang berseragam putih itu padaku.

Kubiarkan mereka bebas melakukan apapun. Hal yang paling penting buatku adalah sembuh dan bisa berkumpul dengan keluarga. Salah satu dari mereka mulai mendekat. Tangan yang satu mengangkat suntikan ke atas dan tangan satunya menekannya hingga keluar cairan dari suntikan. Kemudian suntikan itu langsung ditusukkan ke selang infus yang menancap di punggung tanganku. Rasanya panas dan perih menjadi satu menyusuri aliran darah. Baru saja aku membuka mata, sekarang sudah merasa ingin terpejam saja. Semakin lama semakin menyipit dan terasa mengantuk. Aku pun tidak tau apa yang terjadi setelahnya.

Hari sudah gelap saat itu. Aku sudah dipindah ke ruang rawat inap. Rasanya seperti habis tidur lama sekali. Aku terbangun dengan keadaan yang lebih segar. Kepala yang berdenyut agak berkurang dan aku bisa duduk di atas bed tanpa rasa sakit yang mencengkeram.

"Ya udah to, Bu. Bilang sama Uti dan Kakung supaya tanah itu dijual! Mau bayar pake apa, biaya perawatan Nita kalo kita gak segera jual tanah itu?" Itu suara bapak. Terdengar jelas di balik tirai.

"Iya, Pak. Nanti ibu bilang sama Kakung dan Utinya anak-anak."

Mereka bicara soal menjual tanah dan biaya rumah sakit. Rasanya, sebagai anak aku sungguh tidak berguna. Hanya bisa menyusahkan orang tua saja. Tak terasa bulir bening meleleh dari ujung netra dan sesak di dada mulai mendera.

"Wuzz!" Semerbak angin yang tak biasa melewati tengkukku. Terasa dingin yang berbeda. Hingga bulu kudukku pun meremang.

Aku menoleh ke arah jendela di samping kiri bedku. Ada sosok berdiri kaku di bawah pohon. Ruang rawat inapku ini terletak di antara taman. Ada pohon yang cukup besar di luar. Kuyakin sosok itu bukanlah manusia. Semenjak kejadian demi kejadian yang terjadi, perasaan ini semakin peka dan terbiasa.

Sosok itu sedikit blur, tidak begitu jelas. Bagian bawah juga tidak menapak tanah, tapi tidak putih seperti yang sebelum-sebelumnya. Dia tampak merah. Seluruh tubuhnya dibalut warna merah. Entah itu baju, daster atau apalah. Rambutnya panjang, kaku dan menjuntai menutupi wajahnya. Sama sekali takbisa kulihat bagaimana bentuk wajahnya.

Dia masih menempel di pohon. Tidak bergerak meski banyak orang yang lalu lalang. Sedikit demi sedikit kepalanya bergerak. Rambutnya mulai tersibak karena angin. Wajahnya pun mulai tampak. Lagi-lagi hitam, tak berbentuk dan ada sedikit noda merah meleleh dari kelopak matanya yang putih semua.

"Astaghfirullah! Apa lagi, ini?" gerutuku sendiri. Ingin menutup mata, tapi takbisa. Begitulah yang terjadi padaku setiap kali melihat penampakan.

Meskipun aku sudah bisa mengendalikan diri saat melihat penampakan, tapi kali ini berbeda. Tanpa kusadari, ternyata sosok itu mendekat. Entah sejak kapan dia bergerak dan tiba-tiba ada di jendela. Benar-benar memenuhi kaca jendela yang begitu besarnya. Sosoknya lebih jelas dengan gigi-gigi tajamnya yang menyeringai.

"Aaaaaah!" Aku berteriak dan menutup kedua telingaku saat mendengar suara melengking yang begitu memilukan.

Aku juga heran, dari mana suara itu bisa mendekat ke telinga. Sedangkan, aku di dalam ruangan dan dia berada di luar jendela. Namun, suara itu benar-benar menyiksa gendang telinga. Teriakanku rupanya terdengar oleh bapak dan ibu. Sehingga mereka bergegas mendekat.

"Kenapa, Nok?" tanya bapak panik. Ibu juga langsung mengambilkan botol air minum.

"Minum dulu, Nok! Mana yang sakit?" tanya ibu gugup.

Aku harus apa? Tak mungkin untuk menceritakan semua yang kulihat. Selain mereka akan takut pasti juga tidak begitu saja percaya. Pasti akan dianggap halusinasi atau berlebihan dalam berimajinasi. Hal yang bisa kulakukan hanya memejamkan mata dalam pelukan ibu.

"Bu, Nita mau pulang. Nita gak betah di sini," rengekku di depan ibu dan bapak. Mereka hanya tersenyum simpul.

"Sabar, Nok! Besok kalo udah gak sakit juga disuruh pulang." Bapak berusaha menghibur dan memberi semangat.

Tidur di rumah sakit dengan berbagai alat pada tubuh itu menyiksa. Sama sekali tak pernah terpikir akan seperti ini dalam perjalanan hidupku. Sudah tiga hari aku masih menjadi penghuni ruang Ar-Rijal kelas tiga di Rumah Sakit Kota. Termenung saat bapak dan ibu harus pulang sebentar. Hanya ada sosok si merah yang masih setia berada di pohon itu. Apa yang hendak dia sampaikan padaku? Dia selalu menatapku dan tak lagi berteriak.

Diagnosa penyakitku kini berbeda lagi. Kunjungan dokter pagi tadi menyimpulkan bahwa aku kekurangan kalsium. Hasil EEG, MRI serta CT-Scan semuanya normal dan besok aku diinjinkan pulang.

Harusnya aku bahagia, tapi ada perasaan aneh di dada. Seolah enggan meninggalkan si merah sendirian. Dia tidak menyakitiku, mungkin juga dia ingin menyampaikan sesuatu padaku. Jika sebelum-sebelumnya setiap aku melihat penampakan selalu ada yang meninggal, sudah tiga hari si merah muncul belum ada kasus meninggal yang kulihat. Namun, apalah daya. Aku tak bisa mengerti bahasa mereka. Dunia kami juga berbeda, tak pernah ada pelajaran untuk bisa memahami bahasa ghaib dunia mereka.

"Alhamdulillah, akhirnya kamu boleh pulang, Nok." Ibu mengucap syukur sambil mengemas barang-barang. Sementara bapak mengurus administrasi.

Pandanganku masih fokus pada si merah. Dia tidak seseram seperti saat pertama kali muncul. Sosok yang awalnya samar, semakin lama semakin nyata. Bahkan dia sesekali mendekat ke arah jendela. Meskipun matanya tak bisa berkedip dan menyeramkan, dalam anganku dia adalah sosok yang cantik.

"Kamu lihat apa sih, Nit?" tanya ibu mulai penasaran.

"Eh ... enggak, Bu. Gapapa, gak lihat apa-apa, kok." Lega mendengar jawabanku, ibu kembali mengemas barang, melipat tikar dan mengumpulkan beberapa sampah menjadi satu kemudian membuangnya.

Tak lama, bapak datang dengan kursi roda dan beberapa berkas di tangannya.

"Ayo! Sudah siap, kan? Mobilnya sudah menunggu di depan." Bapak merangkul dan memapahku turun menuju kursi roda. Tak lupa kami berpamitan dengan dua pasiean lain beserta keluarga yang menunggunya.

Saat kursi rodaku melintasi taman, si merah masih menatapku. Dia tak beranjak dari sana. Masih tetap di pohon dengan tatapan berbeda. Mungkinkah makhluk seperti dia bisa merasakan sedih?

PATI GENITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang