Sebagai anak pertama, seharusnya dia tak begini. Arnita Dinata, adalah anak pertama kami. Setidaknya, dia harapan kami untuk bisa sukses dan memberi contoh pada adik-adiknya. Entah apa yang terjadi selama kami di kota. Istri sedang hamil tua, dapat kabar anak sakit sudah dua kali masuk rumah sakit. Pikiranku kacau balau, sehingga mau tak mau kami harus pulang segera.
Kami langsung menuju rumah sakit saat itu. Nita sudah di IGD dengan beberapa kabel terpasang di dadanya. Napasnya tersengal dengan dada yang naik turun. Dokter dan tim-nya terlihat panik lengkap dengan suara tangisan istriku.
"Maaf, Pak. Tolong tanda tangani berkas rujukan ini. Bisa tidak bisa, pasien akan kami rujuk ke Rumah Sakit Barat. Di sana peralatan lebih lengkap dan dokter spesialis lebih banyak," ucap perawat dengan wajah tegang. Membuatku menjadi lebih tegang lagi.
Kutandatangani berkas itu dengan cepat. Baru kali ini mengalami anak sakit separah ini. Dari keempat anakku, justru Udin, anak kami keempat yang dari kecil sering sakit. Meskipun Nita ada asma, tapi sakitnya masih bisa ditangani dengan minum obat. Sedangkan Udin justru sudah dua kali masuk rumah sakit saat usia tujuh tahun.
"Pak ... Nita, Pak." Istriku terus menangis. Dia bersandar di bahuku menatap nanar putri sulung kami.
"Ambulance sudah siap, Dok."
"Ya sudah, sekarang cepat!"
Percakapan antara dokter dan perawat membuat kami juga langsung berdiri. Mengikuti mereka mendorong bed Nita yang dimasukkan ke dalam ambulance. Sirine khas yang membuat hati berdesir kini nyata kami alami sendiri.
Selang oksigen terpasang pada kedua lubang hidung Nita. Perawat yang duduk di sebelahku pun sibuk mengecek nadinya. Jangan tanya bagaimana istriku, dia masih tak berhenti menangis. Padahal seharusnya di jam begini dia istirahat. Kehamilannya sudah memasuki masa-masa mendebarkan.
Dari Rumah Sakit Timur ke Rumah Sakit Barat yang biasanya ditempuh selama satu jam lebih, kini cuma setengah jam sudah sampai. Di samping jalanan sepi karena sudah tengah malam, laju ambulance juga ekstra cepat.
Sirine berhenti berbunyi tepat di depan IGD. Pintu belakang dibuka dan bed diturunkan. Kami hanya pasrah mengikuti langkah para perawat itu sampai ke ruang tindakan. Terlihat dokter atau entah siapa, menempelkan alat seperti setrikaan pada dada Nita.
"Pak, itu Nita diapain? Kok malah kayak di tipi-tipi," tanya istriku dengan suara seraknya. Matanya sembab, tapi sudah tak menangis lagi. Mungkin air matanya sudah kering, menangis sejak sore sampai tengah malam begini.
"Sudah, Bu. Serahkan saja sama dokter dan tentunya sama Allah, juga. Berdoa saja yang terbaik untuk anak kita," jawabku menenangkannya. Padahal dalam hati ini juga panik luar biasa, melihat anakku terbaring dan ditangani dengan macam-macam alat medis yang terlihat ngeri.
Kira-kira empat kali alat yang seperti setrikaan itu ditempelkan pada dada Nita. Tak lama monitor di sampingnya berbunyi. Ada garis-garis yang bergerak naik turun di monitornya. Beberapa alat yang seperti kabel juga dipasangkan di dadanya. Perawat wanita memakaikan baju dan menyelimutinya sebelum pergi.
"Bapak keluarganya, Nona Arnita Dinata?" tanya pria berjas putih yang tampak masih muda itu.
"Iya, benar," jawabku cepat.
"Begini, Pak. Anak bapak memiliki masalah pada jantungnya. Kami akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut besok. Jadi, sekarang anak bapak akan dipindahkan ke ruang rawat inap. Ini, mohon diisi dulu ya, Pak." Dia menyodorkan pen dan kertas.
Selesai semua urusan di IGD, bed Nita kembali didorong menuju ruang rawat inap. Rumah sakit tua yang sudah sejak jaman dulu berdiri ini sangat sepi di jam begini. Para penunggu pasien sudah banyak yang tidur. Meski ada beberapa yang masih melek dan mengobrol.
Perawat berhenti di Ruang Mawar setelah lima menit berjalan. Dari IGD sampai ruangan ini begitu jauhnya, karena rumah sakit ini memang sangat luas. Dalam satu ruangan ada tiga bed dan sudah terisi dua pasien. Nita diletakkan pada bed dekat pintu keluar. Kemudian kedua perawat itu pun pergi setelah sebelumnya menyuntikkan sesuatu melalui selang infus yang terpasang di punggung tangan Nita.
"Sudah, Bu. Kamu tidur saja, sudah mau pagi ini. Besok biar fit ngurusin Nita. Ngurusin orang sakit itu capek. Kamu gak boleh capek-capek, kan." Kupijit lehernya pelan. Pasti sangat lelah, perjalanan dari kota ke kampung empat jam. Kami langsung ke rumah sakit sampai sekarang. Semoga semuanya cepat berlalu.
Suasana hening. Giarti, istriku sudah terlelap. Nita juga masih belum sadar sedari IGD tadi, mungkin efek obat yang disuntikkan lewat selang infus sebelumnya. Dua pasien di samping kami juga sepi. Tentu saja semua pada tidur.
Baru saja mata nyaris terpejam, ada suara yang mengagetkan. Seperti suara bed didorong, tapi saat kulihat keluar tidak ada siapa-siapa.
"Rumah sakit kok kayak kuburan, sepi banget!" gerutuku kesal dan kembali masuk. Mata yang tadi nyaris merem malah jadi melek akhirnya.
Azan subuh berkumandang sayup-sayup. Mataku pedas dan mulai mengantuk, tapi istriku bangun dan menyuruhku untuk bergegas sholat. Apa daya, aku pun keluar untuk mencari di mana musholanya.
Di tempat seluas ini, aku bingung. Beruntung masih bisa membaca rambu-rambu arah yang terpasang di dinding setiap ada jalan bercabang. Terlihat tulisan mushola belok kiri dan kamar mayat belok kanan.
"Ladalah! Kamar mayat," seruku dan langsung jalan cepat ke arah kiri.
Air wudu yang dingin membuat mata semakin menggelayut. Segera kutunaikan dua rakaat agar setelahnya bisa segera tidur. Tak ada imam, hanya ada dua orang pria yang sudah lebih dulu sholat di depanku. Dalam hati sedikit membatin, "Siapa tadi yang azan. Mushola sepi seperti ini."
Selesai rakaat terakhir dan berdoa, aku masih belum beranjak dari dudukku. Pandanganku mengitari ruangan yang tak begitu luas itu. Kedua orang tadi sudah lenyap tanpa suara yang kudengar. Sefokus-fokusnya sholat, telingaku masih bisa mendengar jika ada orang bicara. Meskipun hanya suara sandal.
"Cepet banget orang tadi ngilang," ocehku sendiri. Kupikir tidur sejenak di sini lebih baik, daripada langsung kembali ke ruangan, tak ada tempat untuk tidur.
Kurebahkan tubuh di alas karpet hijau. Tak ada bantal atau sesuatu yang bisa dijadikan alas kepala, tapi ya sudahlah. Mataku sudah terasa berat dan akhirnya terpejam.
"Klontang!"
Seketika aku bangun dan mencari sumber suara yang mengejutkan itu. Sinar cerah menyembul dari balik jendela. Sepertinya hari sudah terang. Duduk dan mengucek mata sebentar, mengitari pemandangan sekitar dan akhirnya bisa terdengar suara-suara orang bicara.
"Tadi suara apa, ya?" Aku masih mencari sumber suara sambil berjalan ke luar.
Baru saja mau keluar, sudah ada bed didorong tiga perawat disusul beberapa orang yang menangis. Sosok di atas bed tertutup selimut rapat sampai ke ujung kepala.
"Innalillahi ...." Mulut ini tak berhenti mengucap kalimat Allah. Jadi teringat Nita. Aku segera berlari ke Ruang Mawar.
Sesampainya di Ruang Mawar, terlihat Nita sudah duduk bersama ibunya di bed. Berarti sudah agak mendingan. Aku segera menghampiri mereka.
"Gimana, Nok, sudah enakan?" Nita justru meringis dan memegangi kepalanya.
"Sakit, Pak." Kepala yang diremasnya dipijit pelan oleh ibunya dengan sabar. Meski sudah terlihat air mata yang menganak sungai di kelopaknya, dia tetap berusaha tegar di depan putrinya.
"Sabar, ya. Nanti pas dokter datang, kamu bilang. Sekarang istirahat dulu saja sambil dipijit ibumu. Bapak tak nyari sarapan dulu buat ibumu," ucapku sambil mengusap puncak kepalanya dan segera berlalu.
"Sebenarnya anakku sakit apa to, ya Allah? Semalem dokter bilang jantung, kok sekarang kepalanya yang sakit." Aku masih berdiri di depan ruangan, bersandar di dinding dan bertanya pada Tuhan. Memang tak mungkin Tuhan memberikan ujian di luar batas kemampuan hamba-Nya. Semoga saja ini bisa jadi penguat imanku sebagai kepala keluarga.
KAMU SEDANG MEMBACA
PATI GENI
TerrorSebuah kisah yang dihiasi pemandangan menakutkan telah terjadi hanya karena sebuah ritual yang tak disadari. Sebuah tirakat yang harusnya bertujuan untuk kelulusan justru menjadi awal mula kisah hidup seorang Arnita Dinata seperti di neraka. Bak kut...