Pertama kali aku tak sengaja melihatnya sedang melamun di teras. Matanya sipit, hidungnya mancung, kulitnya putih bersih. Kutanyakan pada teman-teman, mereka bilang dia orang baru. Keluarganya pendatang di komplek kami. Semakin penasaran aku dibuatnya.
Setelah kucari info, baru kutahu bahwa namanya adalah Arnita. Anaknya Pak Sudinata dan Bu Giarti. Seperti yang sebelum-sebelumnya, kubaca mantra pengait wanita. Mantra yang kudapat dari teman saat iseng menanyakan kenapa dia bisa mujur mendapatkan pacar cantik. Ajian Jaran Goyang, kubaca selepas sholat. Saat itu, remaja seusiaku tak terlalu menggubris bahwa itu musyrik. Satu hal yang pasti adalah untuk mendapatkan gadis pujaanku.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Beberapa hari setelah itu, dia datang ke warung. Orang tuaku memang membuka usaha warung kelontong untuk pekerjaan sampingan ibuku sebagai Ibu Rumahtangga.
"Permisi! Beli!" serunya di balik jendela warung yang masih terbuat dari papan kala itu.
Ibu sudah melangkah ke depan, tapi kubujuk supaya aku saja yang melayani pembeli. Karena sudah kulihat dari jendela, bahwa Arnita lah pembelinya.
"Beli apa?" tanyaku datar. Aku harus jual mahal sebelum dia merasa curiga.
"Odol, sabun mandi, sampo, sama kertas folio." Dia juga menjawab dengan nada datar.
Kumasukkan pesanannya satu per satu ke kantong plastik. Kalkulator di atas rak pun jadi mediaku untuk rencana selanjutnya.
"Berapa, semua?" tanyanya.
"Nomor Hp-mu, berapa? Aku menjawab pertanyaannya dengan pertanyaan juga, yang sukses membuat mulutnya menganga.
Dia langsung mengucapkan nomor Hp-nya dengan sukarela yang langsung kucatat di kalkulator. Akhirnya tak sia-sia juga mantra pemberian temanku. Tahap pertama sudah kubuktikan tanpa kesulitan berarti.
"Semua lima belas ribu," ucapku setelah menghitung total belanjaannya dengan jari.
Apa boleh buat, kalkulator yang seharusnya untuk menghitung masih ada nomor Hp yang belum kusimpan. Tak lupa kutulis sebuah pesan di secarik kertas yang kuberikan bersama uang kembalian. Dia pun tersipu setelah membacanya.
"Yes, berhasil!" Aku masuk membawa kalkulator dan mencatat nomor Hpnya di ponsel.
Tak sabar untuk mengirimi dia pesan, aku coba tes pertama. Kuketik pada papan pesan tawaran untuk mengantarnya ke kampus besok pagi dan berhasil. Tes kedua pun lolos tanpa kesulitan berarti. Dia bersedia dan menjawab pesan tak terlalu lama.
Segera kutelepon Aji, temanku si pemberi mantra. Kuceritakan semua dari langkah awal sampai detik ini. Semua berjalan lancar tanpa ada hambatan.
"Aku, Kama Reynaldi, harus bisa mendapatkan gadisnya." Kami berdua terbahak di sambungan telepon.
Hari-hari kami berjalan lancar sesuai rencana. Aku sudah berani main ke rumahnya. Bapaknya tampak tak terlalu suka saat aku datang di waktu sore menjelang maghrib.
"Permisi, Pak. Nitanya, ada?" tanyaku sesampainya di teras rumah Arnita.
"Ada," jawabnya singkat dan meninggalkanku menunggu di teras.
Tak lama Nita pun keluar. Kami duduk di lantai dan menikmati dua gelas teh hangat buatan ibunya. Sesekali kucoba jadi orang humoris, memancing sifat aslinya bagaimana. Apakah dia suka diajak santai, atau selalu serius? Namun, tiba-tiba perasaanku tak enak. Maghrib baru saja lewat beberapa detik. Suasana sekitar pun sepi tak seperti biasanya. Kubuka telinga lebar-lebar, itu benar suara anak ayam. Aku mendengarnya. Suara anak ayam yang seperti sedang kehilangan induknya.
"Nit, kamu dengar suara anak ayam?" tanyaku pada Nita seketika itu.
"Iya, Rey. Aku juga dengar," jawabnya dengan wajah pucat pasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
PATI GENI
HorrorSebuah kisah yang dihiasi pemandangan menakutkan telah terjadi hanya karena sebuah ritual yang tak disadari. Sebuah tirakat yang harusnya bertujuan untuk kelulusan justru menjadi awal mula kisah hidup seorang Arnita Dinata seperti di neraka. Bak kut...