MISTERI RUMAH BAPAK PART 1

1.6K 150 3
                                    

Semua orang tua pasti akan berkorban demi anaknya. Begitu juga dengan orang tuaku. Bapak dan ibu akhirnya sepakat menjual tanah milik ibu di kampung, demi untuk membayar biaya rumah sakit. Saat itu, belum ada bantuan kesehatan dari Pemerintah.

Dari rumah sakit aku langsung dibawa ke rumah. Di kota, meskipun merantau, tapi bapak dan ibu sudah memiliki rumah sendiri. Lelah mengontrak dan sering pindah membuat bapak bertekad untuk bisa membangun rumah.

"Alhamdulillah," ucap ibu setelah kami semua turun dari mobil yang bapak sewa.

Bapak menurunkan ransel dan mencari sesuatu di dalam tas kecilnya. Hingga benda pipih terbuat dari besi itu ketemu dan bergegas dimasukkan ke lubang pintu.

"Assalamualaikum!" seru bapak memasuki rumah besar yang masih berdinding bata merah.

"Waalaikumsalam!"

Deg! Mataku mulai mencari sumber suara. Karena jelas sekali itu bukan suara bapak, ibu apalagi aku. Suaranya berat dan sedikit kasar. Kuyakin itu makhluk ghaib lagi. Perlahan aku masuk. Tak lupa mengucap salam lebih pelan. Masih ada rasa takut menyelimuti, meskipun ini rumah sendiri.

"Kalo ada yang ucap salam mbok ya dijawab," keluh bapak menghampiriku yang mematung di ambang pintu.

"Eh iya, Pak. Waalaikumsalam," jawabku kilat.

"Udah takjawab juga kok, Pak. Mung kan yo, pelan." Ibu juga menimpali.

Sekarang aku lebih yakin, bahwa tadi benar-benar suara asing. Bukan suara di antara kami. Ruang tamu yang luas adalah ruang yang pertama kali kutemui setelah masuk. Belok ke kiri sudah masuk ruang keluarga. Saat aku berdiri diambang batas ruangan, sebelah kanan ada anak tangga menuju kamar di lantai dua dan sebelah kiri adalah kamar utama. Pandanganku fokus ke lantai dua yang sedikit memancing rasa penasaranku.

"Ayo masuk, Nok! Kamu tidur di kamar depan aja gapapa. Ntar ibu sama bapak tidur di kamar belakang." Ibu membukakan pintu kamar utama dan mulai merapikannya.

"Udin tidur di mana, Bu?" tanyaku masih celingukan mengamati sekitar.

"Udin tidur di kamar tengah, sebelah anak tangga situ." Ibu menunjuk ke arah anak tangga.

Udin adikku yang ketiga. Selama ini memang dia ikut dengan bapak dan ibu. Nenek dan kakek sudah angkat tangan jika disuruh mengasuh empat anak. Ibu juga tidak bisa ikut KB karena penyakit asmanya. Jadi, waktu itu Udin umur sembilan tahun dan ibu sedang mengandung anak kelima.

"Terus Udin di mana sekarang, Bu?" tanyaku lagi.

"Udin tak titipkan di rumah Mbak Fitri. Belakang situ, deket kok," jawab ibu yang masih sibuk melipat selimut.

"Udah, anaknya biar istirahat. Kamu masak aja, Bu!" seru bapak.

Ibu pun mempercepat gerakan tangannya. Seprai dan selimut diganti baru, pakaian kotor yang ada dibalik pintu sudah menumpuk di lengan. Ibu pun bergegas keluar. Sebelum keluar ibu tak lupa mewanti-wantiku agar istirahat. Begitulah anjuran dokter.

Kamar utama yang luas justru terasa aneh. Terbiasa tidur di kamar yang hanya dua kali dua meter dan sekarang harus tidur di kamar seluas ruang tamu. Ranjang besar dengan kasur spring ukuran jumbo, seprai menjuntai, selimut tebal, berasa seperti di sinetron. Bapakku sudah berjuang sejauh ini dan aku menghancurkan semuanya.

Aku duduk di tepi ranjang. Mulai meratapi hidup yang masih tak bisa kumengerti. Segala penampakan, suara asing dan penyakit yang tak pernah ketemu. Semua itu membuatku pusing. Kujatuhkan tubuh ke kasur dan memejamkan mata. Berharap semua sudah berubah normal saat terbangun nanti.

Mataku berat. Ingin sekali tetap terpejam, tapi ada sesuatu yang membuat mataku ingin terbuka. Hingga pelan semakin terang kulihat ada cahaya. Di tengah cahaya itu ada bayangan hitam. Dia melambaikan tangan.

PATI GENITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang