POCONG MATA BOLONG

2K 166 3
                                        

Mentari sudah merangkak naik rupanya. Siang itu sangat panas terasa. Jadwal dokter untuk memeriksaku juga diundur beberapa menit karena suatu hal. Nenek dijemput kakek setelah tadi disuruh keluar oleh petugas kebersihan, dia menitip pesan pada perawat jaga untuk menyampaikannya padaku.

"Bukan masalah gak ada temennya, tapi aku itu masih deg-degan. Entah apa lagi kejadiannya setelah ini," gerutuku sendiri.

Aku duduk di atas bed dan melamun. Membayangkan runtutan kejadian satu demi satu. Kurasa, segala kejadian aneh yang terjadi memang semenjak tirakat di sekolah. Seolah otak tak bisa menjangkau nalar lebih jauh, aku menyerah untuk tidak melanjutkan pikiran itu.

"Nit!" Tiba-tiba Winarti masuk dan berhambur memelukku. Ada Najwa, Ardi dan Mas Slamet juga bersamanya.

"Gimana kabarnya, Nit? Sudah baikan, to?" tanya Mas Slamet yang sedang meletakkan bungkusan plastik di atas nakas.

"Iya, Mas. Alhamdulillah, baik." Kok repot-repot begini, sih. Aku jadi gak enak," ujarku menatap mereka bergantian.

"Gak enak kenapa, Nit? Orang sakit kalo gak dijenguk malah gak sembuh-sembuh, loh. Kalo dijenguk kan jadi semangat. Kualitas imun jadi naik dan kamu bakal cepet pulih," jelas Najwa panjang lebar.

Sekitar empat puluh lima menit kami bercengkerama. Ardi masih mengupas apel, Mas Slamet sedang mengangkat telpon di luar, Winarti dan Najwa sibuk membicarakan keadaan kelas selama aku tidak ada. Benar kata Najwa, kehadiran orang yang menjenguk pasien bisa menjadi mood booster tersendiri.

"Ini, Nit. Dimakan dulu! Ardi menyerahkan piring plastik lengkap dengan irisan apel di dalamnya.

"Cie ...." Winarti dan Najwa mulai meledek dan tertawa cekikikan.

Eh, tapi tunggu dulu! Cekikikan mereka terdengar jadi aneh. Seperti ada yang tertawa lagi selain mereka. Tubuhku mulai kaku dengan pandangan mengitari seluruh sudut ruangan. Tidak ada yang tertawa kecuali mereka. Lantas, suara siapa tadi?

"Kamu kenapa, Nit?" tanya Winarti yang tiba-tiba berhenti tertawa setelah melihat ekspresiku. "Apa terjadi sesuatu?" lanjutnya dengan menatapku lekat-lekat.

"Gapapa, Win." Aku tak mau membuat mereka takut. Sebisa mungkin aku biasa saja. Agar mereka tidak curiga dan merasa dalam bahaya.

Derap langkah terdengar dari depan. Seperti suara beberapa langkah kaki menuju ruangan.

"Permisi! Nona Arnita Dinata diperiksa dulu, ya." Perawat cantik dengan buku ditangannya mendekat diikuti dua perawat lain dan seorang pria tinggi, berjambang dan berjas putih. Mungkin dia Pak Dokter yang akan memeriksaku. Salah satu perawat itu membawa alat tensi dan termometer.

"Berapa tensinya, Sus?"

"90/60."

"Suhu?"

"37,5, Dok."

Tanya jawab dua perawat itupun berakhir. Pak Dokter mendekat dan meletakkan stetoskop di dadaku. Digerakkannya benda bulat setengah pipih itu ke kanan dan ke kiri, menyusuri sumber yang dicari.

"Normal, ya. Hanya tensi yang masih drop. Bisa dibantu multivitamin dan makanan sehat bergizi." Dokter yang ramah itu menjelaskan singkat.

"Boleh pulang, Dok?" tanyaku menyela.

"Kalau mau pulang sekarang juga gapapa. Udah sehat ini," jawab Pak Dokter dengan senyuman khas.

Girang hati ini mendengar penjelasan dokter. Mereka pun keluar beriringan. Dari seluruh pasien di sini, memang cuma aku yang belum diperiksa. Lainnya sudah diperiksa sejak pagi tadi.

"Di, bisa tolongin ke rumahku? Bilangin ke kakek sama nenek buat ke sini. Biar aku bisa pulang," pintaku pada Ardi.

"Kamu pulang sama kita aja," jawabnya antusias.

PATI GENITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang