CABUT PAKSA

1.6K 144 3
                                    

Napasku masih terengah-engah menghindari kejaran pocong mata bolong itu. Samar-samar ada cahaya di ujung jalan, aku segera berlari menghampirinya. Entah kenapa tubuh ini begitu ringan. Seperti tak ada daya gravitasi bumi. Rasanya seperti sedang terbang saja. Sesekali aku menoleh ke belakang, pocong itu masih mengikuti. Bibir ini kaku tak dapat bergerak walau sepatah kata.

"Cahaya itu semakin dekat. Selamatkan aku, Tuhan!" pintaku dalam hati.

Cahaya itu kini ada di depanku. Begitu silau, membuat mataku terpejam. Sempat kulihat ke belakang. Memastikan pocong itu tidak ada lagi, tapi seketika tubuhku seperti terseret arus.

"Aaaah!" Mataku mengerjap dan merasakan sakit pada kepala begitu hebat. "Ibu, kepalaku ...," rintihku yang masih dengan sekuat tenaga membuka mata.

Meski masih samar, kulihat jelas ibu mendekat. Dia memijit kepalaku pelan dengan segala kekhawatiran yang tersingkap dari wajahnya. Tak lama kemudian, ada derap langkah terdengar dari luar.

"Gimana, Nok, sudah enakan?" Bapak masuk dengan wajah seperti orang kurang tidur. Ada kantung mata menggelayut di kelopak bagian bawah.

"Sakit, Pak." Ibu semakin mendekat dan memijit kepalaku pelan.

"Sabar, ya. Nanti pas dokter datang, kamu bilang. Sekarang istirahat dulu saja sambil dipijit ibumu. Bapak tak nyari sarapan dulu buat ibumu," ucap bapak kemudian bergegas pergi ke luar.

Ada raut sedih yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata pada wajah bapak. Sedangkan ibu masih setia merawatku dengan perut buncitnya. Pijatannya yang enak berhasil meringankan nyeri di kepalaku. Entah apa yang terjadi sehingga aku sampai di sini. Baru sadar, jika rumah sakit ini beda dengan yang sebelumnya.

Baru saja ingin membaringkan tubuh ke bed, niat hati ingin membalik bantal agar tidak pusing. Namun, aku dikejutkan dengan kenyataan aneh untuk yang ke sekian kalinya.

"Darah apa ini, Bu?" tanyaku histeris. Melihat bekas darah yang masih belum kering dan bau amisnya juga menyengat saat bantal kuangkat.

"Ya Allah, darah apa ya, Nok? Ibu juga ndak tau," jawab ibu lebih histeris dan memelukku ketakutan. Memancing penghuni bed sebelah penasaran dan mendekat.

"Kenapa, Bu?" tanya ibu-ibu muda yang menunggui pasien sebelah.

"Ini loh, Bu. Ada darah di bawah bantal Nita. Apa Anda tau, ini darah siapa?" Ibu semakin panik. Ibu-ibu tadi mendekat dan melihat bantal yang terbalik penuh noda darah. Begitupun dengan seprainya.

"Oh, ini pasti bekas pasien sebelumnya lupa dibersihkan, tapi gak mungkin juga sih. Wong kemaren sebelum anak Anda dibawa ke ruangan ini, perawat sudah membersihkan semuanya kok," jawab ibu-ibu itu. "Kemaren sore itu, ada pasien yang meninggal di bed ini. Korban kecelakaan tabrak kereta api. Dia dimasukkan ke kamar ini karena kelas tiga penuh semua," imbuhnya yang justru tambah membuat kami takut.

"Kecelakaan kereta api? Meninggal?" Seperti orang kaget yang tiba-tiba hilang keseimbangan, ibu terduduk lemas di kursi. Raut wajahnya kini menjadi sedih yang tak bisa kupahami.

Jika dinalar pun tak masuk akal. Mana mungkin perawat sampai lupa mengganti seprai dan sarung bantal bekas pasien lain. Apalagi pasien yang meninggal karena terluka parah.

Aku masih duduk diam di atas bed dan memegang dada erat-erat. Ada detak yang begitu hebat di dalam sana. Runtutan kejadian memaksaku untuk berpikir keras. Sekarang justru kepalaku yang semakin sakit.

Bapak kembali dengan sebungkus plastik di tangannya. Wajahnya kuyu, masih dengan jaket kulit lusuh warna hitam kesayangannya, yang dibelikan ibu tempo dulu.

"Ini sarapan dulu, Bu!" Bapak mengambil sebungkus nasi dari dalam plastik dan menyerahkannya pada ibu, tapi ibu masih diam dan tak menanggapinya sama sekali.

"Ibumu kenapa, Nok?" tanya bapak menatap tajam mataku.

Aku balas menatap mata bapak tak berkedip. Bantal di belakang tubuhku belum terlihat olehnya. Sehingga sedikit kugeser dudukku agar bapak bisa melihatnya.

"Itu loh, Pak. Bantale anak bapak ada noda darah bekas pasien meninggal sebelumnya." Belum sampai bapak melihat, ibu-ibu itu keburu menunjukkan bantal itu dengan kata-kata yang bagiku masih rancu. Belum tentu begitu juga, kan?

"Lah, kok bisa? Yawes, bapak tak panggil perawat dulu, biar segera dibersihkan dan diganti." Bapak bergegas lari ke luar dan tak lama mereka pun datang.

Dua perawat itu saling pandang dengan wajah keheranan. Entah apa yang membuat tingkah mereka begitu aneh. Aku duduk di kursi, selama seprai dan sarung bantal sedang diganti, tapi kepalaku semakin sakit tak tertahankan. Bapak dan ibu kompak memijitku, tapi tak bisa mengurangi rasa sakit kepalaku sedikitpun.

Seprai dan bantal kini sudah bersih, tapi kepalaku malah semakin menjadi. Bapak segera ke ruang perawat untuk mencari bantuan. Saat merasakan kepala pusing, pikiranku sudah ke mana-mana. Stres dengan yang terjadi padaku akhir-akhir ini. Ingin cerita pada ibu dan bapak, tapi mereka pasti tambah kepikiran. Hanya bisa kupendam sendiri dalam diam.

Tak lama, derap langkah terdengar semakin dekat. Dokter dan dua perawat diikuti bapak yang berjalan di belakang pun masuk ke ruangan.

"Cek tensi!" Perawat yang membawa alat ukur tensi pun beraksi.

Dokter mulai beraksi dengan stetoskopnya. Raut wajahnya yang serius dengan menyipitkan mata, seolah sedang mencari sesuatu yang rumit untuk didengarkan.

"80/50, Dok!" seru perawat yang masih repot dengan alat tulisnya.

"Rendah sekali," jawab sang dokter selesai memeriksaku. "Tekanan darah pasien sangat rendah dari normal, Pak, Bu. Kemungkinan sakit kepala berasal dari tensinya. Untuk jantungnya, normal semua," imbuhnya.

Bapak dan ibu saling pandang. Mereka hanya bisa mengangguk dan menatap kepergian dokter bersama kedua perawat tadi. Namun, aku masih kesakitan menahan rasa sakit di kepala yang menyiksa. Kepala ini berdenyut semakin mencengkeram saat aku duduk dan berdiri. Denyutannya menjalar hingga ke leher membuatku semakin merintih kesakitan.

"Sakit, Pak ... sakit, Bu." Badanku berguling-guling di atas bed. Membuat bapak dan ibu semakin bingung tak karuan.

Dengan panik, bapak mengeluarkan ponsel jadul miliknya dan menelpon seseorang. Entah siapa yang dia telpon dengan mimik wajah tegang.

"Sabar, Nok. Kamu ini salah makan apa, sih? Kok bisa sampe begini." Isakan yang diiringi oleh guyuran air mata ibu membuat kepalaku semakin berdenyut. Pandangan mulai kabur. Aku berbaring memeluk tubuhku sendiri seperti orang menggigil. Pada faktanya, tubuh ini sudah tak kuat merasakan sakitnya.

"Wes, Bu. Aku udah telpon Kakung, supaya carikan mobil dan segera ke sini. Rumah sakit gak mau kasih rujukan. Biar saja cabut paksa. Kita bawa Nita ke rumah sakit di kota. Dari dua rumah sakit kok diagnosanya gak jelas semua!" Nada bicara bapak meninggi, tanda dia sudah mulai emosi.

Memang belum ada diagnosa jelas setelah semalam aku di sini. Sementara diagnosa rujukan dari rumah sakit sebelumnya adalah gangguan jantung, tapi setelah diperiksa semua normal. Sedangkan tadi dokter hanya bilang bahwa ini efek tensi rendah. Rupanya bapak sudah geregetan dan memilih cabut paksa untuk dibawa ke kota.

Kakek dibantu dua orang tetangga datang membawa mobil sewaan. Mereka juga membantu membopongku sampai ke mobil. Sedangkan ibu dan nenek jalan berdua membawa tikar dan beberapa pakaian. Semua orang di lorong samar-samar terlihat diam memandangi kami. Bayangan mereka seperti ada banyak sekali. Semakin lama semakin blur dan mata ini benar-benar tertutup tak terbuka lagi.

PATI GENITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang