Apa yang dirasakan seorang gadis jika ditatap lelaki? Meski dari kejauhan, tatapannya mampu membuatku grogi seketika. Dia salah seorang lelaki yang sedang main bola. Saat yang lain asyik menggiring bola, dia duduk di bawah pohon mangga dan menatapku.
"Itu beneran cowok atau penampakan, ya?" ocehku sendiri balas menatapnya.
Rupanya dia lelah. Per sekian detik menatapku dari jauh, dia beranjak pergi. Hari sudah nyaris gelap. Langit jingga dihiasi burung-burung berbaris menuju singgasananya. Seperti mereka yang bercucuran keringat mengeroyok satu bola ramai-ramai pun sudah pulang ke rumah masing-masing.
"Berarti tadi beneran manusia." Aku cekikikan sendiri. Menertawakan prasangka yang terlampau berlebihan ini, tapi tunggu dulu! Ada suara lain yang kudengar.
Reflek kuhentikan tawa dan celingukan mengitari seluruh halaman. Tidak ada orang sama sekali. Lalu suara siapa, tadi? Jelas sekali bukan suaraku. Kurasa pendengaranku semakin peka saat ini.
"Maghrib, Nok. Masuk!"
Bapak mulai memberi komando. Dengan setelan baju koko dan sarung kotak-kotak serta peci hitam yang bertengger di kepala, sudah siap menuju masjid.
"Iya, Pak," jawabku bergegas masuk.
Setiap kali masuk ke rumah, hawa yang kurasakan begitu beda. Ada rasa panas yang aneh. Apalagi kamar yang ada di lantai dua. Rasanya seperti ada yang menarik perhatianku, tapi aku belum berani untuk naik. Masih belum siap melihat sesuatu yang lebih menyeramkan dari kemarin.
Rumah yang luas dan besar, terletak di antara rawa dan bangunan kosong, menambah kesan horor jika malam tiba. Saat maghrib, suasana mulai sepi. Ibu sholat di kamar, Udin dan bapak pergi ke masjid. Tinggal aku sendirian yang duduk di ruang tamu. Tamu bulanan yang datang tak diundang membuatku harus libur sholat.
Tiba-tiba ada bau singkong yang dibakar. Baunya harum dan sedap. Aku suka sekali singkong bakar, tapi siapa yang maghrib seperti ini membakar singkong?
Aku lekas berjalan menuju teras. Pintu yang tadi sudah kututup malah kubuka lagi. Padahal jelas, maghrib masih belum selesai. Kata ibu, "Kalo maghrib, kita semua harus masuk dan tutup pintu. Supaya Jin dan Setan tidak masuk ke rumah membawa keburukan." Masih jelas teringat wejangan itu, tapi entah kenapa rasa penasaranku lebih mendominasi.
Kutengok sebelah kiri, hanya ada hamparan ilalang di pinggir rawa yang sepi. Sebelah kanan, rumah tetangga yang jarang ada di rumah. Depan rumah, ada rumah kosong yang ditinggalkan begitu saja karena sering kebanjiran. Mungkin pemilik rumah memilih pindah ke tempat lain.
Sudah mengelilingi halaman depan, tapi tak ada tanda-tanda orang membakar singkong. Bahkan di luar bau bakaran itu taklagi tercium.
"Kok aneh, sih? Padahal tadi baunya singkong banget. Kok sekarang baunya ilang?"
Mulutku tak berhenti menggerutu. Lebih baik masuk dan tutup pintu. Mungkin selain pendengaranku yang mulai peka, penciumanku juga ikut-ikutan over pekanya.
Baru saja melewati garis pintu, bulu kudukku mulai meremang. Seperti ada embusan napas terasa semilir melewati tengkukku. Ingin berbalik badan, tapi bayanganku sudah yang aneh-aneh. Takut seperti adegan di film horor. Saat berbalik badan tiba-tiba ada hantu di belakang. Kan serem.
Aku berusaha tidak peduli. Mencoba cuek dan melangkah perlahan. Kakiku terasa berat, seperti ada yang menarik. Ingin sekali rasanya melihat ada apa di belakang. Namun, rasa takut mengalahkan warasku.
Akhirnya aku pasrah. Kubalikkan badan dan apa yang terjadi? Sosok yang nyata dalam seumur hidupku. Makhluk menyerupai Gorila, dengan bulu di sekujur tubuhnya, posturnya besar dan tinggi nyaris tak terlihat jelas wajahnya, dengan mata merah menyala kini berdiri di hadapanku.
"Astaghfurullah!" Kulafalkan doa apa saja sebanyak-banyaknya dengan mata terpejam. Tak sanggup jika harus menatapnya lebih lama.
"Kamu ngapain maghrib begini di depan pintu, Nit?" Suara ibu membuyarkan ketakutanku.
"Ibu!" Takpeduli dengan sosok menyeramkan tadi, aku berlari memeluk ibu yang berdiri di batas ruang tengah.
"Lah, kamu kenapa sih, Nit? Kayak orang abis lihat setan aja," gerutu ibu yang juga kaget mendengar teriakanku dan tiba-tiba memeluk.
Aku lupa, bapak dan ibu gak boleh tau tentang ini. Kurenggangkan pelukan dan berbohong. Kubilang ada kecoa lewat di bawah kaki saat ingin menutup pintu. Beruntung ibu percaya dan tidak curiga.
Masih belum bisa lupa. Sosok yang kulihat mirip Gorila itu sungguh menyeramkan. Sama seperti yang pernah kubaca di buku cerita horor. Makhluk yang bentuknya seperti itu bernama Genderuwo, kalo tidak salah. Aku juga pernah dengar, bahwa makhluk seperti itu sangat menyukai darah haid. Cocok sekali dengan momen datang bulanku kali ini. Bergidik ngeri jadinya. Semakin was-was, membayangkan tiba-tiba dia masuk ke kamarku.
Maghrib berlalu, isya pun sudah terlewat. Hari semakin sepi dan gelap. Bapak dan ibu memanggilku ke kamar. Sedangkan Udin ada di kamarnya sendiri. Mungkin sedang belajar.
Pintu kamar belakang sudah terbuka, jadi aku tak perlu mengetuk lagi.
Bapak dan ibu sudah menungguku rupanya."Nita, besok kamu daftar kuliah, ya. Bapak sudah ada uang untuk biaya masuknya," ucap bapak membuatku melongo.
"Kuliah, Pak? Aku gak pengen kuliah kok, Pak," jawabku mencoba menolak secara halus.
Kutahu, bapak sangat menginginkanku melanjutkan sekolah, tapi aku juga tau bahwa kuliah biayanya tidak sedikit. Sedangkan masih ada adik-adik yang butuh biaya lebih.
"Yo, kamu gak pengen karena males mikir, kan? Bapak pengen kamu jadi sarjana, Nit." Wajah sendunya mulai beraksi. Membuatku tak tega dan terbawa perasaan.
"Ya udah, kalo mau Bapak begitu. Nita nurut," jawabku datar.
Rapat dadakan itupun selesai. Ibu hanya diam tak berucap sepatah katapun. Mungkin sudah dirembuk mereka berdua sebelum memanggilku ke kamar, tapi jika mengingat peristiwa jual tanah di kampung, aku merasa tak tega.
"Din," sapaku memasuki kamar Udin.
Dia sedang asyik dengan buku tulisnya. Entah apa yang ditulis. Aku hanya duduk di tepi kasur sedang dia di depan meja belajar.
"Iya, Mbak. Kenapa?" jawabnya datar.
"Mbak disuruh Bapak, lanjutin kuliah, Din. Gimana menurutmu?" Tegang kuamati wajah Udin. Barangkali dia akan protes dan tidak setuju aku lanjut kuliah.
"Bagus dong, Mbak. Nanti kalo Udin udah lulus juga mau kuliah." Jawabannya polos. Tidak diedit atau disertai bumbu-bumbu pertentangan.
"Ah kamu, Din. Kan Kakakmu yang lain juga masih butuh biaya sekolah," imbuhku menekankan, bahwa sebenarnya lebih baik aku tidak kuliah asalkan mereka bisa sampai selesai sekolahnya.
"Ya nanti Mas Nuril sama Mbak Isti juga kuliah, sama kayak Mbak Nita, kan?"
Lagi-lagi pemikirannya terlalu lurus. Salahku sendiri, curhat sama bocah usia sembilan tahun. Masih belum bisa mengerti, belum bisa memahami gaya bahasaku yang penuh kiasan.
"Yaweslah, tidur sana! Mbak mau tidur," ucapku sebelum keluar dari kamarnya.
Kepalaku sudah pusing memikirkan panampakan yang semakin tak tau diri menampakkan dirinya. Sekarang ditambah harus mempersiapkan mental masuk universitas. Rasanya ingin sekali nyebur di sungai. Ah, jadi ingat Winarti, Najwa, Laras dan yang lainnya. Dulu kami sering nyebur, saat jadwal pramuka, susur sungai. Meski belum lama aku di kota, tapi rasanya seperti sudah hampir melupakan kenangan saat sekolah.
"Sudah jam sebelas, besok pergi ke kampus. Aku harus tidur ini," ocehku sendiri sambil menata selimut.
Kurebahkan tubuh di kasur. Mencoba menutup mata, tapi tak bisa. Ada rasa kantuk menggelayut. Namun, untuk terpejam berasa berat. Hanya bisa berkedip memandang langit-langit.
"Nita ...."
Suara itu? Suara yang sama saat pertama masuk rumah ini. Suara yang serak dan kasar. Bukan suara wanita, tapi juga bukan suara pria. Lantas siapa?
KAMU SEDANG MEMBACA
PATI GENI
TerrorSebuah kisah yang dihiasi pemandangan menakutkan telah terjadi hanya karena sebuah ritual yang tak disadari. Sebuah tirakat yang harusnya bertujuan untuk kelulusan justru menjadi awal mula kisah hidup seorang Arnita Dinata seperti di neraka. Bak kut...