MALAM PERTAMA YANG MENEGANGKAN

1.3K 135 3
                                    

Menjadi raja dan ratu sehari membuat kami tambak bahagia. Membalas ucapan selamat berkali-kali dengan senyuman tanpa henti. Beban yang ada sedikit hilang, tak terasa.

Senja menampilkan awan jingganya yang berarak menepi. Digantikan gelap dengan sayup suara azan menghiasi sore itu. Kepalaku mulai pusing. Saking bahagianya sampai lupa makan.

"Kamu kok pucet, Nit?" Rey menyentuh dahiku.

"Iya, Rey. Pusing kepalaku," jawabku.

Kusandarkan kepala di pundaknya. Menatap sekitar yang sudah mulai sepi. Tamu undangan yang datang sudah mulai berkurang. Jadi aku bisa langsung masuk dan ganti pakaian. Sehari dengan rambut sanggulan beserta tusuk mentul sembilan di kepalaku, rasanya sungguh menyiksa.

Kamarku tampak berbeda malam ini. Lampu temaram menciptakan suasana syahdu. Dengan hiasan bunga-bunga di sudut kamar, kain yang dibentang ke seluruh dinding hingga membentuk tirai-tirai yang cantik dan taburan bunga di atas kasur membuat aliran darah berdesir hebat. Membayangkan hal-hal yang membuatku tersipu sendiri.

Aku duduk di depan meja rias. Melepas satu per satu hiasan di kepala dan membersihkan paesan hitam di dahiku dengan kapas yang ditetesi pembersih, perlahan. Kutatap wajahku di depan cermin. Terlihat beda. Alisku yang tebal, kini tipis bagaikan rembulan sabit. Bibirku yang hampir tak pernah pakai lipstik, kini terlihat merah merona.

"Mau ke mana, Nit? Kok bawa handuk," tanya tetangga sebelah yang sibuk rewang di rumahku.

"Mau mandi, Mbak. Gerah banget," jawabku santai melenggang.

"Mandinya tuh besok, kalau udah malam pertamanan. Baru juga selesai pesta, suami juga masih di pelaminan kok mau mandi."

Baru juga satu langkah, jalanku harus terhenti saat mendengar kata-katanya.

"Orang gerah gak boleh mandi dan harus nunggu malam pertama? Terus kalau si manten lagi dapet tamu bulanan, apa masih harus begitu? Pemikiran yang aneh," jawabku sewot.

Dalam hati, aku memaki diriku sendiri. Tumben sekali mulutku bisa berkata pedas seperti itu. Biasanya juga gak enakan. Harus bodo amat sepertinya dari sekarang.

Gebyar-gebyur air di kamar mandi, segar sekali rasanya. Memang sih, aku pernah dengar. Gak baik mandi malam tanggung begini, tapi badan sudah sangat gerah. Setidaknya menyambut suami harus dalam keadaan segar, dong.

Tak sadar, waktu berjalan begitu cepat. Setelah mandi tadi, aku langsung masuk ke kamar dan tertidur. Bahkan tak tau kapan Rey masuk ke kamar, dia mandi atau tidak pun aku tak tau. Mataku mengerjap, melihat samar-samar jam di dinding.

"Hah, jam satu?"

Langsung saja aku bangun dan melihat sekitar. Rey terpejam di sebelahku masih mengenakan kemeja putih dan celana hitamnya. Kuyakin dia tidak sempat mandi, tapi kenapa tidak membangunkanku?

Tenggorokanku terasa begitu kering. Aku pun bergegas menuju dapur. Sampai di ruang tengah langkahku terhenti. Penasaran dengan kamar di lantai atas yang terlihat terang.

Aku mengendap-ngendap, menapaki anak tangga satu per satu. Pintu kamar pun terbuka. Sebelum memastikan di dalam ada siapa, aku berniat mengintip lebih dulu.

"Sudah, Mas. Aku ngantuk." Itu suara Om Aryo. Aku bergerak lebih dekat untuk memastikan.

"Ya sudah, tidur saja. Biar aku dan Istrimu yang ngitung," ucap bapak. Ternyata mereka sedang menghitung isi amplop dari para tamu undangan.

Aku tak ingin ikut campur, jadi lebih baik turun dan ambil minum ke dapur. Baru menuruni satu anak tangga, badanku oleng dan nyaris jatuh. Aku yakin, baru saja ada yang menabrak lenganku. Terasa begitu keras dan mengejutkan, tapi tidak ada siapapun yang lewat.

"Semoga cuma perasaanku saja. Sudah lama aku gak ngelihat mereka lagi. Harusnya memang begitu," gumamku, masih menuruni anak tangga.

Sebelum sampai di dapur, aku melewati kamar tengah yang terbuka. Ada nenek, kakek dan adik-adikku tidur di sana. Sedang kamar belakang tertutup rapat. Entah kenapa ada rasa ingin membuka dan melihat Alia. Karena kulihat tadi, ibu ikut menghitung uang di atas. Lalu, Alia sama siapa, dong?

Kenop pintu kuputar sampai pintu mulai terbuka. Lampunya redup kekuningan. Ada Alia dan ibu yang sudah tertidur pulas di dalam.

"Tidak! Gak mungkin, kalau Ibu di sini terus yang tadi di sebelah Bapak, siapa?"

Aku mundur perlahan. Kututup pintu kembali dan mulai merasakan debaran aneh yang membuatku ketakutan sendiri. Alih-alih ingin ke dapur ambil minum, justru batal gara-gara ini.

Sebenarnya ingin sekali naik ke lantai atas lagi. Memastikan bahwa mataku gak salah lihat, tapi rasa takut sudah semakin menyergap. Bukan takut melihat mereka lagi, tapi takut semua yang kulakukan susah payah ini menjadi sia-sia. Karena yang keluarga Rey tau, aku sudah sembuh dari penyakit aneh itu.

"Rey, bangun! Ada yang aneh, Rey. Ibu, Rey!" Kugoyangkan tubuh Rey. Terlihat gurat lelah menyebar di seluruh wajahnya, tapi tega tidak tega aku harus tega membangunkannya. Dia menggeliat, matanya mengerjap dan menatapku lekat-lekat.

"Ada apa, Sayang? Memang ini jam berapa, kok sudah nyuruh bangun?" tanya Rey masih sedikit ngelindur.

"Bukan jam berapa masalahnya, Rey. Ini masih tengah malam, tapi ada yang aneh. Coba sekarang kamu cek ke lantai atas, ada siapa saja di sana? Aku akan cek sekali lagi ke kamar belakang," ucapku nyerocos.

"Maksudnya gimana, sih?" Rey terlihat bingung dan menggaruk kepalanya yang entah gatal beneran atau hanya gatal-gatalan.

"Udah deh, gak usah banyak tanya. Kamu cek aja dulu, ada siapa saja di kamar atas!"

Kami pun mulai berpencar. Dengan wajah yang masih mengantuk, Rey mulai menapaki anak tangga. Sedangkan aku langsung ke kamar belakang. Kupastikan jika kali ini memang ada mereka yang menjahiliku lagi.

Aku kembali lagi ke kamar belakang dengan perasaan lebih tegang. Nyatanya, memang ada ibu dan Alia di kasur. Semoga saja Rey bawa kabar baik. Langsung saja kususul dia.

Baru sampai di depan meja TV, Rey sudah turun. Wajahnya datar tak ada ekspresi. Membuatku semakin bertanya-tanya. Sepertinya ada yang aneh.

"Gimana? Siapa aja yang di atas, Rey?" tanyaku penasaran.

"Bapak, Ibu, Om Aryo sama Bulek Yanti," jawabnya datar.

Mulutku menganga, nyaris oleng tubuhku. Mana mungkin ibu ada dua orang. Jika yang di kamar atas itu ibu, lantas yang di kamar bersama Alia itu siapa?

"Kamu kenapa sih, Nit? Udah deh, gak usah bikin parno. Masih tengah malam gini. Ayo tidur lagi!" Rey melewatiku begitu saja dan melanjutkan berselancar ke pulau kapuk.

Tak lama, bapak pun turun. Melihatku termenung sendirian dia pun mendekat. "Loh, kok di sini to, Nok? Ngapain? Lha suamimu mana?"

"Rey di kamar, Pak. Aku haus, jadi bangun ambil minum." Bapak mengangguk pelan dan melangkah pergi.

"Tunggu, Pak!" Kukejar bapak sampai berhenti di depan kamar tengah. "Di atas ada Ibu, gak?" tanyaku.

Bapak diam seperti sedang berpikir. "Ibumu tidur, Nok. Ngelonin Alia di kamar belakang," jawabnya.

Bagaikan disambar petir seketika itu. Bukan aku saja yang menyaksikan, tapi Rey juga. Rey melihat ibu di kamar atas. Jadi, kali ini apa lagi? Apa Rey juga bakal diganggu sepertiku? Dengan melihat apa yang kulihat.

"Tidak, jangan. Cukup aku saja!"

PATI GENITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang