PASUKAN KERAJAAN GHAIB

1.4K 124 3
                                    

Semenjak penampakan si putih di pohon randu, penglihatanku pada 'mereka' semakin peka. Bahkan aku mulai terbiasa dan berusaha menganggapnya biasa saja. Toh, mau diceritakan takkan ada yang percaya. Seiring itu pula hubunganku dengan Rey semakin akrab. Meskipun belum ada ungkapan cinta, tapi kami berdua sama-sama nyaman dan sering pergi bersama.

Pagi itu, masih subuh. Pukul empat pagi aku bangun dan langsung ke kamar mandi mengambil air wudu. Aku berdiri di depan keran yang dinding bagian atasnya terdapat fentilasi berupa jeruji besi. Bibirku komat-kamit mulai membaca niat, tapi tiba-tiba dikagetkan oleh munculnya sosok yang aneh.

"Astaghfirullah!"

Aku berjingkat mundur seketika melihat sosok kepala yang wajahnya mirip seperti badut. Mata dan hidungnya merah, kedua pipinya hitam seperti hancur dan giginya runcing. Dia meringis tak bersuara sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Alih-alih ingin lari, aku justru bersandar pada dinding belakang sambil mengamati sosok itu lekat-lekat.

Dalam hati aku berkata, "Kalo memang kamu mau menggangguku, pergilah! Aku mau wudu dan sholat. Bukankah kamu kenal Allah? Jadi kumohon, pergilah!" Kupejamkan mata dan terus memohon agar dia pergi.

Mungkin semenit, kubuka mata kembali dan sosok itu telah pergi. Tak hentinya aku bersyukur dalam hati. Jadi, aku memang harus begini mulai sekarang jika melihat penampakan lagi. Tak perlu takut, tak perlu lari. Cukup minta secara halus agar dia pergi. Kulanjutkan wudu kemudian kembali ke kamar.

***

"Nit, nanti sore aku ajak nonton bola, ya?" ucap Rey di telepon.

"Di mana? Aku gak suka bola, Rey," jawabku singkat.

"Aku yang main kok, Nit. Kemaren aku juga main, tapi jauh tempatnya. Jadi gak ngajakin kamu. Sekarang dekat, di Stadion C." Rey panjang lebar mencoba untuk merayu.

"Baiklah, lihat nanti. Aku mau siap-siap berangkat ke kampus. Nanti gak usah jemput, ya. Aku sama Bapak," sambungku. Pembicaraan kami pun berakhir.

Baru kali ini aku punya teman dekat suka main bola. Aku sendiri belum pernah nonton pertandingan bola dari dulu. Jadi saat Rey menawarkan tentang itu, aku tak tertarik. Cuman karena dia selalu baik padaku, sebisa mungkin aku harus membalas kebaikannya. Salah satunya dengan mengiyakan permintaannya itu.

Kegiatan kampus yang padat sudah menyita waktu dan tenaga. Lelah, letih, haus campur aduk menjadi satu dengan setumpuk tugas. Jam di tangan menunjukkan pukul setengah tiga menjelang sore. Sebentar lagi pasti Rey telepon. Sedangkan bapak belum datang menjemput.

"Nah kan, kubilang juga apa." Ponselku berdering bersamaan dengan bapak yang berhenti di depanku naik motor Honda Supra X warna hitamnya.

"Ayo, Nok!" seru bapak tanpa melepas helm.

"Iya, Pak. Sebentar," jawabku masih mengetik pesan untuk Rey. Kubilang padanya agar menungguku di rumah karena sebentar lagi sampai. Padahal baru saja mau bonceng.

Jarak dari kampus sampai ke rumah tidak terlalu jauh. Namun, sering macet. Jadi dipastikan akan sedikit lama. Sekitar lima belas menitan sampai rumah. Selain karena melewati jalan Pantura, juga selalu ada banjir air rob setiap menjelang sore.

Seharian merasa beruntung karena tidak melihat hal-hal yang aneh. Semoga saja akan terus begini dan semakin berkurang pemandangan ghaib itu.

Akhirnya kami sampai di rumah. Sudah ada motor milik Rey di halaman. Mungkin orangnya menungguku di dalam. Sudah tiga bulan kami semakin akrab, begitu juga dengan dia dan orang tuaku.

"Pak, nanti aku diajak Rey nonton bola. Boleh?" tanyaku. Bapak yang masih berkutat dengan helmnya pun tiba-tiba menghentikan aktivitasnya.

"Nonton bola, di mana?" jawab bapak.

PATI GENITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang