Tulang-tulang terasa sakit, perih dan linu. Aku sudah ditidurkan di atas kasur. Rey duduk di sampingku. Jemarinya menggenggam tanganku erat. Suasana masih hening. Masih ada sisa hawa mencekam di kamar yang lebih luas dari kamarku di rumah.
"Rey! Sebenernya ada apa? Apa yang tidak kita ketahui? Sepertinya kamu sama Istrimu menyembunyikan sesuatu." Bapak Rey mendekati kami di kasur.
Rey masih diam. Dia melirikku dan mengedip. Aku juga ragu, haruskah menceritakan semua pada keluarga Rey. Namun, kekhawatiranku lenyap seketika. Kabar tentangku yang dicekik Buto Ijo sudah menyebar ke seluruh komplek. Akhirnya bapak dan Om Aryo pun datang berkunjung.
"Pak, ada Pak Sudi sama adiknya!" seru Ibu Rey.
Bapaknya Rey pun bergegas pergi menemui mereka dan kami bisa bernapas lega. Tidak harus menjawab pertanyaan mertua yang harus dijelaskan dengan panjang lebar. Biar menjadi urusan bapak dan Om Aryo untuk menceritakan semuanya.
Aku masih syok dengan kejadian tadi. Wujudnya yang aneh masih terngiang dalam ingatan. Makhluk yang seumur hidup baru kali ini kutemui. Jika Genderuwo memiliki bulu lebat di tubuhnya, Buto Ijo ini benar-benar mulus seperti manusia. Tubuhnya berwarna hijau, benar-benar hijau pekat dengan wajah yang menyeramkan.
"Sudah, jangan ngalamun, Nit! Ayok makan dulu. Aku suapin ya?" Rey menyuapkan makanan ke mulutku, tapi aku menolaknya.
"Gak, Rey. Aku gak laper," jawabku masih melamun.
Aku masih berpikir keras. Siapa makhluk itu, kenapa sebegitu bencinya denganku dan apa kaitannya dengan uang yang hilang di rumah? Semakin keras kupikirkan, justru semakin sakit kepalaku. Kulihat Rey masih menatapku nanar. Mungkin iba, atau malah menyesal sudah menikahiku. Entahlah, aku tak peduli.
"Rey, sana keluar! Temui mertuamu. Biar masalah cepat selesai. Biar Nita sama Ibu," ujar Ibu Rey yang langsung duduk di sebelahku.
Rey berdiri lalu pergi. Sebelum pergi dia sempat memandangku sebentar. Aku hanya mengangguk tanda mengijinkan. Bagaimanapun juga dia masih memegang perjanjian kami berdua, untuk tidak membicarakan apa yang dia tau di rumahku.
"Nit, kamu kok gak cerita sama Ibu?" tanya Ibu Rey tiba-tiba.
"Cerita apa, Bu?" jawabku.
"Ya itu, tentang uang keluargamu yang dicuri Buto Ijo. Padahal kan Ibu sama Bapak bisa bantu. Setidaknya buat nglunasin dekor pernikahan kalian kemarin." Tatapan Ibu Rey sangat tajam. Seolah menyalahkanku yang merahasiakan ini dari mereka.
Dalam hati aku masih tidak menyangka. Di saat seperti ini, masih sempat Ibu Mertuaku ini menyindir. Menyindir keluargaku yang belum bisa melunasi dekor. Merasa dia bisa melakukan semuanya tanpa harus repot. Huh, sungguh menyebalkan. Lisan dalam batinku bertarung sendiri. Berprasangka pada Ibu Rey yang memang terlihat angkuh.
"Iya, Bu. Lupa mau cerita," jawabku seadanya. Aku malas berdebat, apalagi harus mengulang cerita kemarin.
Entah apa yang Rey dan lainnya bicarakan. Mereka lama tak kembali. Bapak dan Om Aryo juga tidak masuk ke kamar untuk melihatku barang sebentar. Kamarku sudah sepi. Ibu Rey pergi ke dapur, Rangga dan Liana juga entah ke mana.
Mataku mulai ngantuk. Mulutku menguap lebar. Detik jam terdengar sangat jelas. Jarum pendek menunjukkan angka sebelas, sedangkan jarum panjangnya ada di angka dua.
"Udah jam sebelas malam gini kok Rey belum pulang sih?" gerutuku bolak-balik mengintip jendela.
Ada embusan napas dari belakang menyergap tubuhku. Tidak ada siapa-siapa saat kubalikkan badan. Kusentuh tengkuk yang semakin merinding. Ada rasa yang memaksa mataku untuk terpejam. Sama seperti saat ada sosok tampan dengan wajah rusak di pinggir rawa.
"Kamu siapa?" tanyaku pada sosok wanita yang berdiri di luar jendela.
Dia berbalik. Wajahnya cantik, tapi pucat pasi. Matanya menatap ke bawah. Pakaiannya lusuh dan ada noda merah tercecer.
"Kamu siapa, kenapa ada di sini? tanyaku sekali lagi.
Dia bergeming lalu berbalik membelakangiku. Agak aneh memang. Tidak seperti biasanya yang kemudian memperlihatkan kejadian asal mula mereka ada. Dia masih diam membisu membelakangiku.
"Sayang!" Suara Rey membuyarkan pandanganku. Mataku berkedip dan menoleh ke arah pintu.
"Iya, Rey. Kamu sudah pulang? Kok lama sih," jawabku berbalik tanya.
"Iya. Buto Ijo itu memang suruhan orang yang melakukan pesugihan, tapi si buto itu ngincar kamu, Sayang. Dia mau kamu jadi tumbalnya. Makanya kami tadi mencoba bernegosiasi," jelas Rey.
Aku hanya melongo. Masih tidak percaya dengan apa yang Rey katakan. Tumbal, negosiasi, pesugihan? Semua itu masih tabu bagiku. Aku masih belum bisa percaya. Daripada aku malas mendengar Rey bicara, lebih baik kutunjukkan saja apa yang kulihat pada Rey. Namun, saat kulihat kembali ke arah luar jendela sosoknya sudah tidak ada.
"Ke mana dia?" gumamku.
"Dia siapa, Sayang?" Rey mendekat dan memelukku dari belakang.
Rasanya aneh. Pelukan Rey terasa berbeda. Dingin, harumnya aneh dan sangat mesra. Tidak seperti biasanya.
"Lepasin, Rey!" Aku melepas pelukan Rey dan memilih duduk kembali ke kasur.
Ada Mushaf di meja, tapi aku sedang datang bulan. Aku masih ingat kata-kata teman Om Aryo waktu itu, kalau makhluk halus bisa menjelma sebagai suami. Prasangkaku berkata seperti itu. Akhirnya kubaca ayat kursi dan surat-surat pendek tanpa menyentuh Mushaf, sebisaku. Dengan mata terpejam sampai suaraku terdengar lebih keras menggema.
"Nita, kamu kenapa?" Kubuka mata dan menatap sumber suara.
"Rey?" seruku.
"Iya, aku. Maaf lama, aku harus ikut Bapak dan Om Aryo ke rumah Pak Hamid. Bapakku juga ikut kok," jawabnya.
Jelas sekali berbeda dengan Rey yang tadi. Wangi tubuhnya juga biasa saja. Tidak harum aneh seperti tadi. Jadi, tadi benar-benar bukan Rey. Lalu apa tujuannya berkata seperti itu? Kenapa dia bilang menginginkanku sebagai tumbalnya?
"Nita, kok malah ngelamun?" Lagi-lagi Rey membuyarkan lamunanku.
Langsung saja kupeluk dia erat. Sudah tak bisa lagi berkata-kata. Tuhan masih melindungiku sampai detik ini. Buto Ijo, sosok wanita itu dan tentang tumbal, sudah cukup membuat kepalaku pening.
Malam yang menegangkan sudah terlewat tanpa sadar. Tidurku nyenyak dalam pelukan Rey. Suasana rumah Rey yang berbeda dengan rumahku juga tak berefek saat itu. Mungkin karena aku merasa sangat lelah. Sehingga bangun pun kesiangan.
"Rey, Nita ... bangun, sarapan nih! seru Ibu Rey sambil mengetuk pintu.
Aku menggeliat dan duduk sambil mengucek mata. Menatap sekitar dan menemukan tubuh Rey masih pulas dalam tidurnya.
"Iya, Bu. Sebentar," jawabku.
Kubangunkan Rey lalu merapikan tempat tidur sebelum keluar kamar. Tidak lupa menyisir rambut dan mengikatnya ke belakang.
"Maaf, Rey. Aku kesiangan," ucapku.
"Iya, gapapa kok. Hari ini aku masih cuti. Sekalian ada janji sama Bapakmu," jawabnya.
Rey keluar lebih dulu. Kusibak tirai dan membuka jendela. Betapa kagetnya, pagi-pagi sudah dikejutkan oleh kehadirannya. Sosok wanita kemarin sudah berdiri membisu di depan jendela. Kali ini aku menatapnya biasa saja. Tidak merinding atau merasa takut. Pikiranku juga semakin terbuka. Jadi kemarin yang berwujud Rey memang bukan Rey. Dia mendekatiku supaya sosok wanita ini takut dan pergi.
"Kamu siapa?" tanyaku.
Dia mendongak, menatapku dan ada bayangan yang merasuk dalam pikiranku. Sosok wanita yang di depanku berubah menjadi wanita cantik bergaun putih. Membawa seikat bunga dan menari lincah di tanah kosong yang luas. Namun, tiba-tiba ada cahaya hijau yang menyeret sukma dari raganya. Jasadnya terkulai lemah, tergeletak masih dengan seikat bunga di tangannya. Sedangkan jiwanya dibawa pergi oleh cahaya tadi. Akhirnya aku pun tersadar.
Kutatap lagi sosok wanita di depan jendela. Benar, dia membawa seikat bunga. Bunganya sudah layu, tak wangi lagi. Ada titik air di ujung matanya.
"Tolong ...," lirihnya dan menghilang bersama sorot mentari yang menyinari lorong jendela.
KAMU SEDANG MEMBACA
PATI GENI
HorrorSebuah kisah yang dihiasi pemandangan menakutkan telah terjadi hanya karena sebuah ritual yang tak disadari. Sebuah tirakat yang harusnya bertujuan untuk kelulusan justru menjadi awal mula kisah hidup seorang Arnita Dinata seperti di neraka. Bak kut...