JENGLOT PENGHISAP DARAH

1.3K 140 0
                                    

Hari itu sudah ke empat minggu aku kerasukan berulang kali. Seluruh komplek mungkin sudah hapal. Boro-boro teman, Rey saja tidak pernah lagi datang ke rumah. Meski sebenarnya dia menelpon dan mengirim pesan berulang kali.

Nenek dan Kakek baru saja datang dari kampung. Nuril dan Isti, kedua adikku pun turut serta. Sudah liburan sekolah rupanya. Jadi mereka bisa ikut.

"Kamu apa kabar, Nok? Kok ada-ada aja to, musibahnya?" Alih-alih tanya kabar, nenek justru mengeluhkan nasibku.

"Baik, Nek. Ya sudahlah, gak usah terlalu dipikir. Mungkin sudah takdirnya begini," jawabku pasrah.

Nenek memelukku. Air matanya tumpah ruah. Lisannya sudah tak mampu berucap. Bahasa tubuhnya yang berbicara. Pelukannya lebih erat dengan isak tangis yang tak kunjung mereda. Dalam hati, aku memohon kepada Tuhan. Agar semua ini segera selesai dan diberi petunjuk untuk menyelesaikannya.

Setelah mencoba saran dari teman bapak, aku sudah tidak kerasukan lagi. Teman bapak memberi saran, "Jika ada tetangga yang bisa diandalkan maka temuilah! Sebelum kamu mencari obat ke mana-mana, orang terdekatlah yang biasanya menjadi perantara."

Dengan semangat positif, bapak membawaku ke rumah tetangga yang terkenal sebagai 'Orang Pintar'. Jari-jari kakiku dipijat dengan keras, lisannya komat-kamit membaca sesuatu dan diakhiri dengan dialog mistis. Iya, mistis. Dia berdialog dengan sesuatu yang tidak bisa dilihat orang lain, termasuk aku. Namun, aku lihat. Di teras rumahnya, sudah ada kereta kuda dengan beberapa orang berpakaian seperti prajurit, berdiri gagah.

"Pak, jin yang merasuki anak Bapak sudah setuju untuk pergi. Dengan syarat, jangan mengusik kerajaannya lagi." Mendengar perkataan Orang Pintar yang bernama Pak Yono itu, aku jadi heran.

"Kapan aku merusak kerajaan mereka?" batinku.

"Ya kapan saja. Bisa saja kamu tidak tau, tapi mereka ada. Mereka ada di sekitar kita. Makanya, kita harus percaya dengan yang ghaib dan saling menghormati kehidupan masing-masing," jawab Pak Yono.

Aku kaget, dong. Ternyata dia bisa mendengar isi hatiku. Padahal lisanku tak berucap sepatah kata pun. Hanya membatin, tapi dia bisa tau.  Sejak itulah, keluargaku mengandalkan Pak Yono. Aku juga lega karena sudah tak berurusan dengan genk setan kerajaan itu lagi.

Hari-hariku kembali membaik. Saat adik-adikku liburan, aku harus masuk kampus karena ujian akhir semester satu. Lama tidak masuk, sekali masuk langsung mengerjakan ujian. Otakku panas, tapi masih bisa kulalui dengan baik. Namun, kebahagiaan itupun tak berlangsung lama. Seminggu setelah ujianku usai, kami mendapat kabar buruk.

"Bapak di-PHK, Nit." Ibu menangis tersedu di pojokan.

Aku yang baru saja sampai rumah tentu saja kaget. Bapak di-PHK, ibu baru dua minggu melahirkan, Udin masuk SMP, lalu aku? Otakku seperti diremas. Kuyakin sekali, tabungan bapak juga sudah menipis. Untuk membawaku berobat berulang kali saja, sudah habis jutaan.

"Sabar, Bu. Biar Nita yang ngalah." Kupeluk erat ibu.

Pengurangan karyawan yang tiba-tiba, membuat kami semua juga merasakan dampaknya. Bisa tidak bisa, aku harus kerja. Supaya bisa meringankan beban orang tua.

Akhirnya, Udin disekolahkan di kampung. Menurut nenek dan kakek, sekolah di kampung lebih murah biayanya. Aku juga harus merelakan DO dari kampus. Lalu melamar kerja sebagai buruh pabrik.

Rey yang sudah lama tidak berkunjung ke rumah, tiba-tiba datang pagi itu.

"Nit, apa kabar?" sapanya. Dia membawa bungkusan dan membawanya masuk.

Tanpa kujawab dia masuk begitu saja seolah di rumahnya sendiri. Sepatu flat warna hitam selesai kukenakan. Celana kain warna hitam dengan setelan kemeja putih menjadi kostum di hari pertamaku kerja di pabrik.

PATI GENITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang