Rela

16 4 0
                                    

"Sampai nanti, nona muda" lambai nenek tua itu setelah menjelaskan sesuatu yang tidak kupahami.

"Aku tahu nona tidak akan mengerti, tapi nanti nona akan mengerti nanti, mungkin dalam waktu dekat" sambung nenek tua itu sambil mengangkat topinya kemudian beranjak pergi dari pemakaman.

Aku melambaikan tangan, tetap saja aku tidak mengerti, tidak pernah aku mendengar kata Xynansa, bahkan untuk megucapkannya saja susah, akan menjadi blunder jika seseorang memakainya untuk judul sebuah novel.

"Jean- Athea, Kemarilah kita akan berdoa, sedang apa kau?" Ucap papa yang berada dekat dengan pusara ibu theo.

"Iya pa" jawabku singkat. Ya, ada yang lebih penting dari Xynansa, yaitu pemakaman ini.



Curiousier


Rintik hujan mulai berjatuhan, awan tak lagi dapat membendung lara yang tak tertahankan, hujan akhirnya membawa aura kesedihan hingga terserap tanah yang penuh dedaunan. 

Semua orang mengeluarkan payungnya, meneduhkan yang tak lagi tertawa. Theo tidak bergeming, dia membiarkan hujan membasahi wajahnya, membuat air mata tak lagi terlihat apabila dia menangis.

Satu jam berlalu, proses pemakaman telah selesai, ibu theo telah dikebumikan dengan layak. Beberapa tamu masih belum beranjak, mendoakan ibu theo. Dan begitupun theo, dia masih mematung, sekarang bahkan dia membiarkan seluruh pakaiannya basah, beruntung ayahnya meneduhinya setelah mengubur ibu theo.

Satu jam berlalu lagi, semua tamu sudah beranjak pulang setelah menyalami ayah theo, menyampaikan bela sungkawa. Dan sekarang hanya menyisakan aku, papa, ayah theo, dan theo yang masih saja mematung.

Sebenarnya aku ingin menghampirinya sedari tadi, tapi papa menatapku dengan tajam ketika aku beranjak kearah theo, seolah mengatakan "jeanne, biarkan dia sendiri."

Satu jam sekali lagi berlalu, aku, papa dan ayah theo bergantian berganti pakaian yang sudah basah dan kotor terkena tanah. Ayah theo mengganti pakaiannya dengan tuxedo yang sangat rapi, lengkap dengan bunga putih di kantungnya, sepertinya ini yang dibilang ayah theo bahwa dia harus pergi setelah memakamkan istrinya.

Hujan sudah lama reda, dan aku sudah menaruh payung kembali ke dalam mobil yang kami bawa saat ke pemakaman. Aku juga membeli dua botol minuman segar yang di sebuah toko ada di dekat mobil, satu untuk theo, pasti dia kehausan. Kemudian aku kembali ketempat ibu theo dimakamkan, terlihat papa dan ayah theo sedang duduk di sebuah bangku, sama-sama memandang theo.

"Sampai kapan kita akan membiarkan theo mematung seperti itu?" Ucapku yang membuat papa dan ayah theo memalingkan pandangannya kearahku.

"Yeah, ini juga sudah waktunya kita pulang, tapi lihatlah dia, dia hanya akan mengabaikanmu jika kau mencoba berbicara kepadanya" jawab papa

"Apakah papa sudah mencobanya?" Tanyaku yang membuat papa terdiam. Ayah theo tersenyum tipis, seperti sedang meledek papa.

"bagaimana jika kita mencobanya? Mungkin penglihatan serta prediksi marizta tua ini sudah mulai hilang" Ucap ayah theo dengan sedikit tertawa.

"Oke oke, kau menang, aku akan coba bicara dengannya" ucap papa

"Kupikir anakmu harus mencobanya" kata ayah theo sambil merapihkan posisi duduknya

"Hmmmm kau benar, matamu masih sehat rise. Nah, athea bagaimana jika kau yang mencobanya?" Saut papa

"Baiklah pa, aku akan mencoba dengan sebaik mungkin" jawabku

❈❈❈

"Thee-o" panggilku bernada.

"Apa kamu lapar? Kamu tampak kusut" sambungku.

Theo hanya diam, tetapi kali ini dia menghela napas.

"Oh iya, lihat bunga itu! tampak indah bukan? bunga itu cocok sekali bersama ibumu" ucapku sambil melihat kelopak bunga yang ada diatas makam ibu theo.

Theo kali ini menatap kearahku, bersamaan dengan cahaya matahari yang mulai kembali bersinar, membuat pemakaman ini tak lagi sesuram namanya. Mata theo sedikit merah, kontras dengan wajahnya yang putih cerah ditambah keringat yang mulai menetes.

Aku menarik tangan theo,

"Theo, kamu berkeringat, bagaimana jika kita berteduh? kamu sudah terlalu la-"

"Ajari aku" ucap dua kata dari mulutnya, menahan tanganku.

"Ajari aku caranya melupakan ini semua" 

"Ajari aku athea" Katanya dengan menatap lurus mataku.

"Theo, itu bukanlah car-"

"Ajari aku" ucapnya lebih tajam

Aku melihat kearah papa dan ayah theo, meminta mereka untuk tidak memperhatikan, tetapi saat ini mereka sudah tidak duduk, mereka sedang berbicara dengan beberapa orang yang entah datang darimana, mereka tinggi, sekitar 2 meter dan berbadan besar lengkap dengan setelan hitam, mereka tampak aneh mengingat rata-rata orang charlotte tidak berpostur seperti itu.

"Tapi apakah kamu akan tetap berdiri disini nanti?" Tanyaku

"Jika aku bisa melupakannya, untuk apa ada disini?" Jawab theo

"Kamu salah"

"Ketika sesuatu pergi, bukan berarti kamu bisa melupakannya theo" sautku

"Ibumu orang yang sangat kamu cintai bukan? Dia wanita yang cantik, anggun, dermawan, baik hati, dan juga sangat hebat"

"Kamu pasti akan melakukan apa saja untuk melindungi ibumu, karena dialah orang yang paling kamu sayangi"

"Karena itu aku tahu, kamu tidak akan pernah bisa melupakan ibumu"

"Ibu sudah tidak disini, ibu sudah pergi, ibu tak lagi menemani"

"Untuk apa aku mengingatnya? bukankah itu hebatnya perpisahan? Itu menjadi waktu untuk mulai melupakan"

"Kamu salah lagi theo"

"Theo, berpisah itu bukanlah bicara  tentang melupakan, melainkan merelakannya"

"Dan apa kamu cinta ibumu?" Tanyaku sambil mendekat.

"Iya"

"Kalau begitu apakah kamu tahu cinta yang paling tinggi?"

"Tidak"

"Cinta yang paling tinggi bukanlah tentang memiliki, bukanlah tentang menemani, bukanlah tentang menghiasi"

"Cinta yang paling tinggi adalah ketika kau bisa merelakannya pergi"

Theo kembali menghela napas, kali ini dengan sedikit senyuman, membuat wajahnya yang keruh menjadi cerah kembali. Theo kemudian mengusap wajahnya, mengusap air mata yang tersisa di pipi dan pelipisnya.

"Kau benar athea"

"Sedari tadi aku mencoba untuk melupakannya, dan tidak bisa, kupikir kau hanya akan menyuruhku untuk menyerah dan melupakan, tapi kau juga membuatku tidak bisa lupa"

"Aku memang tidak bisa lari ya"

"Kamu benar, jangan lari ya"

"Oiya satu hal lagi theo, ketika kamu telah merelakan sesuatu, aku yakin akan datang yang lebih baik untukmu, jadi jangan menyerah ya?" Akhirku dibarengi dengan sebuah kecupan tepat dipipinya yang kemudian memerah.

Theo dengan cepat menarikku masuk kedalam pelukan hangatnya, dia memelukku sangat erat, hingga menyandarkan kepalanya di bahuku.

"Tentu saja" jawabnya

XynansaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang