5. Coffee Talk

903 171 31
                                    










     "Ya udah, lo pesen apa biar gue pesenin."

     Dazel menarik kursi untuknya dan meletakkan kotak kecil berisi pai apel buatan Yangti di meja. "Kayak biasanya?"

     "Kan gue yang beliin?"

     Pemuda itu mendengus pelan sambil menekan pundaknya lembut hingga Savana tidak ada pilihan selain duduk. "Becanda kali, Sa, gue pesenin caramel macchiato, ok?"

     Akhirnya Dazel beranjak meninggalkan meja setelah mendapat anggukan singkatnya sebagai jawaban.

     Sekali lagi Savana mengarahkan pandangan keluar hanya untuk memastikan Hardian tidak ada di sekitar situ. Dan pemuda itu sepertinya memang telah benar-benar pergi. Syukur deh.

     Dia bukannya membenci pemuda itu. Pun Hardian bukannya pernah melakukan kesalahan padanya. Satu-satunya permasalahan di antara mereka adalah bahwa Savana pernah dengan jujur menolak untuk dekat dengannya. Dekat dalam konteks yang tidak hanya sekedar teman tapi lebih dari itu.

Savana tidak bisa. Untuk alasan yang tidak pernah dia ungkapkan jujur pada siapapun.

"Dimakan itu pai-nya," celetuk Dazel, kembali mendekat dan menarik kursi lain di meja itu dengan struk pesanan berada di tangan.

"Oh, iya," jawab Savana seraya membuka box kecil di hadapannya. Bukan hal mengejutkan lagi baginya menerima pai lezat buatan Yangti, tapi melihat hasil karya tangan nenek Dazel itu tetap saja membuat Savana tersenyum lebar.

Dazel mengawasinya hati-hati menggigit potongan pai itu dan menadah remahannya dengan telapak tangan di bawah dagu.

"Enak kan?" ujar Dazel dengan mata melengkung mengiringi senyumnya. Sesuatu yang sangat disukai Savana.

"Hm," jawab Savana, mengunyah pelan. "Trus, lo ngajak kesini, mau ngomongin sesuatu?"

Dazel menggeleng. "Enggak ada."

"Kirain."

"Biasa juga kita beduaan di sini."

"Dih!"

"Haha ..."

"Kak Savana, Caramel Macchiato!" Panggilan itu seketika membuat Dazel berjingkat dari duduknya untuk mengambil pesanan yang telah siap.

Potongan terakhir pai apel itu lenyap dalam mulut bersamaan dengan langkah Dazel kembali ke meja mereka sambil membawa dua gelas kopi dingin.

Pemuda itu menyusupkan sedotan kertas dalam gelas Savana sebelum mengangsurkan minumannya.

"Thanks."

"By the way, Sa," Dazel menancapkan sedotan lain pada lubang tutup gelas minumannya sendiri dan melanjutkan, "Hardian masih suka chat atau interaksi sama lo di medsos?"

"Jarang sih. Jarang banget malah."

"Hmm," gumam Dazel sambil meneguk sekilas kopinya. "Tau nggak, tiap gue posting foto atau apa pun yang masih ada sangkut pautnya sama lo, dia selalu kasih komentar."

"Iya?"

"Tadi juga," lanjut Dazel. "Lo cek Twitter nggak?"

"Belum."

"Gue post foto masakan lo, indirectly mention lo sih. Tau-tau Ian muncul aja di komentar."

"Emang dia bilang apa?" tanya Savana sembari meraih handphone-nya dan memeriksa pemberitahuan yang dia terima.

Star and SavannahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang