Alasan kenapa Savana mengajak Dazel untuk terus mengemudi alih-alih duduk di coffee shop itu adalah, dia masih belum bisa untuk berhadapan dengannya. Jujur.Savana ingin melihatnya, ingin berbicara dengannya, tapi tidak untuk menatap langsung seperti biasanya dulu. Rasanya masih menyesakkan. Dan dia hanya tidak tahu bahwa setelah itu, Dazel memulai lagi pembicaraan yang sebenarnya ingin dia hindari.
"Apa ... Sasa yang dulu masih lama baliknya?"
Pertanyaan itu menyentaknya, membuatnya berpaling pada Dazel untuk sesaat sebelum pemuda itu meneruskan, "Apa gue masih bisa ketemu Sasa yang sebulan ini ngilang gitu aja?"
Dalam kebingungan itu, Savana hanya bisa tersenyum dan menundukkan pandangan. Lalu, tanpa melihat pada Dazel, dia berkata, "Iya, nanti gue bilangin ke Sasa yang dulu buat cepet balik, Daz."
"Apa Sasa yang dulu juga masih bakal tetep sayang ke gue? Atau dia lagi berusaha buat ngelupain gue?"
"Kenapa lo mikir Sasa yang dulu bisa ngelupain lo?" Savana bertanya dengan ngilu yang secepat itu menjalari dada.
"Kalo bukan ngelupain gue, kenapa dia mesti ngehindar selama ini? Kenapa dia baru jujur ke gue sekarang soal perasaan dia, setelah kita udah lulus? Bilang ke gue kalo itu bukan rencana dia buat pergi dari hidup gue, Sa."
Sialnya, apa yang dikatakan Dazel benar. Dan tidak ada alasan bagi Savana untuk mengingkari itu.
"Tolong maafin dia, Daz."
"Jadi itu bener?"
Dia mengangguk pelan dan was-was karena Dazel seketika menepikan mobil dan menghentikannya di jalanan yang lengang. Savana bisa merasakan kekesalannya dari bagaimana dia membuka seatbelt dan menarik napasnya panjang.
"Kenapa, Sa?"
"Can we stop it already?"
"... Kalo gue tau dia juga berencana buat ngelupain gue alih-alih cuma ngelupain perasaan dia ke gue, gue harap gue nggak pernah ketemu sama dia, Sa. Gue harap kita nggak pernah saling ketemu sama sekali. Karena gue benci mesti kehilangan dia dan gue benci mesti ngelupain dia juga."
Kata-kata yang diucapkan Dazel seperti tamparan bertubi untuknya.
"It was hard for her ..." aku Savana, dengan hangat yang merebak menggenangi pandangan saat dia berpaling pada Dazel. Napasnya tercekat dan gulir hangat itu menetes cepat dari sudut mata, membuatnya buru-buru mengusap dengan tangan gemetar.
"It was hard for her this whole time, Daz ... please understand it."
Dazel tertegun menatapnya.
"Dengan atau tanpa dia bilang ke lo soal perasaan dia, Sasa tetep butuh waktu buat nyembuhin diri dia sendiri dulu. Dia sama sekali nggak ada niat buat nyakitin lo juga, tolong maafin Sasa," ujar Savana tersendat, menghapus air mata yang menetes tanpa kendali.
Dia hampir tidak menyadari Dazel turun dari mobil dan yang dirasakannya kemudian adalah pintu di sisinya dibuka dari luar dan wangi milik Dazel menyelimuti dirinya sebagaimana pemuda itu menariknya dalam pelukan.
Tangisnya luruh di sana.
I won't forgive myself for being this stupid, Sa.
Rasanya hancur merasakan Savana terisak dalam dekapannya. Bagaimana bisa dia begitu tak acuh melontarkan semua kata-kata tadi? Dazel bersumpah dia menyesalkan itu. Menyesalkan dirinya sendiri.
![](https://img.wattpad.com/cover/231694866-288-k452638.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Star and Savannah
General Fiction"Dia suka savana. Denotatively, haha...bukan gue," monolog si gadis, Savana, yang selalu menyukai bintang dalam gelap langit malam dan si pemilik nama dengan makna yang sama: Alterio Dazel Wirendra. Empat tahun pertemanannya dengan Dazel, Savana ham...